Latar Belakang
Bencana lingkungan hidup yang terus menerus meningkat di berbagai
daerah, populasi jumlah penduduk juga meningkat, sehingga berdampak pada
meningkatnya kebutuhan masyarakat. Yang secara tidak langsung
mempengaruhi perilaku eksploitasi terhadap sumber daya alam. Pemanfaatan
pertambangan saat ini pada tahap yang kronis. Dalam artian pertambangan
yang telah dilakukan selama ini, mengakibatkan dampak bagi masyarakat
berupa pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup.
Perilaku manusia yang banyak mengabaikan etika lingkungan,
sesungguhnya memberi ruang bagi manusia untuk menanggung bencana
lingkungan yang terjadi saat ini dan akan datang. Lemahnya keberpihakan
banyak pihak terhadap upaya pelestarian lingkungan, menyebabkan
pertambangan menjadi dua sisi mata uang yang diperebutkan oleh semua
orang, baik pemerintah daerah dan pusat, bahkan pemerintah asing untuk
mempengaruhi kebijakan di Indonesia.
Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat
pertambangan, menjadi hal yang biasa, dan tidak terlalu menggugah nurani
bangsa ini, juga penegak hukum kita. Bahkan pengadilan seakan tidak
dapat menyentuh, dan buta terhadap korban kemanusiaan terhadap 5 bocah
di bekas sumur pertambangan batubara di Kota Samarinda.
Lingkungan hidup merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT
kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya untuk dimanfaatkan secara baik.
Pemanfaatan lingkungan hidup dalam rangka pemenuhan kebutuhan makhluk
hidup itu sendiri haruslah disertai tanggung jawab besar dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup agar tetap terjaga
kelestariannya. Menurut Munadjat Danusaputra lingkungan hidup adalah
“semua benda dan daya serta kondisi termasuk di dalamnya manusia dan
tingkah perbuatannya yang terdapat di dalam ruangan, dimana manusia
berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia
dan jasad hidup lainnya. Hubungan timbal balik antara manusia dengan
komponen-komponen alam harus berlangsung dalam batas keseimbangan.
Apabila hubungan timbal balik tersebut terlaksana tidak seimbang, maka
akan mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan fisik, ekonomi, sosial
dan budaya .
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat dengan PPLH, secara filosofi
memandang bahwa hak lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak
asasi setiap warga negara Indonesia. Pada hakekatnya UU PPLH,
menempatkan penghargaan dan jaminan atas hak lingkungan hidup yang baik
dan sehat bagi warga negara. Dengan penempatan hak dasar atas warga pada
tataran filosofi ini merupakan langkah yang lebih maju dan perubahan
signifikan dari undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup (PLH), yang mengatur
pada tingkat pasal.
Jaminan terhadap hak atas lingkungan yang baik dan sehat, Ini menjadi
tanggungjawab negara dan pemerintah daerah. Pada daerah, sebagai contoh
atas jaminan hak atas lingkungan yakni Pemerintah Daerah Kota
Samarinda, untuk memberi perlindungan terhadap lingkungan yang baik dan
sehat bagi warganya. Banyak ijin kuasa pertambangan, akibat aktifitas
penambangan batubara. Yang menyebabkan erosi dan pendangkalan yang
memicu banjir semakin sering terjadi akibat akumulasi penggalian tambang
batubara di berbagai kawasan dekat sungai. Pada sisi lain pertambangan
batubara mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam menunjang
keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan pertambangan
batubara sebagai sumber kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui,
bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia dan sebagai
salah satu penentu sistem kehidupan manusia dan memberikan manfaat
serbaguna yang dibutuhkan sepanjang masa guna pemenuhan kebutuhan
manusia. Juga sebagai salah satu sumber devisa negara, penyerapan tenaga
kerja, dan alih teknologi.
Aspek lingkungan hidup, pertambangan batubara paling merusak
dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya.
Pertambangan batubara dapat merubah bentuk benteng alam, merusak atau
menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun batuan
limbah, serta menguras air, tanah dan air permukaan. Jika tidak
direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan
raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam. Hal itu jelas
bertentangan dengan firman Allah, bahwa manusia dilarang membuat
kerusakan di muka bumi.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya
alam pertambangan, pada saat ini lebih menitikberatkan pada faktor
ekonomi dibanding faktor moral dan etika lingkungan. upaya pelestarian
lingkungan hanya pada tataran sains dan teknologi untuk mengurangi
dampak lingkungan yang ada. Pada hakekatnya dalam mencegah pencemaran
dan perusakan lingkungan terhadap pertambangan, harus didasarkan pada
perubahan perilaku dan gaya hidup yang beretika. Agama Islam mempunyai
pandangan dan konsep yang sangat jelas terhadap perlindungan dan
pengelolaan lingkungan sumber daya alam, karena manusia pada dasarnya
khalifah Allah di muka bumi yang diperintahkan tidak hanya untuk
mencegah perilaku menyimpang (nahi munkar), tetapi juga untuk melakukan
perilaku yang baik.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Kementerian Lingkungan
Hidup dalam upaya merubah perilaku dan meningkatkan kesadaran umat
muslim sebagai potensi terbesar bangsa, atas pentingnya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dalam pemanfaatan sumber daya alam (khusus
pertambangan) harus sesuai dengan kaidah syariah. MUI telah
menandatangani memorandum of understanding (MoU) No. 14/MENLH/12/2010
dan Kep-621/MUI/XII/2010 pada tanggal 15 Desember 2010, telah disepakati
bersama Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 22 Tahun 2011 tentang
Pertambangan Ramah Lingkungan. Fatwa MUI ini merupakan bentuk pendekatan
moral dalam pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Tujuan fatwa MUI tentang pertambangan ramah lingkungan untuk:
1. Memperkuat penegakan hukum positif yag ada terutama dalam upaya mengendalikan kerusakan lingkungan disektor pertambangan;
2. Memberikan penjelasan dan pemahaman yang benar pada seluruh
lapisan masyarakat mengenai hukum normatif (keagamaan) terhadap beberapa
masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup; dan
3. Sebagai salah satu upaya untuk menerapkan sanksi moral dan etika
bagi pemangku kepentingan termasuk masyarakat terhadap perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di sektor pertambangan.
