Putusan Pengadilan Negeri (PN) Samarinda melayangkan teguran kepada
Kepala Badan Lingkungan Hidup karena enggan memberikan data Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) perusahaan-perusahaan tambang
batubara yang beroperasi di wilayah Samarinda. Putusan tersebut membuka
lembaran baru terhadap akses informasi terhadap warga.
Menganalisa putusan diatas, membuat ide nakal saya sebagai warga Kota
Samarinda untuk bagaimana kita dapat memperoleh akses informasi kepada
Pemerintah Kota Samarinda khususnya Dinas Pertambangan Kota Samarinda,
untuk memberi akses informasi terhadap laporan penggunakan dana
reklamasi tambang di Kota Samarinda dari IUP yang ada sudah sesuai
dengan peruntukannya atau bukan.
Perkembangan IUP di Kota Samarinda sudah melampaui daya dukung dan
daya tampung lingkungan, hampir 71 persen wilayah di kota ini dikapling
untuk keperluan pertambangan. Slogan dengan tambang kita sejahtera,
dengan tambang banyak tenagakerja dan dengan tambang PAD kita bertambah,
itu hanya kamuflase terhadap gegap gempita pesta tambang batubara di
kota ini.
Kota Samarinda terus berlomba siang dan malam untuk mengeruk,
membongkar, dan menjual dengan murah batubara yang ada di bumi etam.
Mengeruk habis dengan cepat dan untung yang melimpah menjadi semut-semut
berkumpul untuk mendapatkan rejeki dari gula emas hitam. Semua orang
bermain, birokrat, partai politik, gerakan pemuda, legislatif, penegak
hukum.
Pesta yang berlangsung sejak era otonomi daerah dengan dikeluarkan UU
No 22 Tahun 1999 , kemudian diganti UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. menjadi awal petaka warga Kota Samarinda, otonomi
yang kebablasan, otonomi tanpa batas, tanpa logika dan tanpa perasaan
menyingkirkan penduduk asli yang tinggal di hutan, menyingkirkan daerah
resapan air bagi warganya, menyingkirkan penduduk dari kehidupannya
sebagai petani, berkebun dan pekerjaan yang selama ini dilakukan.
Renungan otonomi daerah yang kita banggakan, apa yang didapat warga
Kota Samarinda, kota yang menuju kehancuran secara ekologis, hilangnya
daerah resapan air, hutan, dan sungai yang hilang dan tutup. Persawahan
dan perkebunan menjadi lobang-lobang sumur yang menjadi mesin pembunuh
bagi anak-anak kita. Banjir dan macet yang mengalahkan ibu kota.
Pemerintah daerah dan jajarannya tidak mampu keluar dari eferio untuk
membangun Kota Samarinda menjadi lebih layak huni, manusiawi dan
sejahtera. Wakil rakyat yang terhormat juga tidak mampu memberi
perlindungan terhadap keserakahan investasi terhadap pertambangan
batubara. Reperda tentang pengelolaan pertambangan batubara, juga hanya
dijadikan obyek projek, bukan usaha untuk memberi tekanan terhadap upaya
melindungi warga terhadap bahaya ekologis pertambangan batubara. Upaya
kongkrit untuk mengatur pengelolaan pertambangan, dan perbaikan dalam
pemulihan lingkungan yang rusak .
Seharusnya momen adanya reperda tambang batubara untuk menjadikan
Kota Samarinda bebas tambang sampai kapan pun untuk ijin pertambangan,
yang seharusnya ditekankan adalah bagaimana pertambangan yang tidak
memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang ada segera
ditutup dan diminta pertanggungan secara hukum.
Kemudian yang perlu ditekankan lagi adalah bagaimana dana reklamasi
tambang dan pasca tambang diberi aturan yang jelas, audit, dan
pengawasan dalam upaya pemulihan lingkungan di Kota Samarinda. Bukan
rahasia lagi, kita warga Kota Samarinda, seakan buta dan tidak mendapat
akses informasi yang benar tentang penggunaan dana reklamasi tambang,
dan bagaimana dana itu digunakan, kapan diaudit dan pengawasan. Hal ini
perlu ditekankan untuk memberi perlindungan terhadap kerusakan
lingkungan akibat pertambangan batubara yang begitu parah, harus jelas,
jangan sudah mengeruk, mengambil, menjual dan untung lari dan tidak
bertanggungjawab, celakanya pemerintah kota hanya memberi izin dicabut
IUP, tetapi upaya pemulihan dan reklamasi dibiarkan. Sungguh nyaman
pengusaha tambang di kota ini, lari setelah berhasil merampas, dan
membunuh generasi kami, tanpa sangsi pidana yang jelas.
Sungguh ironis sumber daya alam yang melimpah, pada akhirnya tidak
membawa berkah pada warganya, hanya kutukan terhadap anak cucu kami yang
mati di bekas sumur tambang batubara. Keadilan yang menggantung,
keadilan hanya lobi politik penegak hukum. Hukum hanya tumpukan kertas
berlaku. Kami warga kota mempertanyakan kapan penegak hukum membawa
pelaku yang menyebabkan generasi muda Samarinda menemui ajal di sumber
bekas tambang batubara.
Dimana keadilan, dimana hukum, dimana penegak hukum, sampai kapan
kami menunggu? Sudah tidak hampir 3 tahun, pelaku tidak jelas, drama
kejaksaan dan kepolisian seakan ingin mengkaburkan kasus ini, sedangkan
korban terus bertambah. Jadi bapak-bapak penegak hukum, kanapa susah
mengadili kasus ini, hukum sudah jelas, aturan sudah diatur, kenapa dan
mengapa harus menunggu kami melupakan.