Asas Legalitas, Analogi: Tafsir Pasal 1 KUHP Baru Produk Indonesia

 



Sejarah baru dalam mewujudkan hukum pidana nasional NKRI, pemerintah telah mengundang UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP Baru produk legalisasi bangsa Indonesia secara langsung menghapus makna kitab pada zaman penjajahan wetboek van Strafrech (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), yang ditetapkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Wvs Belanda 1881 sudah dirubah 455x, dalam untuk mewujudkan pengaturan hukum pidana milik bangsa Indonesia, bukan dari warisan Pemerintah Hindia Belanda. 

 KUHP Baru produk Indonesia ini, akan berlaku 3 (tiga) tahun yang akan datang. KUHP ini terdiri atas 2 (dua) buku yaitu buku kesatu berisi aturan umum sebagai pedoman bagi penerapan dari buku kedua, dan undang-undang di luar UU No.1 Tahun 2023, peraturan daerah propinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota, kecuali ditentukan lain undang-undang.

 KUHP Baru produk Indonesia ini mengacu pada 4 (empat) misi yaitu rekodifikasi, demokratasisasi, konsolidasi, dan adaptasi dan hormonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi dalam hukum pidana. KUHP baru ini, mencabut UU No.27 Tahun 1999, UU No.4 Tahun 1976, UU No.7 Tahun 1974, Perpu No. 18 Tahun 1960, Perpu No.16 Tahun 1960, UU No.1 Tahun 1960, UU No. 73 Tahun 1960, UU No. 73 Tahun 1958, dan UU No.1 Tahun 1946. Selain KUHP baru ini.

Selain KUHP ini mencabut sebagian aturan perundang-undangan antara lain: UU No.5 Tahun 2018, UU No.19 Tahun 2016, UU No. 17 Tahun 2016, UU No. 35 Tahun 2014, UU No. 31 Tahun 2014, UU No.9 Tahun 2013, UU No.18 Tahun 2012, UU No.7 Tahun 2011, UU No. 6 Tahun 2011, UU No.8 Tahun 2010, UU No.36 Tahun 2009, UU No. 35 Tahun 2009, UU No. 24 Tahun 2009, UU No.24 Tahun 2009, UU No. 44 Tahun 2008, UU No.40 Tahun 2008, UU No.11 Tahun 2009, UU No.21 Tahun 2007, UU No.13 Tahun 2006, UU No.20 Tahun 2003, UU No.20 Tahun 2003, UU No.15 Tahun 2003, UU No.23 Tahun 2002, UU No.2001, UU No.26 Tahun 2000, UU No.31 Tahun 1999, UUDrt No.12 Tahun 1951, UUDrt No.1 Tahun 1951.

Filosofi KUHP untuk mewujudkan hukum pidana produk bangsa sendiri, yang menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Selain hukum pidana nasional  mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan individu, antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana, dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan, dan sikap batin, antara kepastian hukum, dna keadilan, antara hukum tertulis, dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional, dan nilai universal serta antara HAM dan kewajiban HAM.

Pasal KUHP

(1)            Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas perbuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2)              Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

 

Penjelasan

Ayat (1)

Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang menerangkan bahwa suatu perbuatan merupakan Tindak Pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum Tindak Pidana. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "analogi' adalah penafsiran dengan cara memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah dengan cara menyamakan atau mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.

Black’s Law Dictionary (1990), legality dengan legalness dan lawfulness. Pada konsep lex scaripta yaitu legalitas dimaknai sebagai hukum tertulis. Konsep lex stricta, hukum tertulis itu dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas, sehingga merugikan subyek pelaku perbuatan tersebut. konsep temporis delicti, sebagai larangan retroaktif. Tafsir Pasal 1 ini, membuat asas penting yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, asas non rektroaktif (KUHP ini tidak berlaku surut), dan penafsiran analogi tidak boleh dipergunakan dalam KUHP. Di mana analogi yang dimaksud sudah terdapat dalam pasal penjelasan yaitu Pasal 1 ayat (2) dimana maksud dari analogi adalah pemberlakukan sesuatu ketentuan pidana dengan cara menyamakan atau memberikan perumpamaan kejadian atau bahkan peristiwa tersebut dengan peristiwa lain. Pemberian analogi dalam penentuan pidana dapat menyebabkan kerancuan karena harus dapat dapat dibuktikan bahwasannya perumpamaan yang digunakan merupakan perumpamaan yang tepat dan tidak hanya menguntungkan satu pihak saja.

