Hari Senin 26 Agustus 2013, menjadi awal warga Kota Samarinda,
mencari keadilan atas nama hukum di Pengadilan Negeri Kota Samarinda.
Gugatan warga kota ini dalam rangka menuntut hak atas lingkungan yang
baik dan sehat bagi lingkungan pada saat ini, dan generasi yang akan
datang.
Kota Samarinda adalah satu-satunya ibukota provinsi yang menjadi kota
tambang. Hampir tiga perempat dari wilayahnya sudah ditetapkan sebagai
Wilayah Izin Usaha Tambang (WIUP). Data dari Dinas Pertambangan Kota
Samarinda menunjukkan ada 68 (enam puluh delapan) perusahaan tambang di
Samarinda. Perizinan secara keseluruhan sudah mencapai 63 (enan puluh
tiga) izin dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda, satu perusahaan
izinnya dari Pemerintah Provinsi Kaltim, dan 4 (empat) perusahaan
lainnya dari Kementrian ESDM.
Untuk luasan terhadap izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota
Samarinda lebih dari setengah dibanding total luasan WIUP yang ada
walaupun luasan per perusahaannya tidak sampai sepersepuluh luasan izin
per perusahaan dari Kementrian ESDM. Luasan lahan pertanian sawah dan
bukan sawah menurut BPS sebanyak 34.782 ha sedangkan luasan perumahan
diperkirakan sekitar 6000 ha. Dengan demikian sudah ada sekitar 19 ribu
hektar lahan yang tumpang tindih antara lokasi tambang, pertanian, dan
perumahan.
Kota Samarinda dalam Perkembangan IUP sungguh wilayahnya sudah
melampau batas daya dukung dan daya tampung lingkungan, hampir 71 persen
wilayah di Kota ini dikapling untuk keperluan pertambangan.
Slogan-slogan dengan tambang kita sejahtera, dengan tambang banyak
tenagakerja dan dengan tambang PAD kita bertambah dan tambang kita adil
dan makmur. Hanya mimpi yang menjadi petaka pada beberapa tahun ini.
Suatu kamuflase terhadap gegap gempita pesta tambang batubara di kota
ini. Kota tambang julukan sebagai Kota Samarinda terus berlomba siang
dan malam, untuk mengeruk, membongkar, dan menjual dengan murah batubara
yang ada di bumi etam.
Bencana dan Petaka Bagi Warga.
Izin tambang batubara sudah mengembang di wilayah Kota Samarinda,
baik terletak diperumahan, di dekat sekolahan, pinggiran sungai Mahakam,
daerah pertanian, daerah resapan air, bukit, dan hutan, semua sudah
tergadai. Pada akhirnyaa kekayaan sumber alam yang tidak terbarukan itu,
akhirnya mengeluarkan murka dan bencana yang menimbah warganya. Banjir,
longsor, pencemaran air, udara dan tanah. Hilangnya daerah resapan mata
air, pertanian, hutan, kemudian beberapa ternak mati dan yang memilukan
beberapa calon generasi muda kota ini terbenam dalam lubang bekas
tambang yang berakhir dengan ajal. Ironis tambang batubara yang begitu
berkilau, dan di agung-agungkan menjadi mimpi indah, hanya menjadi
kuburan bagi generasi yang seharus berhak atas kehidupan ke depan.
Korban tiap tahun berjatuhan, namun langka hukum dan penegaknya jalan
ditempat. Sampai sekarang tidak jelas siapa yang bertanggungjawab atas
kematian bocah-bocah generasi muda Kota Samarinda di lubang bekas
tambang batubara. Tiada henti usaha dilakukan untuk menuntut keadialan,
tiada henti menuntut makna hak yang seharusnya dijamin oleh negara.
Semua menunggu dimana mata hati dan nurani penegak hukum kita, polisi,
jaksa dan hakim untuk menegakan keadilan. Jelas sudah ada korban, jelas
itu kelalian, ada bukti, ada pelaku yang patut diduga. Semua lempar
tanggungjawab, semua berdalih kurang bukti, semua saling mencari-cari
bukti dan fakta hukum. Keadilan dipertanyakan.
Samarinda Menggugat
Gerakan Samarinda Menggugat, pada akhirnya pilihan warga Kota
Samarinda untuk mencari keadilan. Gerakan ini menggugat enam (6) lembaga
antara lain Kementerian ESDM, Kementerian LH, Gubernur Kaltim hingga
Wali Kota Samarinda. Tidak hanya itu, gugatan juga akan ditujukan kepada
Distamben Samarinda dan BLH Samarinda. Gugatan ini sebagai bukti, bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah, telah lalai dan melakukan membiarkan
warganya terhadap bencana dan petaka, seharusnya bisa didihentikan.
Menurut Ketua Divisi Advokasi Jatam Kaltim, Merah Johansyah, Gugatan
dilayangkan sebagai puncak protes warga atas perbuatan melawan hukum
oleh enam instansi tergugat. Enam Instansi tergugat itu telah secara
bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum, dan lalai atas kebijakan
dan kewenangan yang mereka miliki sehingga merugikan warga. Fakta yang
dipaparkan akibat tambang tersebut, dari data Dinas kesehatan Kota
Samarinda diumumkan bahwa 40 persen warga Samarinda terpapar ISPA, 80
persennya berada di kawasan dekat tambang. Banjir yang rutin terjadi di
Samarinda. Warga di delapan ruas jalan besar di Samarinda mesti rogoh
uang Rp 2 juta perrumah untuk biaya ‘dongkrak rumah’ akibat banjir yang
meluas. Kemudian sebanyak 71 persen konsesi tambang di Samarinda telah
langgar RTRW Kota Samarinda.
Momentum sidang Citizen Law Suit atas dampak tambang batubara dan
perubahan iklim hari ini sangat berarti bagi warga Kota Samarinda.
Setitik harapan semoga gugatan ini memberi pencerahan terhadap penegakan
hukum, bahwa negara harus memberi jaminan terhadap hak warga negara
atas lingkungan yang baik dan sehat. Pejabat yang salah ambil keputusan
dengan mengeluar izin tambang batubara, pada akhirnya dapat dijatuhi
hukuman demi generasi sekarang dan yang akan datang.