Tanggung Gugat Pejabat Terhadap Dampak Pencemaran Lingkungan akibat tambang



Perizinan dan Pejabat Pemerintah

Izin adalah salah satu instrumen yang digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku warga masyarakat. Secara yuridis suatu izin adalah merupakan persetujuan yang diberikan pemerintah sebagai perwakilan dari negara kepada suatu badan atau perorangan untuk melakukan aktivitas tertentu.

Pada prinsipnya izin adalah memperbolehkan, menyetujui suatu badan atau perorangan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal jika seseorang mendapat izin usaha pertambangan batubara, maka seseorang itu secara hukum boleh melakukan aktivitas pertambangan batubara. Philipus M Hadjon mengemukakan bahwa perizinan merupakan kategori dari keputusan administrasi negara (beschikking) yang berbentuk keputusan-keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan ketentuan-ketentuan perintah.
Pejabat Walikota Kota Samarinda memiliki dua kedudukan hukum yakni sebagai wakil badan hukum dan wakil pejabat. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab dan tanggung gugat, dua kedudukan pemerintah ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Tanggungjawab dapat dibedakan dalam bentuk tanggungjawab dan tanggung gugat jabatan dalam bidang publik dan dalam bidang perdata, yang menimbulkan karena tindakan pemerintah itu bertentangan dengan norma hukum publik dan hukum privat. Dalam hal-hal tertentu tanggungjawab dan tanggung gugat juga dapat muncul meskipun tindakan pemerintah itu sah menurut hukum
Tanggung Gugat Pejabat Pemerintah
Tanggungjawab dan tanggung gugat jabatan pemerintah dibidang publik, dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan (regeling), peraturan kebijakan (beleidsregel), dan keputusan tata usaha negara (beschikking), serta tindakan faktual (feitelijke hendeling), berupa tindakan pemerintah yang diselesaikan melalui lembaga pengadilan yang berbeda-beda, jika tindakan pemerintah itu menimbulkan kerugian bagi warga negara. Termasuk dalam tanggung gugat Pejabat Wali Kota Samarinda terhadap dampak pencemaran lingkungan akibat pertambangan batubara.
Gugatan terhadap tindakan pemerintah dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan ditempuh melalui judicial review oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Khusus untuk peraturan perundang undangan tingkat daerah pengujian oleh Mahkamah Agung dilakukan setelah ditempuh proses penyelesaian oleh pemerintah pusat dan daerah menerima keputuasan pembatalan dari pemerintah pusat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 145 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Adapun gugatan yang terkait dengan tindakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang ditempuh upaya administratif atau PTUN. Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahaan atas Nomor 5 Tahun 1996 tentang Peradialan Tata Usaha Negara dan telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Nomor 5 Tahun 1996 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk proses pemberian dan penentuan ganti rugi diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaan pada PTUN. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaan pada PTUN
Untuk kasus pencemaran lingkungan akibat pertambangan batubara yang terjadi Di Kota Samarinda, dalam hal merujuk pada Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Akibat pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan hidup, inilah yang menjadi dasar adanya gugatan dalam sengketa lingkungan. Tanpa adanya pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, tidak ada gugatan sengketa lingkungan. Subjek dalam gugatan sengketa lingkungan adalah pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atau pencemar dan//atau perusak lingkungan sebagai pihak tergugat serta penderita atau korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan sebagai penggugat.
Penggugat dalam masalah percemaran dan/atau perusakaan lingkungan hidup, yang dituntut ganti kerugian diatur dalam Pasal Pasal 87 ayat (1) UUPPLH mengatur lebih lanjut mengenai tata cara menggungat ganti kerugian, sehingga berlaku Pasal 1365 BW. Asas Pertanggungjawaban Mutlak (Strick Liabillity) yang ada di dalam UUPPLH, mengatur pembuktian terbalik sebagaimana yang terdapat dalam hukum acara pidana, Pertanggungjawab jawab industri mengabaikan berbagai persyaratan-persyaratan lingkungan seperti AMDAL , pemilikan dan pengoperasian UPL/UKL dan persyaratan-persyaratan lainnya. Beberapa faktor kesulitan mengindentifikasi luasan kerusakan/pencemaran lingkungan yang menjadi obyek tanggung jawab, terkait pada faktor-faktor
1. Menelusuri aspek kausalitas dari kasus kerusakan/pencemaran lingkungan tidaklah mudah karena media-media pencemaran/kerusakan bisa sangat (sustances) khusus dan teknis;
2. Sifat kerusakan tergantung pada media lingkungan yang tercemar atau rusak, jadi ada karekter lingkungan yang spesifik dan tidak bersifat mendasar (general)
3. Sifat bekerjanya media-media penyebab pencemaran ada yang menimbulkan akibat seketika (direct effect) tetapi tidak jarang pula sifat kemudian (long term effect), artinya baru diketahu setelah berselang lama, misalnya setelah setahun atau lebih; dan
4. Terkait pula pada faktor-faktor perubahan ekologis (ecological effect) yang memerlukan bantuan pengetahuan teknis.
UUPPLH memuat dan merumuskan asas tanggungjawan mutlak (strict liability) kepada kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu tersebut antara lain adalah dampak besar dan penting, penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) dan yang menghasilkan limbah B3. Asas strict liability ini tercantun dalam Pasal 88 UUPPLH.
Seorang pejabat, termasuk pejabat Wali Kota Samarinda bertindak untuk dan atas nama jabatan, memiliki imunitas pribadi, artinya jika tindakan yang dilakukannya menimbulkan kerugian bagi orang lain, beban kerugian itu dibebankan pada jabatan. Dalam penyelenggaran pemerintahan ada norma pemerintahan dan norma perilaku aparat pemerintah. akan maladaministrasi.
Badan atau pejabat atau tata usaha negara yang terlibat dalam kegiatan dibidang perdata atau menggunakan instrumen keperdataan dalam penyelenggaran pemerintahan. Dalam kedudukan badan atau pejabat tata usaha negara itu sama dengan seorang badan hukum perdata, sehingga suatu tindakan pemerintah akan dianggap menyimpang jika bertentangan dengan norma-norma hukum perdata. Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
Tanggung gugat perdata menjadi tanggung gugat pribadi apabila terdapat unsur maladministrasi. Untuk tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Beberapa ketentuan yang memuat sanksi bagi pejabat yang melakukan kesalahan atau pelanggaran. Untuk hal ini dapat merujuk pada Pasal 151-153 UU Minerba. Dalam hal pemerintah daerah berkeberatan terhadap penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP dan IPR oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam UUPPLH, juga diatur sanksi bagi pejabat atau pegawai yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, antara lain:
Pasal 111
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 112 UUPPLH
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan Pasal diatas ini jelas Wali Kota Samarinda, yang mengeluarkan izin usaha pertambangan yang melanggar RTRW Kota samarinda dan penataan ruang, memikul tanggungjawab pribadi sebagai pejabat kepala daerah/walikota. Mari tegakan Hukum Untuk menuntut keadilan atas rusak lingkungan akibat tambang.
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.