Pengelolaan SDA di Landas Kontinen Indonesia (Bagian I)

Pengantar redaksi:
Artikel ini dimuat secara bersambung. Bagian I, edisi Kamis 1 April 2010. Bagian II, edisi Kamis 8 April 2010. Bagian III, edisi Kamis 15 April 2010. Bagian IV, edisi Kamis 22 April 2010. Bagian V, edisi Kamis 29 April 2010.

Dewasa ini, pengelolaan sumber daya alam lebih berorientasi pada wilayah darat antara lain berupa sumber daya kehutanan, pertambangan, migas dan perkebunan. Pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah laut belum optimal. Isu pengelolaan SDA di laut hanya berupa illegal fishing dan konflik penguasaan wilayah tangkapan diantara nelayan. Meskipun diskursus pengelolaan wilayah laut sudah digulirkan, namun isu pengelolaan SDA khususnya di landas kontinen masih terabaikan.

Menurut Albert W. Koers, SDA yang terdapat di landas kontinen terdiri dari, mineral dan sumber daya non hayati lainnya yang berada pada dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk organisme hidup yang digolongkan ke dalam jenis-jenis sedinter yaitu organisme yang pada tingkat dapat dipanen berada dalam keadaan tidak dapat bergerak dan berada di dasar laut atau tanah di bawahnya atau hanya dapat bergerak apabila ada kontak fisik yang tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya (misalnya , lobster). Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan disamping sedenter di atas masih ada sentary species of living organism misalnya rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lainnya, sponges, corol enichoderm, mollucs.

Untuk SDA yang tidak dapat diperbaharui yang terkandung di lapisan tanah di bawah dasar laut menurut jenis lapisan terdiri dari;

- continental shelf yaitu minyak bumi, gas bumi, sulphur, har mineral, batu bara, diamonds;

- continental slope yaitu phosphor;

- abbysal plain dan dasar laut dalam terdapat 25 % mangan, 15 % besi, cobalt, nikel , copper.

Seperti kita ketahui, Indonesia bagian besar dasar lautnya menyimpan potensi mineral berupa emas, perak, timble, timah, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi 70 % dari cekungan migas. Diperkirakan Indonesia memiliki kurang lebih 60 cekungan. Hal ini mengandung potensi minyak bumi yang diperkirakan hampir 9,1 milyard barel. Sedang potensi gas alam mencapai 230 trilyun cubic feet equivalent. Sungguh merupakan potensi yang besar bagi kita Bangsa Indonesia untuk dapat dimemanfaatkan dan melakukan pengelolaan SDA laut yang ada, tata kelola dilandas kontinen demi kesejahteraan warganya yang hidup didekat wilayah pantai.

Konsep landas kontinen perkenalkan oleh Amerika Serikat pada Konvensi Hukum Laut Internasional pada tahun 1958. Pengajuan itu sebagai strategi dalam menghadapi negara-negara kepulauan yang mengajukan konsep negara kepulauan, dan dalam usaha rangka memudahkan kepentingan negaranya untuk mengeksplorasi sumberdaya alam non hayati (minyak dan gas bumi) yang sangat potensial terdapat pada landas kontinen. Permasalahan yag ada, karena akibat ketidakjelasan konsep batas landas kontinen pada UNCLOS I 1958. Ini Kemudian menajdikan pada Konvensi Hukum Laut III Tahun 1982, masalah landas kontinen dijadikan salah satu agenda yang penting.

Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS – United Nation Convention on the Law of the Sea) III, telah memberi suatu pengakuan pada Indonesia dalam bentuk negara kepulauan . Pengakuan dunia internasional ini, ditindaklanjuti dengan diterbitkannya UU No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1985. Sejak diberlakukannya undang-undang ini pada 31 Desember 1985, Indonesia terikat dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 (UNCLOS 1982). Pengakuan ini sangat penting bagi Indonesia yang mempunyai pulau terbanyak didunia, masala yang ada, bagaimana pengelolaan SDA yang ada dapat member suatu kesejahteraan bagi masyarakat disekitar pantai.

