Latar Belakang
Pertambangan batubara sebagai salah pemicu pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan, tidak lepas dari masalah lingkungan. Problematika dampak pencemaran/kerusakan lingkungan, seolah-olah berlomba dengan pengerukan batubara dari perut bumi. Segala aturan dan kebijakan di tingkat lokal dan nasional dibuat untuk membuat regulasi pertambangan batubara lebih manusiawi, tertata, dan berdampak pada kesejahteraan serta memperhatikan pembangunan berkelanjutan.
Pertambangan batubara sebagai salah pemicu pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan, tidak lepas dari masalah lingkungan. Problematika dampak pencemaran/kerusakan lingkungan, seolah-olah berlomba dengan pengerukan batubara dari perut bumi. Segala aturan dan kebijakan di tingkat lokal dan nasional dibuat untuk membuat regulasi pertambangan batubara lebih manusiawi, tertata, dan berdampak pada kesejahteraan serta memperhatikan pembangunan berkelanjutan.
Pertambangan batubara, seharusnya inheren dengan penataan ruang dalam
pembuatan kebijakan dan penentuan kawasan wilayah pertambangan.
Pertambangan batubara, yang memperhatikan penataan ruang, dan sinergi
dengan tata ruang wilayah propinsi/ kabupaten/kota, akan meminimalisir
dampak lingkungan/kerusakan lingkungan yang ada.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan
Batubara atau (UU Minerba) dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, sebenarnya lex specialis dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok-pokok Agraria (UUPA). Sebagai undang-undang induk, UUPA
seakan kehilangan roh hubungan antara pertambangan dan penataan ruang
dan seakan tidak terkait. Memaknai esensi pertambangan dan penataaan
ruang dalam kontruksi UUPA, akan dapat menata dan memahami pengaturan
dan kebijakan pertambangan.
Hak Menguasai Negara
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) serta Pasal 2 ayat (1) UUPA menempatkan hak menguasai negara sebagai dasar dan asal dari hak-hak keagrariaan. Dari kekuasaan negara ini kemudian dikeluarkan kekuasaan-kekuasaan dalam ukuran yang lebih kecil, yang dalam bentuk, isi, dan sifatnya beraneka ragam. Fungsi individualistis dari kekuasaan negara artinya fungsi untuk membuat anggota masyarakat dalam perseorangannya menjadi berada di dalam kemungkinan keadaan sejahtera.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) serta Pasal 2 ayat (1) UUPA menempatkan hak menguasai negara sebagai dasar dan asal dari hak-hak keagrariaan. Dari kekuasaan negara ini kemudian dikeluarkan kekuasaan-kekuasaan dalam ukuran yang lebih kecil, yang dalam bentuk, isi, dan sifatnya beraneka ragam. Fungsi individualistis dari kekuasaan negara artinya fungsi untuk membuat anggota masyarakat dalam perseorangannya menjadi berada di dalam kemungkinan keadaan sejahtera.
UUPA, sebagai dasar hak penguasaan negara atas bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk
pertambangan batubara. Pengelolaan pertambangan tidak lepas dari tanah,
dalam implementasi asas perlekatan, pemilik tanah pada negara
menggunakan haknya atas ruang bawah tanah berupa penguasaan mineral
deposit tambang batubara. Dalam hal ini sebatas benda-benda mineral yang
bersifat padat (hard mineral).
