![]() |
Tribun Kaltim |
Krisis air bersih di kota-kota besar di Indonesia disebabkan bermacam
hal, dari kebijakan yang salah, tata kelola pemerintah terhadap sumber
daya air, pencemaran dan kerusakan lingkungan pada air.
Salah satu yang
menjadi pembicaraan dan meresahkan masyarakat saat ini adalah adanya
dugaan terjadinya pencemaran Sungai Sanggata di Kutai Timur Kalimantan
Timur. Air disuplai oleh PDAM yang merupakan sumber utama pengelolaan
air bersih bagi masyarakat. Dugaan adanya pencemaran di Sungai Sanggata
dapat dilihat dari fakta-fakta yang ditemukan di lapangan dan rangkuman
berita harian Tribun Kaltim 18 Maret 2013 antara lain:
1. PDAM Kutim sering menghentikan produksi sementara, karena air keruh dan pekat;
2. Sumber air baku utama PDAM berasal dari Sungai Bendili;
3. Produksi sementara air PDAM dihentikan jika kekeruhan sudah mencapai 500 NTU.
4. Terjadi 2 (dua) kali air keruh melebih 500 NTU pada tanggal 13 September 2012 dan 22 Februari 2013;
5. Kekeruhan air PDAM disebabkan curah hujan;
6. PenelitIan secara manual dari PDAM, ditemukan aliran air yang
berbeda sifat dan peryumpang kekeruhan dari Sungai Bendili, yang
merupakan kawasan hulu areal KPC.;
7. PT KPC menyebutkan PH air sudah normal yang dibuang natural stream atau sungai.
8. PT KPC menjelaskan sistem aliran air tambang memiliki baku mutu
effluent sesuai dengan Kepmen LH No.113/2003 dan Perda Kaltim No 2/2011.
Terancamnya ketersedian air bersih di Kutim yang dikelola PDAM Pemda
Kutim, dalam pelayanan kebutuhan masyarakat akan bersih. Upaya untuk
tetap terjaganya sumber daya air yang merupakan hak warga negara, harus
dilakukan oleh Pemda.
Adanya penghentikan produksi akibat dugaan terjadi pencemaran Sungai
Sanggata, harus diselidiki pokok permasalahan dan pengawasan serta upaya
penegakan hukum. Jika patut diduga terjadi kesengajaan terhadap tindak
pidana terhadap baku mutu lingkungan terdapat air. Hal penting mengingat
sumber daya air, sebagai kebutuhan vital warga masyarakat, jangan
sampai terjadi penyalagunaan penyedian air bersih atau yang dapat
menyebabkan kualitas sumber daya air terus menurun dan kesediannya
semakin terbatas, sehingga masyarakat menjadi yang paling dirugikan.
Pasal 6 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dalam
pengelolaan Sumber daya air sebagai kekayaan negara yang bertujuan untuk
kesejahteraan rakyat. UUD 1945 mengatur khusus “air” pada ketentuan
Pasal 3 dan (5) dalam Bab VIV tentang perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial. Ini berarti air merupakan bagian dari kebutuhan
warga negara yang harus dijaga, dimanfaatkan dan digunakan untuk
kesejahteraannya.
Dalam pengelolaan sumber daya air, juga terkait dengan aturan
undang-undang yang lain yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, UU No .32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PPLH), UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Ini menarik dilihat
dari fakta diatas, ditemukan aliran air yang berbeda sifat dan
penyumbang kekeruhan dari Sungai Bendili yang merupakan kawasan hulu
areal KPC. Dalam hal ini patut diduga dalam pengelolaan limbah bekas
pertambangan batubara PT KPC, menurut standar perusahaan PH air sudah
normal yang dibuang natural stream. Namun, kenyataannya sungai yang
menerima buangan dan mengalirkan menyebabkan pencemaran Sungai Sanggata.
Pasal 1 ayat (14) tentang UUPPLH, pencemaran lingkungan hidup adalah
masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui
baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sedangkan baku mutu
lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai
unsur lingkungan hidup.
Untuk disebut terjadinya pencemaran, menurut Pasal 20 UUPPLH diukur melalui baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam konteks hukum tindak pidana dalam UUPPLH, terjadi pencemaran
terhadap Sungai Sanggata, dapat dimasukan dalam tindak pidana kejahatan
yaitu perbuatan yang dilakukan menurut Pasal 98 UUPLH yakni” apabila
setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dapat dipidana. Untuk
tindak pidana kesengjaaan diatur dalam Pasal 99 dan Pasal 100 terkait
dengan pelanggaran perbuatan tersebut.
Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau
atas nama badan usaha, sebagai contoh PT KPC, dapat dilakukan tuntutan
pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut (Pasal 116-119).
Terkait dengan pernyataan PT KPC yang menjelaskan bahwa sistem aliran
air tambang memiliki baku mutu effluent sesuai deng Kepmen LH
No.113/2003 dan Perda Kaltim No 2/2011. Dan bisa dibuktikan, ternyata
salah, dapat dituntut pada Pasal 113 UUPPLH, yakni setiap orang yang
memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Di sisi lain UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, juga diatur
tindak pidana, yakni Pasal 94 (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang
mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya
pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52.
Untuk terkait dengan badan usaha, Pasal 96 UU sumber daya air,
menyebutkan, dalam hal tindak pidana sumber daya air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 dan Pasal 95 dilakukan oleh badan usaha, pidana
dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan. Dalam hal tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan
usaha, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga
denda.
Menurut penulis, adanya dugaan tindak pidana pencemaran seperti yang
diatur dalam Pasal 98-100 UUPPLH, harus ada pembuktian dari instansi
terkait benar tidaknya pencemaran terjadi, ini jadi alat bukti. Hal ini
sangat mudah dengan mengambil sampel air yang diduga tercemar pada
Sungai Sanggata tersebut. Selanjutnya, perlu ada pengawasan yang rutin
dan berkala dari BLH Kutim karena terdapat baku mutu yang dilakukan PT
KPC yang dialirkan ke media sungai. Serta perlu adanya penegakan hukum
yang tegas, jika terjadi pencemaran terhadap Sungai Sanggata dan
informasi bisa diakses oleh publik terkait laporan tersebut.
Terkiat ketersedian air bersih, penurunan kualitas mutu air,
pengelola PDAM Kutim harus bertanggujawab terhadap pengelolaan sumber
daya air, karena wewenang yang dimiliki Pemerintah Daerah Kutim yang
diatur dalam Pasal 16 huruf i, bahwa menjaga afektifitas, efisiensi,
kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada
wilayah sungai dalam satu kabupaten dan kota.
Dengan demikian ke depan kualitas air bersih yang menjadi kebutuhan
vital masyarakat Kutim, PDAM harus secara teratur dan reguler memantau
dan cepat melakukan tindakan hukum, jika diduga terjadi pencemaran
terhadap sungai, yang merupakan sumber air bersih.