I. PENGATURAN LANDAS KONTINEN

A. Landas Kontinen Menurut Konvensi Hukum Laut 1958.

Konvensi Hukum Laut 1958 merupakan hasil Konperensi Hukum Laut yang diselenggarakan oleh PBB yang I. Konvensi Hukum Laut 1958 ini menghasilkan 4 (empat) buah dan salah satunya adalah Konvensi mengenai Landas Kontinen (“Convention on the Continental Shelf”). Secara lengkap pengertian landas kontinen dimuat dalam pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen berbunyi sebagai berikut :

“ For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used as referring (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres or beyond that limit, to where the depth of the superjacent water admits of the exploitation of the natural resources of the said areas; (b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coast of islands”.

Menurut eko, dari rumusan pasal 1 tersebut, landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantai yang merupakan bagian terluar dari laut teritorial sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu untuk tujuan eksploitasi sumber daya alam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantai pulau-pulau.

B. Landas Kontinen menurut UNCLOS 1982.

Konsepsi landas kontinen banyak dipermasalahkan dalam Konperensi Hukum Laut PBB III, terutama dengan diajukannya konsepsi ZEE 200 mil telah menimbulkan perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok peserta. Banyak diantara negara-negara Afrika berpendapat, jika konsepsi ZEE diterima dalam Konperensi, maka pada dasarnya konsepsi landas kontinen tidak dipertahankan lagi, karena dasar laut yang dinamakan landas kontinen telah tercakup dalam ZEE yang memberikan hak kepada negara pantai untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya. Negara-negara yang secara geografis tidak beruntung (“Geographically Disadvantaged States = GDS) dan negara-negara tidak berpantai (“Lan-locked States”), menyetujui penerimaan landas kontinen yang secara geografis dapat dipertanggung jawabkan, misalnya sampai kedalaman 200 meter atau sampai jarak 40 mil dari pantai. Tetapi dalam perkembangannya negara-negara ini merasa berhak atas segala yang dituntut oleh negara-negara pantai, karena mereka merupakan bagian dari “minkind”, oleh karena itu mereka juga menuntut hak yang sama untuk mengambil kekayaan alam di zona ekonomi eksklusif dan atau di landas kontinen.(Hasjim Djalal, Perjuangan .., 105-106)

Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, pengaturan mengenai landas kontinen dimuat dalam BAB VI, pasal 76 sampai dengan pasal 85. Sedangkan pengertian landas kontinen perumusannya dimuat secara lengkap dalam pasal 76 yang menyatakan sebagai berikut :

“ Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepan kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut”.

Menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 untuk mengukur lebar landas kontinen dapat ditentukan dengan beberapa alternatif, yaitu :

(1) Sampai batas terluar tepian kontinen (“the continental margin”);

(2) sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial apabila tepian kontinen tidak melebihi 200 mil laut;

(3) sampai jarak 350 mil laut dari garis pangkal laut teritorial apabila tepian kontinen melebihi 200 mil laut, atau

(4) tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (“isobath”) 2500 meter.

Dengan demikian berarti lebar landas kontinen dari suatu negara pantai tergantung pada konfigurasi tepian kontinen (“continental margin”)nya. Oleh karena itu suatu negara pantai dapat menetapkan lebar landas kontinen yang berbeda-beda disekeliling laut wilayahnya. JIika dibandingkan dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958, perumusan yang terdapat dalam pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan ketentuan-ketentuan yang lebih jelas dalam cara-cara mengukur lebar landas kontinen. Hal ini merupakan penyempurnaan dalam memberikan pengertian landas kontinen. Penyempurnaan yang dimaksudkan yaitu :

(1) terdapat kepastian dalam pengukuran batas terluar landas kontinen berdasarkan alternatif-alternatif sebagaimana tercantum dalam pasal 76. Dengan demikian menghapuskan ketidak jelasan cara pengukuran yang didasarkan atas kriteria “technical exploitability” yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1958

(2) pengertian landas kontinen yang terdapat dalam rumusan pasal 76 selain mencakup pengertian yuridis juga mencakup pengertian geologis.