Wewenang menguasai dalam konsep hak menguasai negara digunakan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah dan masyarakat hukum adat. Negara tidak
memiliki, melainkan bertindak selaku pemegang kekuasaan. Jadi bersifat
publik atau pemerintah berlaku (berstuursdaat). Dasar tujuan dikonsep
dikuasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maupun UUPA ditegaskan
bahwa hak menguasai oleh negara adalah sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Berdasarkan tujuan disebut, ada beberapa larangan yang tidak
boleh dilanggar, yaitu:
a. Apabila dengan iktikad baik tanah-tanah telah dikuasai dan
dimanfaatkan oleh rakyat, maka pernyataan itu harus dihormati dan
dilindungi. Keberadaan rakyat di tanah-tanah tersebut merupakan salah
satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus mendapat hak
didahulukan dari pada accupant baru yang menyalagunakan
formalitas-formalitas hukum yang berlaku; dan
b. Tanah yang dikuasai negara, tetapi telah dimanfaatkan rakyat
dengan iktikat baik (ter geode throuw) hanya dapat dicabut atau
diasingkan dari mereka, semata-mata untuk kepentingan umum, yaitu untuk
kepentingan sosial dan/atau kepentingan negara.
c. Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan
kongkrit yang diduduki atau dimanfaatkan dengan iktikad baik, harus
dijamin tidak akan menurunkan status atau kualitas mereka karena
hubungan mereka dengan tanah tersebut. (Bagir Manan:2005).
Dalam memori penjelasan II/8 UUPA, bahwa tanah untuk persediaan,
peruntukan, dan penggunaannya harus melalui suatu perencanaan.
Perencanaan ini dapat ditafsirkan, bahwa UUPA, dalam penggunaan kawasaan
pertambangan, harus ada perencanaan dalam RTRW suatu
propinsi/kabupaten/kota dalam suatu proses pembangunan. Peruntukan itu
dalam rangka tata ruang pengelolaan pertambangan, yang berhubungan
dangan pengembangan wilayah suatu daerah propinsi/kabupaten//kota dalam
pembangunan yang akan dilakukan.
Hubungan Pertambangan dengan Penataaan Ruang.
Dasar hukum penataan kota mengacu pada dasar hukum penataan ruang
antara lain diatur dalam
Pasal 14 ayat (1) UUPA, yang dalam peruntukan
dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, salah satunya pertambangan. Penatagunaan tanah
ini diwujudkan dalam suatu rencana tata ruang. Penataan ruang di atur
dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam tindakan penataan ruang sesuai dengan rencana tata ruang akan menimbulkan akibat-akibat hukum sesuai dengan hak atas tanah. Ruang sebagai satu sumber daya alam tidak mengenal batas wilayah. Namun ruang dikaitkan dengan pengaturan, maka harus jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan.
Aspek pertanahan dan penataan ruang, mempunyai hubungan penting,
karena tanah sebagai salah satu sumber daya kegiatan penduduk yang dapat
dinilai sifat, proses dan penggunannya, ini sesuai dengan yang
dikemukakan Firey, “Tanah dapat menunjukan pengaruh budaya yang besar
dalam adaptasi ruang, dan selanjutnya dikatakan ruang dapat merupakan
lambang bagi nilai-nilai sosial (misalnya penduduk sering memberi nilai
sejarah yang besar kepada sebidang tanah). Dalam Pasal 18 UUPA, bahwa
hak atas tanah adalah hak dan kewajiban, kewenangan-kewenangan dan
manfaat dalam menggunakan tanah yang dengan sendirinya meliputi fisik
tanah dan lingkungannya serta ruang diatasnya.
Penataaan ruang dan tata guna tanah, dalam Pasal 16 UUPA, mewajibkan
pemerintah untuk menyusun rancangan umum mengenai persediaan,
peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan
pembangunan. Dalam penataaan ruang terkait pengelolaan pertambangan,
mengacu pada rencana umum peruntukan tanah, didasarkan pada kondisi
obyektif fisik tanah dan keadaan lingkungan, baik di tingkat propinsi,
dan kabupaten/kota harus memiliki kesamaan. Berdasar Perpres Nomor 65
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres No.36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, hal
ini dalam pelaksanaan penetapan rencana pembangunan kepada kepentingan
umum, sesuai dengan dan berdasarkan kepada Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang ditetapkan lebih dahulu, termasuk dalam penetapan kawasan
wilayah pengelolaan pertambangan.