Latar Belakang
George W. (Rock) Pring, menyebutkan bahwa terdapat 2 (dua)
perkembangan penting yang terjadi dalam usaha pertambangan dan
hubungannya dengan program sumber daya alam oleh pemerintah diseluruh
dunia. Salah satu bersifat positif, yang lainnya bersifat problematika.
Pertambangan batubara, khususnya di Kota Samarinda, menjadi penting bagi
kehidupan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Pertambangan batubara di Kota Samarinda, menjadi titik klimaks dan
berdampak kerusakan terhadap lingkungan yang parah baik berupa
pencemaran udara, air dan tanah, banjir lumpur. Kemudian juga
menghilangkan sumber kehidupan mata air, hutan, bukit, dan tanah
pertanian atau perkebunan. Hal ini yang mencerdai essensi hak atas
lingkungan yang baik dan sehat yang secara mendasar sudah dijamin
negara. Pemerintah dan pemerintah kota/Kota di samarinda, telah
menyalagunakan atas hak menguasai negara atas kekayaan sumber daya alam
oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana konsep
menguasai menjadi konsep memiliki yang dipegang pemerintah Kota
Samarinda atas sumber daya alam berupa batubara.
Pertambangan batubara saat ini, yang menimbulkan dampak lingkungan
akibat pencemaran lingkungan, sebagai contoh yang dilakukan PT. Nuansa
Coal Invesment telah, dalam kasus pencemaran lingkungan disekitar warga.
Settling pond belum memadai, sehingga pengelolaan limbah mencemari
sumur warga. Kerugian yang ditimbulkan akibat pertambangan batubara,
dalam hal ini pertanggungjawaban kepada perusahaan pemegang izin usaha
pertambangan.
Tanggung Gugat Perusahaan Batubara
Dalam beberapa istilah tanggunggugat, menurut Agus Yudha Hernoko,
tanggung gugat adalah suatu rangkaian untuk menanggung kerugian yang
diakibatkan karena kesalahan atua resiko. Y. Sogar Simammora, bahwa
tanggung gugat tidak hanya berupa ganti kerugian, namun juga pemulihan
kepada keadaan semula, pada intinya dari suatu perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), yaitu tidak ada hubungan kontratual antara pihak
dengan pihak lainnya. Perbuatan melanggara hukum terjadi apabiila salah
satu pihak merugikan pihak lain dengna suatu kesengajaan ataupun
ketidaksengajaan dan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.
Pasal 1365 BW tanggung gugat berdasarkan perbuatan melawan hukum,
juga kepada kesalahan pada si pembuat. Tanggung gugat tanpa kesalahan,
suatu hal yang didalam beberapa undang-undang asing diatur sebagaimana
harusnya (tanggung gugat asal orang yang bersangkutan mempunyai cukup
daya pikul finansial dan kerugiannya tidak dapat dituntut penggantinya
dari pihak ketiga yang berkewajiban untuk mengawasi).
Tuntutan Ganti Rugi Atas Dasar Perbuatan Melanggar Hukum
Istilah onrechmatige daad dalam bahasa Belanda yang
diartikan“perbuatan melanggar hukum” ditujuhkan kepada hukum yang pada
umumnya berlaku di Indonesia dan sebagian tersebut merupakan hukum adat.
Pasal 1365 BW menyatakan: setiap perbuatan melawan hukum yang oleh
karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibakan orang yang
karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti
kerugian..etentuan Pasal 1365 BW, dalam hal ini seseorang harus
bertanggung gugat atas kerugian orang lain, jika:
a. Adanya suatu perbuatan
b. Perbuatan tersebut bersifat melangggar hukum.
c. Adanya kerugian kepada pihak lain
d. Kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut (hubungan kausal):
e. Pelaku tersebut bersalah (kesalahan)
Ganti rugi dalam hal perbuatan diatur dalam Pasal 1243 BW sampai
Pasal 1252 BW terkait wansprestasi. Ganti rugi dapat berupa ganti rugi,
biaya, dan bunga. Ganti rugi ini sebagai kompesasi terjadi pencemaran
lingkungan yang diakibat pertambangan batubara. Pada praktik di Kota
Samarinda, proses ganti rugi yang dilakukan perusahaan dilakukan dengan
penyelesaian sengketa diluar lingkungan, tidak melalui mekanisme
Pengadilan Negeri, yang diisyaratkan dalam Pasal 1365 BW.
Tanggung gugat perusahaan pertambangan batubara Terhadap pencemaran lingkungan
Tanggung gugat untuk lingkungan hidup, di Indonesia dikenal dengan
tanggung gugat mutlak yang mulai dikenal/diatur secara tegas dalam UU
No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok pengelolaan Lingkungan
Hidup, dan masih dipertahankan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
lingkungan hidup dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup atau (PPLH).