C. LANDAS KONTINEN MENURUT UU NO 1 TAHUN 1973

Hak-hak negara Indonesia atas landas kontinen berdasarkan ketentuan UU No 1 tahun 1973 tentang landas kontinen sebagai berikut:

a. penguasaan penuh dan hak eksklusife atas kekayaan alam serta pemilikannya pada Negara; yang dimaksud kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya didasar laut dan/atau tanah dibawahnya dan organisme yang yang termasuk jenis sedenter, yaitu organisme yang menempel pada dasar laut atau tnah di bawahnya;

b. eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dilakukan sesuai dengan ketemtuan perundangan yang berlaku dibidang masing-masing;

c. penyelenggaraan penyelelidikan ilmiah dilakukan dengan peraturan dan seizin pemerintah Indonesia;

d. pembangunan, perlindungan dan penggunaan instalasi, kapaltasi sumber-sumber kekayaan alam dilakukan sesuai peraturan dan seizin pemerintah Indonesia;

e. terhadap setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada dan di atas atau dibawah instalasi-instalasi alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang berada di landas kontinen dan/atau di atasnya untuk keperluan eksplorasi dan/atau eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen atau daerah terlarang dan daerah terbatas dari instalasi-instalasi dan atau alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang bersangkutan berlaku hokum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia;

f. menetapkan peraturan tentang pencegahan dan penaggulangan masalah pencemaran, yang selanjutnya diatur dengan peraturan pemerintah;

g. Segala kegitan eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen Indonesia yang bertujuan memperoleh kekayaan alam harus mengutamakan pertimbangan segi-segi pertahanan dan keamanan nasional dan lain-lainnya;

h. Dalam hal terdapat perselisihan-perselisihan antara kepentingan-kepentingan tersebut di atas, yaitu mengenai pemanfaatan sumber kekayaan alam di landas kontinen indoensia maka akan diselesiakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jika tertadi hal-hal yang bertentengan dengan ketentuan di atas pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut izin usaha yang bersangkutan.

II. HAK DAN KEWAJIBAN INDONESIA DI LANDAS KONTINEN

1. Hak melakukan explorasi dan eksploitasi

Berdasarkan pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen dan pasal 77 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia mempunyai hak eksplorasi dan exploitasi di landas kontinen atas sumber kekayaan alamnya. Dalam hal ini landas kontinen tidak dianggap sebagai wilayah negara Indonesia. Hak Indonesia di landas kontinen bersifat eksklusif, dalam arti apabila Indonesia tidak mengeksplorasi dan mengeksploitasinya, tidak seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas dari Indonesia (KHL, 1982, pasal 7 ayat 2).

Untuk pengelolaan SDA di landas kontinen dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (4) KHL 1958 dan pasal 77 ayat (4) KHL 1982. Dalam pasal 77 ayat (4) KHL 1982 secara lengkap menyatakan sumber kekayaan alam di landas kontinen sebagai berikut :

“ … sumber kekayaan alam terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, yaitu organisme hidup yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen dengan tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak phisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya”.

Menurut D.J. Harries, yang termasuk kepada sumber kekayaan mineral, seperti minyak dan gas bumi, sedangkan termasuk sumber organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, antara lain termasuk batu koral, bunga karang, tripang, tiram mutiara, kulit mutiara, sacred dari India dan Ceylon, rumput laut dan trocus (D.J. Harris, Cases .., 1979, 383).

2. Hak membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan

Pasal 60 UNCLOS 1962 mengenai pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif berlaku secara mutatis mutandis di landas kontinen. Hak tersebut dinyatakan sebagai hak eksklusif negara pantai. Termasuk kedalam hak-hak ini, yaitu yuridiksi (kewenangan) yang berkaitan dengan perundang-undangan bea cukai dan fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.

Selain hak berdaulat dan yuridiksi (kewenangan) tersebut, dalam pelaksanaan membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan, negara pantai berkewajiban memperhatikan perlindungan lingkungan laut dan hak-hak serta kewajiban negara lain, seperti pemasangan dan pemeliharaan pipa dan kabel bawah laut, instalasi dan juga untuk keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau- pulau buatan. Untuk menjaga keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau- pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan dilandas kontinen, negara pantai berhak untuk menetapkan zona keselamatan di sekeliling pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan. Penetapan zona keselamatan tidak boleh mengganggu penggunaan alur laut yang diakui penting untuk pelayaran internasional.

Pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut tidak mempunyai status pulau dan tidak mempunyai laut teritorial sendiri. Apabila ditinggalkan dan tidak dipakai lagi, untuk keselamatan pelayaran, negara pantai berkewajiban untuk membongkar pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi dan bangunan itu. (pasal 60 ayat 7 dan 8). Demikian juga mengenai kewenangan eksklusif negara pantai yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan bea-cukai dan fiskal, kesehatan, keselamatan dan keimigrasian tidak berlaku untuk seluruh landas kontinen, tetapi hanya terbatas pada pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di landas kontinen

.

3. Kewajiban untuk menetapkan batas landas kontinen bagi negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan

Bagi negara-negara yang landas kontinennya berhadapan dan atau berdampingan dalam menetapkan garis batas landas kontinennya harus ditetapkan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil (pasal 83 ayat 1). Konvensi memberikan pedoman persetujuan penetapan garis batas tersebut harus dilandasi oleh pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yang secara umum diakui sebagai sumber hukum internasional, yaitu :

a. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;

b. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;

c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

d. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah hukum.

Urutan ini biasanya diikuti dalam praktek. Perjanjian internasional yang bersifat umum maupun khusus, kebiasaan dan azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab lebih utama dibanding dengan keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana-sarjana hukum yang secara tegas dinyatakan sebagai sumber hukum tambahan. Diantara ketiga jenis sumber hukum yang utama, biasanya yang diberi tempat pertama adalah perjanjian internasional umum maupun khusus yang secara tegas diterima oleh negara-negara yang bersangkutan, tetapi jika tidak ada perjanjian internasional umum maupun khusus, maka akan dipakai hukum kebiasaan, dan apabila tidak ada maka dipakai azas prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab. Jika ketiga kategori tidak ada yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan suatu persoalan maka akan digunakan keputusan-keputusan pengadilan. Adakalanya terjadi tumpang tindih dalam penerapan instrumen, misalnya apabila suatu konvensi atau perjanjian internasional memuat suatu ketentuan yang menyatakan hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab sekaligus dikukuhkan oleh suatu perjanjian internasional atau hukum kebiasaan (Starke, In.., 979, 62).

4. Kewajiban negara pantai untuk melakukan pembayaran atau sumbangan.

Perbedaan lebar landas kontinen telah menimbulkan perbedaan dalam hak dan kewajiban negara pantai yang mempunyai lebar landas kontinen 200 mil dan di luar 200 mil. Perbedaannya nampak jelas berkaitan dengan kegiatan ekspoitasi kekayaan alam non hayati di landas kontinen. Mengenai hal ini dalam pasal 82 KHL 1982 menyatakan, bahwa bagi negara pantai yang mempunyai lebar landas kontinen di luar 200 mil dibebani kewajiban- kewajiban sebagai berikut :

1. Negara pantai harus melakukan pembayaran atau sumbangan berupa barang bertalian dengan eksploitasi sumber kekayaan alam non hayati landas kontinen di luar 200 mil laut dihitung dari garis pangkal untuk mengukur luas laut teritorial;

2. Pembayaran dan sumbangan tersebut harus dibuat secara tahunan berkenaan semua produksi pada suatu tempat setelah produksi lima tahun pertama pada tempat itu. Untuk tahun keenam tarif pembayaran atau sumbangan adalah 1 % dari nilai atau jumlah produksi di tempat itu. Tarif tersebut harus naik dengan 1 % hingga tahun ke duabelas dan akan tetap pada 7 % setelah itu. Produksi tidak mencakup sumber yang digunakan bertalian dengan kegiatan eksploitasi;

3. Suatu negara yang berkembang yang merupakan pengimport netto suatu sumber mineral yang dihasilkan dari landas kontinennya dibebaskan dari keharusan melakukan pembayaran atau sumbangan yang bertalian dengan sumber mineral tersebu;

4. Pembayaran atau sumbangan itu harus dibuat melalui Otorita yang harus membagikannya kepada negara peserta pada konvensi ini atas dasar urukuran pembagian yang adil, dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan negara-negara berkembang, terutama yang paling terkebelakang dan yang tidak berpantai di antaranya.

