Pancasila Sebagai filsafah Hidup Masyarakat Hukum Adat.



Pancasila Sebagai filsafah Hidup Masyarakat Hukum Adat.

Masyarakat hukum adat hidup sebelum Negara Indonesia terbentuk, nilai-nilai yang ada dalam kehidupan baik secara pribadi dan komunal, menjadi entitas keberadaan keragaman dari bangsa ini yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Pendahaluan
Pancasila sebagai filsafah dasar kehidupan dalam berbangsa dan bernegara,  termasuk bersumber dari hukum adat. Hukum adat menjadi dasar kehidupan masyarakat hukum adat. Hukum Adat diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk orang-orang Pribumi atau orang-orang Indonesia.
Dari segi ekonomi kehidupan masyarakat  hukum adat masih jauh tertinggal. Masyarakat hukum Adat mempunyai keterbatasan dalam lingkungan dan kehidupannya. Harus dipahami keberadaaan masyarakat hukum adat mempunyai karekteristik sendiri yang membedakan dengan masyarakat yang lain.  Sehubungan dengan pancasila sebagai filsafah dasar dalam kehidupan, keberadaan masyarakat hukum adat, menjadi titik tolak dalam upaya meningkatkan kesejahteraan mereka, seperti diamanatkan dalam UUD NRI 1945.
Masyarakat hukum Adat pada kelompok yang terkecil di Jawa adalah di Desa/Kampung/Nagari di Sumatera Barat. Desa itu adalah masyarakat yang terkecil dari suatu bangsa/negara.
Bagian terkecil dari Desa itu adalah Keluarga. Kehidupan Masyarakat Desa bisa tercermin dan menjelma menjadi Masyarakat Berbangsa/Bernegara.
Seperti diketahui permasalahan di desa dibicarakan oleh Kepala Desa bersama dengan Masyarakat Desa. Masyarakat desa itu terdiri dari Petani, Nelayan, Buruh Pabrik, Ulama Masjid, Pendeta, Pegawai Satpam, dan lain-lain. Pada masyarakat hukum adat, dalam hal diputusan ditentukan oleh ketua adat, sebegai pimpinan kelompok masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat dalam menentukan suatu masalah, kegiatan sama dengan masyarakat desa, yakni berembuk/bermusyawarah untuk menyelesaikan  masalah; seperti, pembuatan jalan desa, pembuatan saluran irigasi, pembuatan satuan keamanan desa, dan lain-lain itu semua dirembuk, dimusyawarahkan di Balai Desa. Jadi Balai Desa ini adalah tempat terkecil untuk untuk rembukan/musyawarah masyarakat desa. Pada kontek ini, pada tingkat Bangsa/Negara Balai Desa ini di jelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”).
a.      Imlementasi Pancasila pada Masyarakat Hukum Adat.
Secara relaitas Pancasila telah dilaksanakan sejak zaman dahulu. Sejak zaman sebelum Indonesia dijajah Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang dan sesudah dijajah Belanda. Pada perkembabngannya pada Zaman Belanda ada pengakuan bahwa Hukum Adat berlaku bagi Golongan Pribumi/Bangsa Indonesia sampai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pancasila pada dasarnya mengandung aturan Hukum Adat, selain hukum islam dan hukum nasional yang dipakai sebagai dasar Negara  berlaku sampai sekarang. Pada kontek implementasi pancasila yang hidup dalam masyarakat hukum adat, belum menempatkan mereka pada kondisi yang setara. Secara peraturan perundang-undangan, keberadaan masyarakat hukum adat sudah dilindungi  secara hukum baik secara konsitusi dan beberapa peraturaan perundang-undangan.
Pengakuan masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah, dapat ditelusuri pada Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah menetapkan RPJMN yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia. Desa yang memiliki hak asal-usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD 1945 dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu:
a.       Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.      Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c.       Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa;
d.      Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan Aset desa guna kesejahteraan bersama; Membentuk Pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
e.       Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
f.        Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
g.      Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
h.      Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
b.      Istilah Masyarakat Hukum Adat.
Istilah masyarakat hukum adat di atur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 39 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH.[1]

Selain itu ada istilah masyarakat adat oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), serta istilah “Komunitas  Adat Terpencil (KAT) dalam Keputusan Presiden No.111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Pasal 1 ayat (1) dari Keputusan Presiden mendefinisikan “komunitas adat terpencil atau yang selama ini lebih dikenal dengan sebutan masyarakat terasing adalah sekelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencal serta kurang atau belum dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun publik.

PMK/KBPN No.5 Tahun 1999 yang memberi kewenangan kepada pemerintah propinsi dan kabupaten untuk menetapkan status masyarakat hukum adat setempat.  PMK/KBPN No.5 Tahun 1999 diganti Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu, memberi pengakuan pada hak komunal masyarakat hukum adat sepanjang pada kenyataan masih ada, sebagaimana dimaksud Pasal 3 UUPA. SE Menteri Kehutanan No. S.75/Menhut-II/2004 tentang Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompesasi/Ganti Rugi oleh Masyarakat Hukum Adat. Secara khusus, Indonesia belum mengeluarkan UU tentang Masyarakat Hukum Adat.


c.       Mewujudkan Masyarakat Hukum Adat yang sejahtera
Implementasi pancasila, UUD NRI Tahun 1945 dalam sistem ketatanegaraan kita, dalam ini keberadaan masyarakat hukum adat, dapat diwujudkan berdasar pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa[2] memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD Tahun 1945, tentu terkait dengan masyarakat hukum adat. Jenis desa dibagi 2 (dua), yaitu desa dan desa adat. 

Desa adat adalah Perubahan UU No.5 Tahun 1979  yang signifikan pada UU No.6 Tahun 2014 tentang (selanjutnya disebut UU Desa) merupakan tonggak perubahan dan pengakuan atas masyarakat hukum adat. Filosofi dasar perubahan UU Desa, sebagai terkecil wilayah dalam  ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Desa merencanakan pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dipunyai. Desa berhak seperti dimuat dalam Pasal 67 UU Desa antara lain:[3]
a.    Mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat desa;
b.   Menetapkan dan mengelola kelembagaan desa; dan
c.    Mendapatkan sumber pendapatan.

Desa Adat yang di atur dalam UU Desa merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Ini berarti menjawab ketidakpastian selama ini, terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Dengan dibentuk desa adat, secara otomatis masyarakat memiliki secara yuridis formal dilindungi dan diakui dalam undang-undang ini.

                                                         



[1] Siti Kotijah, Disertasi, Hak Gugat Masyarakat Hukum Adat Dalam Pertambangan Batubara, Tahun 2015, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, h. 201.
[2] Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 angka1 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa). Pelaksanaan dan pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat menggangg keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[3] Pasal 67 UU Desa
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.