Menurut Barda Nawawi Arief, asas legalitas mengatur tentang sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan delik atau bukan. Asas legalitas ini berasala dari pemerintahan Hindia Belanda sebagai asas legalitas formil, khususnya di bidang hukum pidana. Hukum pidana mengenal asas legalitas, yakni asas yang tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam artian bahasa latin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli, yang artinya tidak ada delik, tidak ada pidana tanapa aturan terlebih dahulu. Sejarah asas berasal dari Anselm van Feuerbach (Jerman, 1775-1833), adindum itu dalam buku lehrbuch des peinlichen recht (1801).

Asas ini selaras dengan asas non retroaktif atau, asas peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Prakteknya asas legalitas berupa undang-undang. Dalam adidium tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana, poin syarat yang harus terpenuhi terhadap suatu perbuatan yang tercela/dilanggar, yaitu adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perbuatan tercela/terlanggar itu. Penegak hukum dalam memutus, pedoman peraturan perundang-undanga, yang ini berarti memperkuat Indonesia menganut civil law sistem. Seorang penegak hukum tidak boleh, wajib patuh dengan bunyi undang-undang sebagai dasar menentukan suatu perbuatan tercela.

Hal itu penerapan asas legalitas, menjadi kelemahan. Kelemahan asas legalitas menurut Barda Nawawi Aried (2003), yaitu bentuk pelunakan/penghalusan KUHP, praktek putusan hakim (yurisprudensi) dan perkembangan teori dikenal sifat melawan hukum yang bersifat materiil, perkembangan hukum positif yang menghadirkan pergeseran adidium nulla dilictum sine lege menjadi nullum delictum sine ius (lihat UUSN 1950, UU No.1/Drt/1951, UU No.14 Tahun 1970 jo UU No.35 Tahun 1999, dan KUHP ini), pengakuan asas legalitas materiil pada dokumen internasional dan KUHP negara lain, pemanfaat/pengampuan hakim bentuk judicial corrective to the legality principle, adanya perubahan fundamental KUHP Perancis pada tahun 1975, yang menentukan yakni pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana, the declaration of guilt without imposing a penalty, dan perkembangan ilmu dan teknologi sulit dijangkaui oleh cybercrime yang menjadi tantangan berlaku asas lex certa.

Anologi dalam tafsir adanya perbuatan hukum tindak pidana dilarang digunakan., dalam asas ini, jelas dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). Ahli hukum ada perbedaan pendapat, ada yang masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Menurut Taverne, Pompe, dan Jonkers, Scholyer menolak perbedaan antara anologi dan tafsir ekstensif, yang nyata-nyata diperbolehkan. Penafsiran anologi yang penafsiran sesuatu peraturan hukum dengan menberi kias pada kata-kata dalam peraturan itu sesuai, dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk didalamnya, dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.

     Menurut Andi Hamzah, ada 2 (dua) macam analogi yaittu gesets analogi (perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana), dan recht analogi (perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana. Argumentasi terhadap penggunaan tafsir analogi dalam tindak pidana, secara umum akan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Penegak hukum tidak penerapkan tafsir analogi dalam KUHP, sebagai kejelasan atas ketentuan-ketentuan yang sudah tertulis dalam KUHP, mana perbuatan yang boleh, mana perbuatan yang dilarang.

12  Rabu Januari 2023

Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.