Setiap orang butuh informasi untuk memulai segala aktivitas yang
dilakukan dan hebatnya konstitusi kita memberi jaminan bagi warga untuk
mendapat hak memperoleh informasi yang diatur di Pasal 28 F UUD 1945.
Aturan dasar hak sosial ini dituang lebih rigid dalam UU No.14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Dalam filosofi dasar yang ingin dibangun undang-undang ini adalah
informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan
pribadi dan lingkungan sosialnya serta bagian penting bagi ketahanan
nasional. Dalam kontek negara yang dilaksanakan pemerintah dan
pemerintah daerah, sebagai pejabat publik melekat wewenang, hak dan
kewajiban secara administrasi.
Salah satunya yakni wajib melaksanakan dan mentaati aturan
perundang-undang yang ada. Dalam kasus Badan Lingkungan Hidup (BLH)
dengan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, menarik dimaknai bahwa
putusan Pengadilan Negeri (PN) Samarinda (Kamis, 14 Maret 2013),
melayangkan teguran Kepala Badan Lingkungan Hidup, karena enggan
memberikan data Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)
perusahaan-perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di wilayah
Samarinda. Dalam amar putusannya, Ketua PN menegaskan paling lambat
tanggal 22 Maret 2013 data tersebut sudah harus diserahkan. Berarti BLH
diberi waktu delapan hari untuk menyerahkannya secara sukarela.
Dalam kasus diatas, pejabat Badan Lingkungan Hidup telah mengabaikan
hakikat Undang –undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), dengan
diterbitkan aturan ini bahwa setiap warga berhak memperoleh informasi
yang merupakan hak asasi manusia. Di era sekarang keterbukaan informasi
publik bukan lagi barang yang bisa ditutupi, disimpan, dan tidak bisa
diakses publik.
Dokumen AMDAL sebagai dokumen publik seharus dibisa diakses oleh
setiap orang karena jelas aturanya. Pejabat publik yang taat aturan
berarti pejabat yang memberi pelayanan yang bagi warga sebagai bentuk
terciptanya negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.
Dalam kasus diatas pertimbangan hakim jelas melihat kepentingan yang
lebih besar dari sulitnya dan tertutupnya akses informasi terhadap
dokumen Amdal yang dipegang BLH. Kita paham dan mengalami sendiri dampak
dari masalah-masalah lingkungan hidup yang ada di Kota Samarinda yang
secara langsung mempengaruhi hidup dan kehidupan warganya, banjir, tanah
longsong, pencemaran udara, konflik sosial akibat tambang baik dari
perusahaan, masyarakat, LSM dan pemerintah Kota. Hampir tiap hari kita
baca koran lokal, terkait masalah tambang, juga media elektonik juga
memberikan yang sama. Namun sejauh ini langka kongkrit dari pemerintah
kota belum jelas dan terkesan mencari kambing hitam dari pokok
permasalahan dampak pertambangan di Kota Samarinda.
Kita warga kota sering disuguhi informasi data yang simpang siur baik
dari BLH, Dinas Pertambangan, dan audit BPK terkait IUP, dana reklamasi
tambang, Dokumen Amdal/UKL/UPL wilayah RTRW, dan upaya hukum yang sudah
dilakukan. Undang-undang keterbukaan informasi ini seyogyanya sebagai
sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan
negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada
kepentingan publik. Ini yang seharusnya dibangun oleh pajabat publik di
lingkungan Pemerintah Kota Samarinda, jangan saling menyalahkan, lempar
tanggungjawab, mencoba menutupi masalah lingkungan yang krusial akibat
tambang batubara. Sudah saatnya menjadi pejabat publik yang mengabadi
pada warganya karena amanah jabatan yang dipegang bukan mengabadi karena
ada tekanan oknum partai politik, pengusaha, birokrat, anggota dewan,
LSM dan sebagainnya.
Dalam sistem pengelolaan informasi publik berpijak pada satu upaya
untuk mengembangkan masyarakat informasi, dimana masyarakat peduli
dengan memulai mempertanyakan haknya atas informasi yang salah,
ketidaknyaman pelayanan, data-data yang tidak valid.
Hari ini batas akhir putusan PN harus dilaksanakan oleh kepala BLH.
Sebagai warga Kota Samarinda kita menunggu etikat baik dan moral dari
seorang pimpinan yang diberi wewenang untuk menjaga lingkungan kita dari
kerusakan dan percemaran lingkungan hidup akibat tambang, semua ini
bukan demi kita hari ini, tetapi demi anak cucu kelak yang akan lahir.
Meminjam kata Peter Mahmud, hukum tidak berbijak pada moral maka itu
bukan hukum, jadi sebagai pemimpin seyogyanya dengan moral yang baik,
seharus menunjukan kinerja yang baik sesuai dengan aturan
perundang-undangan.