Pembayaran atau sumbangan melalui otorita yang disebut pada bagian 4, adalah otorita Dasar Laut Internasional yang berkedudukan di Yamaica. Perlu dijelaskan kewajiban pembayaran sumbangan hanya dibebankan pada kegiatan eksploitasi di luar 200 mil landas kontinen dan hanya berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan mineral.

Pembayaran atau sumbangan ini pada hakekatnya merupakan kompromi antara negara-negara yang berusaha untuk menambah luas dasar laut yang merupakan warisan bersama ummat manusia (“common heritage of mankind”) dan negara-negara yang berusaha untuk menambah luas dasar laut untuk memperoleh hak-hak eksklusif mereka atas landas kontinen sampai ke tepian kontinen. Kompromi ini akhirnya melahirkan kewajiban-kewajiban tersebut diatas bagi negara yang melakukan kegiatan eksploitasi di landas kontinen di luar 200 mil. Memperhatikan kewajiban-kewajiban negara pantai tersebut, jelaslah Konvensi Hukum Laut 1982 ini dijiwai oleh azas : “laut adalah sebagai warisan bersama ummat manusia” (“common heritage of mankind”), sebab negara-negara tidak berpantai (“land locked states”) dan atau negara-negara yang secara geografis tidak beruntung (“geographically disovantages states” = GDS) dapat menikmati hasil dari eksploitasi landas kontinen dari kegiatan di luar 200 mil.

5. Kewajiban untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut.

Pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kegiatan di landas kontinen dapat terjadi dengan berbagai cara seperti kebocoran yang berasal dari pipa, pipa saluran dari dan ke pantai dan tabrakan antara kapal-kapal dan instalasi-instalasi pengeboran di landas kontinen akibat tidak adanya atau kurangnya tanda penerangan pada instalasi-instalasi tersebut (Komar, Ganti Rugi .., 1981).

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan tunduk kepada ketentuan pasal 194 ayat (3.c) UNCLOS 1982, untuk menanggulangi dan melestarikan lingkungan laut yang disebabkan oleh kegiatan di landas kontinen, negara pantai berkewajiban mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi sejauh mungkin terjadinya pencemaran lingkungan laut yang berasal dari instalasi-instalasi dan peralatan yang dipergunakan dalam kegiatan di landas kontinen. Dalam hal ini khususnya mencegah terjadinya kecelakaan dan yang bertalian dengan keadaan darurat, serta mangatur desain konstruksi, peralatan, operasi dan tata awak instalasi-instalasi atau peralatan yang dimaksud.

Pasal 194 ayat (4) UNCLOS 1982 mengatur sebagai berikut :

“ Dalam mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah, mengurangi atau mengendalikan pencemaran lingkungan laut negara-negara harus menjauhkan diri dari campur tangan yang tidak beralasan ke dalam kegiatan negara lain dalam melaksanakan hak-hak mereka dan melakukan kewajiban-kewajiban mereka sesuai dengan Konvensi”.

Ketentuan ini menuntut negara pantai melaksanakan kewajiban untuk mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan laut, negara harus bekerjasama dengan negara lain terutama dalam hal ini dengan negara tetangga. Meskipun negara-negara diwajibkan untuk menjamin agar pencemaran laut yang timbul akibat kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yuridiksi mereka tidak menyebar melampaui yuridiksi mereka, mengingat sifat laut yang mudah bergerak, masalah pencemaran lingkungan laut selain dapat menimbulkan masalah nasional, juga dapat menimbulkan masalah internasional. Karena menurut sifat dan hakekatnya laut adalah satu dan tidak mengenal batas-batas buatan manusia.

Pasal 208, UNCLOS 1982, negara pantai berkewajiban untuk menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengembalikan pencemaran lingkungan laut sehubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen. Peraturan perundang-undangan ini harus sesuai dengan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum Internasional.


Kotijah

Artikel telah diterbitkan pada ini

Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.