Penggugat dalam masalah percemaran dan/atau perusakaan lingkungan
hidup, yang dituntut ganti kerugian. Dalam Pasal Pasal 87 ayat (1)
UUPPLH, menyatakan “ setiap penanggung jawan kegiatan/usaha melakukan
perbuatan melawan hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup
wajib memikul ganti rugi dan/atau tindakan tertentu.” Essensi dari Pasal
87 ayat (2) UUPPLH, sudah ditentukan pihak yang bertanggungjawan secara
yuridis dalam gugatan sengketa lingkungan, yaitu setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dan setiap orang yang melakukan pemindahan
tangan, pengubahaan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari
suatu badan usaha yang menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan.Secara yuridis ketentuan Pasal 87 ayat (1) UUPPLH tidak
mengatur lebih lanjut mengenai tata cara menggungat ganti kerugian,
sehingga berlaku Pasal 1365 BW.
Konsep Pasal 1365 BW dengan tanggung gugat berdasarkan kesalahan,
mengalami berbagai masalah seperti diatas, UUPPLH memperkenal konsep
tanggung gugat mutlak (ricisoaansprakelijkheid) atau yang dalam sistem
hukum Anglo Amerika disebut sebagai asas strict liabilty. Dengan asas
tanggung gugat mutlak penggugat tidak perlu lagi membuktikan unsur
kesalahan tergugat, tanggung gugat timbul seketika pada saat terjadinya
perbuatan.
Prinsip tanggung gugat mutlak (no fault liability or liability
without fault), pada prinsipnya dimaksud tanggung gugat keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan. Dalam bidang lingkungan, termasuk dalam
hal ini bidang pertambangan batubara, asas tanggung gugat mutlak dikenal
seiring dengan begitu rumit (complicated) mengenai aspek tanggung jawab
perdata dibidang lingkungan. beberapa faktor kesulitan
mengindentifikasi luasan kerusakan/pencemaran lingkungan yang menjadi
obyek tanggung jawab terkait beberapa faktor.
Dalam kaitan dengan sengketa lingkungan, termasuk bidang pertambangan
batubara, tanggung gugat dalam sengketa, untuk itu mutlak diperlukan
untuk menciptkan rasa keadilan bagi korban yang manjadi korban
pencemaran perusakan lingkungan hidup, hal mengingat korban
pencemar-perusak adalah masyarakat awam dan ekonomi lemah, sedangkan
pelaku pencemaran-perusakan lingkungan adalah perusahaan-perusahaan yang
puya kekuatan ekonomi yang kuat. Untuk sosialisasi dan penegakan hukum
harus dapat memberi rasa keadilan bagi mereka yang terkena dampak
pengelolaan pertambangan, terkait percemaran/ kerusakan lingkungan.
Untuk tanggung gugat mutlak diatur dalam Pasal 88 UUPPLH,
disebutkan:Penerapan asas tanggung gugat mutlak biasanya didampingi
dengan ketentuan beban pembuktian terbalik (omkering der bewijslast),
kewajiban asuransi dan pembuktian plafond (ceiling) yaitu batas maksimum
ganti kerugian. Tujuan dari tanggung gugat mutlak adalah perlindungan
bagi korban pencemaran-pencemaran lingkungan, sedangkan beban pembuktian
terbalik adalah perlindungan bagi pelaku usaha dan /atau kegiatan usaha
dan/atau kegiatannya memenuhi ketentuan Pasal 88 UUPPLH .
Pasal 1365 BW para pihak tidak diwajibkan untuk lebih dahulu
menyelesaikan sengketa lingkungan diluar pengadilan, dapat langsung
menuntut kepengadilan. Dalam prakteknya dalam rumusan Pasal 84 ayat (3)
UUPPLH menimbulkan salah pengertian dikalangan penegak hukum terutama
hakim Pengadilan Negeri, yang menyatakan bahwa gugatan ganti kerugian
dalam sengketa lingkungan hanya dapat diajukan setelah selesai ditempuh
prosedur penyelesian sengketa lingkungan dipengadilan. H
Dalam ketentuan secara subtansi UU Minerba, tidak mengatur terkait
dengan gantirugi terhadap pencemaran yang disebabkan ada pengelolaan
pertambangan batubara. UU Minerba secara umum bersifat pengaturan
terhadap pertambangan terkait proses perijinan, jenis pertambangan and
prosedurnya. Pada ketentuan pidana, juga tidak diatur makanisme
gantirugi, ketentuan pidana mengatur terkait sanksi terhadap perizinan
yang dilakukan. Untuk pertanggungjawab bagi pengusaha dalam hal pemegang
izin perusahaan yang berbadan hukum, dapat dikenai ketentuan pidana,
yang diatur dalam Pasal 164 UU Minerba
Kesimpulan
Tanggung gugat perusahaan pertambangan batubara Terhadap pencemaran
lingkungan, dalam UU No.32 Tahun 2009 dikenal dengan tanggung gugat
mutlak yang berbentuk ganti rugi, dengan prosesnya melalui Pengadilan
Tinggi Setempat. Perusahaan batubara yang mengakibatkan pencemaran
lingkungan dapat dikenai pertanggujawaban yang diatur dalam Pasal
116-119 UUPPLH, sedangkan UU Minerba, terkait perusahaan, hanya mengatur
tindak pidana dalam pengaturan perizinan tambang.