Sanksi Administrasi Pertambangan Batubara di Samarinda

Permasalahan lingkungan hidup semakin mendapat perhatian serius, khususnya di Kota Samarinda. Berbagai usaha penggalian sumber daya alam yang tidak disertai usaha maksimal dalam usaha perlindungan pencemaran dan kerusakan lingkungan memberi dampak baik postif dan negatif yang mulai dirasakan masyarakat.

Menurut M. Erwin (2008:35), “bahaya yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dari waktu ke waktu ialah pencemaran dan perusakan lingkungan. Ekosistem dari suatu lingkungan dapat terganggu kelestariannya oleh karena pencemaran dan perusakan lingkungan”.

Banyaknya kegiatan pertambangan batubara di Samarinda, berdampak negatif dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup, seperti tingkat erosi yang tinggi, terjadinya sedimentasi akibat banyaknya lahan-lahan yang terbuka, terjadinya pencemaran air asam tambang yang tidak dikelola dan diolah sehingga tidak mematuhi baku mutu air limbah yang dipersyaratkan.

Sebagai contoh, aktifitas penambangan batubara juga menyebabkan erosi dan pendangkalan yang memicu banjir semakin sering terjadi akibat akumulasi penggalian tambang batubara di berbagai kawasan dekat sungai. Banjir yang kini kerap melanda sejumlah daerah di Kota Samarinda diyakini merupakan dampak langsung dari kerusakan lingkungan baik pada pertambangan. Banjir yang sebelumnya terjadi dalam siklus tahunan di Kota Samarinda, namun kini dalam satu tahun bisa terjadi empat kali kasus banjir besar seperti masing-masing terjadi pada 2008 dan 2009.

Selain itu pertambangan batubara juga menimbulkan pencemaran lahan-lahan pertanian dan tambak warga, pihak Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur di Samarinda, mengungkapkan data bahwa akibat maraknya aktifitas penggalian “emas hitam” itu, maka kini terjadi penurunan kualitas lingkungan khususnya juga menimpa air sungai, rawa, danau mata air, dan air.

Pemberlakuan peraturan perundang-undangan sangatlah penting di dalam mencegah dan menegakkan suatu tindakan atau perbuatan yang dapat mengancam kelestarian dan kelangsungan fungsi lingkungan. Pematuhan terhadap peraturan perundang-undangan terkadang tidak dijalankan secara patut dan benar oleh perusahaan-perusahaan tambang batubara di Kota Samarinda.

Pemerintah Kota, dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup (BLH) baik Kota Samarinda maupun Provinsi Kalimantan Timur yang bekerjasama dengan instansi terkait, terkesan hanya mengajak perusahaan batubara yang sudah memiliki izin itu sama-sama menjalankan berbagai program penyelamatan lingkungan tanpa harus menghentikan kegiatan mereka secara sepihak.

Pasal 14 huruf h UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “bahwa instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dengan instrumen ekonomi lingkungan hidup”.

Dijelaskan kemudian pada Pasal 42 (2) huruf c, salah satu instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah insentif dan/atau disinsentif. Insentif dan/disinsentif diterapkan dalam bentuk sistem penghargaan kinerja dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Di Kalimantan Timur telah dilaksanakan Penilaian Program Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) batubara di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Pelaksanaan PROPER ini berpegang pada dasar hukum Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 07 Tahun 2003 tentang Pedoman Penilaian Program Peringkat Kinerja Perusahaan Pertambangan Batubara (PROPER Batubara) dimana sebelumnya diatur dalam Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 35 Tahun 1999.

PROPER Batubara sebagai suatu program yang dibuat oleh Pemerintah sesuai cakupan wilayahnya, baik di Kabupaten/Kota maupun Provinsi Kalimantan Timur. PROPER batubara digunakan sebagai alat pengawasan yang dilakukan khususnya oleh Badan Lingkungan Hidup beserta instansi terkait yang pelaksanaannya dilakukaan untuk melihat kinerja perusahaan pertambangan batubara di Kalimantan Timur dalam kesadaran menaati peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan batubara bagi lingkungan hidup.

Pemerintah Kota Samarinda dalam bidang pengawasan dalam bentuk penilaian PROPER Batubara yang sudah dilakukan oleh BLH Provinsi Kalimantan Timur pada 3 (tiga) perusahaan peserta PROPER batubara, yaitu PT. Lanna Harita Indonesia, PT. Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakam Sumber Jaya.

Satu hal yang perlu diapriasiaasi kepada pemerintah Kota Samarinda, yakni upaya pencegaan berupa tindakan preventif dengan berbagi cara yaitu: penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan aktif. Hal ini terwujud melalui sosialisasi terhadap penaatan perundang-undangan berkaitan dengan baku mutu limbah, emisi udara dan limbah B3, misalnya sosialisasi terhadap pelaksanaan penilaian PROPER batubara pada 40 (empat puluh) perusahaan pertambangan batubara yang telah melakukan eksploitasi dan tindakan pengawasan bagi seluruh kegiatan dan/atau usaha pertambangan batubara dalam pengelolaan lingkungan, baik yang dilakukan oleh BLH

Upaya paksaan berupa tindakan represif terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang telah menjalankan kegiatan dan/atau usahanya. Penegakan Hukum Lingkungan yang dilakukan dalam kebijakan represif dilakukan dengan pemberian sanksi administratif sesuai yang diatur dalam Pasal 76 ayat (2) UUPPLH, yang terdiri dari teguran tertulis; paksaan pemerintah; pembekuan izin lingkungan; atau pencabutan izin lingkungan.

Dari data penelitian (Lidya; 2010) pada tahun 2009 s/d 2010, telah dikeluarkan beberapa sanksi administratif yaitu, Sanksi teguran tertulis (surat peringatan) diberikan kepada perusahaan CV Bismillah Rest Kaltim, CV Tunggal Firdaus Kaltim, CV Arqom, CV Tujuh-Tujuh, KSU Putra Mahakam Mandiri, KSU Gelinggang Mandiri, CV Nadvara, CV Nuansa Cipta Invesment , KSU Mahatidana dan CV Piawai yang mendapatkan SP 1 dan CV Busur Abadi yang mendapatkan SP 2. Surat peringatan tersebut diberikan karena perusahaan belum menyelesaikan masalah administrasi berupa pembayaran royalti dan masalah teknis pertambangan berupa penataan lingkungan di lokasi pertambangan yang dianggap membahayakan dan tidak serius dalam menyusun rencana reklamasi lahan dan penutupan lokasi tambang.

Penegakan Pasal 80 ayat (1) UUPPLH, yaitu penutupan operasional sehingga perusahaan tidak dapat produksi, yang pemberlakuannya diberikan kepada tiga perusahaan yaitu CV Himco Coal, PT. Samarinda Prima Coal dan CV Laskar Dayak. Kemudian Dinas Pertambangan dan Mineral pada tahun 2009 juga telah melakukan pencabutan ijin usaha pertambangan kepada izin Kuasa Pertambangan (KP) milik CV Zikri Energi Lestari dan CV Panca Bara Sejahtera, karena kedua perusahaan tersebut berlokasi di sekitar perumahan sehingga aktivitasnya membahayakan keselamatan umum karena berbahaya bagi warga, merusak jalan umum, dan lingkungan.

Dapat disimpulkan Pemerintah Kota Samarinda (BLH), dengan melakukan program PROPER, dan sanksi adminitrasi dalam upaya untuk mengatasi permasalah pertambangan di Kota ini, Kedepan upaya refresif harus banyak dilakukan bagi pemegang ijin kuasa pertambangan demi keberlangsungan dan daya dukung lingkungan.
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.