Keberlakuan Asas Universal, Tafsir Pasal 6 KUHP Baru Produk Indonesia



KUHP Baru mengadopsi asas universal selain asas wilayah atau teritorial, asas pelindungan atau nasional pasif dalam ruang lingkup keberlakuannya (tempat). Asas universal merupakan asas yang menitikberatkan pada kepentingan hukum internasional secara luas.

Konsepsi ini mempunya makna arti luas, dalam hukum pidana KUHP ini, tidak dibatasi tempat, wilayah atau bagi orang tertentu saja, melainkan berlaku dimana pun dan bagi siapa pun.

Menurut Eddy Hiariej, asas universal mempunyai arti penting, dalam kontek jangan sampai ada pelaku kejahatan internasional yang lolos dari hukuman, sehingga negara berhak untuk menangkap, mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional (lintas batas). Kejahatan internasional ini berbeda kejahatan transnasional, yang diatur dalam Pasal  6 UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP

Pasal 6 KUHP

Ketentuan pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap orang yang berada di luar negara kesatuanrepublik indonesia yang melakukan tindak pidana menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang.

Penjelasan Pasal 6

Ketentuan ini mengandung asas universal yang hukum Indonesia dan/atau kepentingan hukum negara. Landasan pengaturan asas ini terdapat dalam konvensi intemasional yang telah disahkan oleh Indonesia, misalnya:

a)       Konvensi internasional mengenai uang palsu;

b)      Konvensi internasional mengenai laut bebas dan laut yang didalamnya mengatur Tindak Pidana pembajakan laut;

c)       Konvensi internasional mengenai kejahatan terhadap sarana atau prasarana penerbangan; atau

d)       Konvensi intemasional mengenai pemberantasan dan psikotropika.

Keberlakuan KUHP baru ini, memandang bentuk "rekodifikasi" perkembangan, baik nasional maupun intemasional sebagai adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi, nilai-nilai, standar, dan yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia internasional. Pasal 6 KUHP esesensinya bahwa yurisdikasi universal hanya akan berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam hukum Internasional dan sudah ditetapkan sebagai tindak pidana menurut KUHP baru.

Namun, sebelum jauh membahas tentang uraian penjelasan alangkan lebih baik jika kita mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan asas universal itu sendiri. Asas universal merupakan asas yang menjelaskan tentang keberlakuan Undang-Undanga Hukum pidana itu bersandar pada kepentingan hukum dari seluruh dunia yang dilanggar oleh seseorang. Undang-Undang hukum Pidana dari suatu negeri diberlakukan kepada seseorang, di mana saja ia melanggar kepentingan hukum seluruh dunia (H.M.Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2016:48)

 

Tujuan dari penerapan asas universalitas sendiri adalah untuk melindungi kepentingan dunia dan jika seseorang melakukan suatu kejahatan yang mana kejahatan tersebut memiliki dampak kerugian bagi kepentingan yang bersifat internasional maka setiap negara berhak untuk menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan tanpa melihat status  kewarganegaraannya bahkan jika kejahatan tersebut tidak secara langsung menyangkut kepentingan hukum negara yang bersangkutan (Andi Sofyan dan Nur azisa, 2016 : 48)

 

Adapun di dalam pasal 6 KUHP kali ini ada beberapa konvensi internasional yang telah disahkan oleh Indonesia yaitu:

1.Konvensi Internasional yang berkaitan dengan uang palsu, yang terdapat di Undang-Undang Republik Indoneisa Nomor 6 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai pemberantasan uang palsu beserta protokol

2.Konvensi Internasional yang berkaitan dengan laut bebas dan hukum laut di dalamnya menyangkut Tindak Pidana pembajakan laut yang terdapat di Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations convention on the law of the sea (Konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut)

3.Konvensi Internasional mengenai kejahatan penerbangan yang terdapat di Konveksi Tokyo 1963 dan disahkan menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971

 

4.Konvensi Internasional mengenai pemberantasan peredaran gelap narkotika yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, 1988)

Contoh keberlakuan penerapan asas universal yaitu pemalsuan mata atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang berkaitan dengan kepemilikan negara asing, tujuan untuk melindungi kepentingan internasional. Penerapan asas ini, mengingat Bangsa Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional yang meliputi uang palsu, laut bebas dan laut yang didalamnya mengatur tindak pidana pembajakan laut, kejahtan terhadap sarana atau prasarana penerbangan, dan pembrantasan dan psikotropika. Selain ada penerapan univesality plus dan conditional universility pada kasus CCR v Rumsfiel.

Menurut Stahn (2019), dampak yurisdiksi universal ini terjadi dekolisasi proses peradilan, yang pada intinya proses peradilan di bawah ke tempat yang jauh dari wilayah di mana kejahatan internasional terjadi. Ini menunjukan  negara (KUHP baru) ini, melindungi kepentingan nasional universal, sebagai komitmen Indonesia  sebagai masyarakat internasional, dan implementasi dokrin jus cognes. Jus cognes yaitu hukum yang sifatnya memaksa dan harus dipatuhi oleh seluruh negara atau erga omnes (BHPN, 2015), dan bukan lagi terbatas pada perompakan laut. Hal seperti contoh Peradilan Spanyol tahun 2000 tidak berhak menerapkan yurisdiksi universal pada kejahatan kemanusian di negara Guantemala, namun 2005 MK Spansyol membatalkan keputusan tersebut (Takeuchi, 2014).

Namun dalam penerapan asas ini menurut Moeljatno, ada perkecualian yang diakui seperti kepala negara beserta keluarga dari negara sahabat, melekat hak eksteritorial, duta besar asing beserta keluarga, anak buah kapal perang asing yang berkunjung ke suatu negara, tentan negara asing yang ada didalam wilayah negara dengan persetujuan negara itu.

Selain itu harus dilihat asas ne bis in idem, seseorang tidak dapat diadili lagi atas perbuatan yang sama (Pasal 76 KUHP lama). Hukum Internasional pengatur asas ini, berlaku untuk sistem peradilan dalam negeri saja (United Nations Human Right, Commite, 2007). Contoh penerapan asas ini pada Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma MPL, yang menyebutkan tidak diperbolehkan untuk mengadili pelaku kejahatan internasional jika, pelaku tersebut sudah diadili oleh peradilan nasional atas perbuatan yang sama.

Asas universal sebagai upaya perlindungan secara hukum internasional, tidak dapat dilakukan secara mutlak, ada perkecualian yang harus dihormati, apabila sudah di proses hukum oleh negara lain.

Samarinda, 22 Januari 2023

Dr. Siti Kotijah, Melinda FH Unmul (2023)

Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.