Pada dasarnya filosofi yang dibangun dengan adanya fatwa MUI ini landaskan antara lain:
a. Bahwa manusia sebagai khalifah di bumi (khalifah fil alardh)
memiliki amanah dan tanggungjawab untuk memakmurkan bumi seisinya;
b. Bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
termasuk barang tambang, merupakan karunia Allah SWT yang dapat
dieksplorasi untuk kepentingan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat
(mashalahah”ammah) secara berkelanjutan);
c. Bahwa dalam proses eksplorasi dan eksploitasi wajib menjaga
kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup agar tidak menimbulkan
kerusakan;
d. Bahwa dalam prakteknya, kegiatan pertambangan seringkali
menyimpang dan tidak memperhatikan dampak negatif, baik pada aspek
ekologi, ekonomi, maupun sosial dan budaya;
e. Bahwa terhadap masalah ini, masyarakat mempertanyakan hubungan
hukum pertambangan dalam Islam dan praktek pertambangan yang menimbulkan
kerusakan lingkungan dan;
f. Bahwa fakwa MUI ini menetapkan pola pengaturan pertambangan yang ramah lingkungan guna dijadikan pedoman.
Esensi dengan fatwa MUI tersebut, dalam pemanfaatan pertambangan,
harus tetap mengarah pada etika lingkungan, dalam hal ini, tidak boleh
menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian pada
manusia dan lingkungan hidup sekitarnya. Titik tolak tetap pada manusia
sebagai khalifah, Manusia sebagai makhluk Allah SWT, yang sempurna,
sehingga diberi amanah sebagai khalifah di dunia, yang dijelaskan dalam
QS. Al-Baqoroh: ‘Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat , “ Aku hendak menjadikan khalifah dimuka bumi.” Mereka
berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan
menyucikan nama-Mu”. Dia berfirman,” Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui. Dalam kedudukannya sebagai khalifah dimuka
bumi, manusia bukan sekedar sebagai pemimpin di muka bumi akan tetapi
yang lebih penting adalah tugasnya untuk memakmurkan bumi. Manusia
diberikan tugas memakmurkan bumi sebab hasilnya juga akan kembali kepada
manusia.
Dalam pemikiran saya, Fatwa MUI masih bersifat parsial dan umum,
dalam konteks implementasi sangat susah dijalankan. Pertambangan
sekarang sudah pada tahap kronis, yang sudah merusak sendi-sendi
kehidupan masyarakat dan mengabaikan nilai-nilai moral dan etika
lingkungan. pemahaman dan kesadaran yang di bangun dengan ada fatwa ini,
pada dasarnya tidak banyak berguna, jika pemerintah selaku pemegang
kebijakan, dalam membuat kebijakan atau aturan hukum tidak bertindak
atas nama moral. Menurut Peter Mahmud hukum tidak berlandaskan moral,
bukan hukum. Pertambangan yang tidak mengindahkan hutan lindung, tidak
mengindahkan daerah resapan air, dan mata air sekitar, tentu membuat
hukum di negeri hanya sebagai kiasan dan susunan kitab perudang-undangan
.
Prinsip-prinsip etika lingkungan merupakan perwujudan kekuatan moral
untuk pelestarian daya dukung lingkungan hidup, antara lain dalam: Surat
Al-A’raaf, Ayat 56: ”Dan janganlah kamu merusak dimuka bumi setelah
Tuhan memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak
akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan), Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik”` .
Kemudian Ayat 85: ”Dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan dimuka bumi, sesudahnya Tuhan memperbaikinya”(QS.Al-A’raaf 85)
Surat Al –Qashash; ayat 77: ”Dan carilah pada apa yang telah
dianugrahkan Allah padamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, karena Allah tidak
menyenangi orang-orang yang suka berbuat kerusakan” Surat Ar-Rum, ayat
41,” telah timbul kerusakan di daratan dan lautan disebabkan perbuatan
tangan manusia sendiri….” . Dalam kajian Islam, sudah diatur, bagaimana
kita harus mematuhi etika lingkungan supaya tidak terjadi kerusakan dan
pencemaran lingkungan. .
Fatwa MUI tentang pertambangan ramah lingkungan, hal yang diperlukan
segera dilakukan oleh pemerintah untuk menginventarisari izin
pemanfaatan lahan untuk pertambangan, dibatasi izin dan selektif jika
ada izin baru, lebih ditekankan pada kesejahteraan masyarakat, bukan
menggusur masyarakat. Kemudian pengawasan yang terpadu, terkordinasi
baik pusat dan daerah. Penegakan hukum terhadap izin yang tidak sesuai
dengan prosedur peruntukannya.
Pengaturan dalam bidang lingkungan hidup, hukum pertambangan, dan
konsep Islam dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam pertambangan
batubara, maka perlu adanya peraturan hukum yang menyimbangkan
kepentingan-kepentingan masyarakat. Kepentingan yang bertentangan di
dalam masyarakat yaitu menghindari pengelolaan lingkungan pada bidang
pertambangan batubara yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup dan
memberikan keadilan bagi masyarakat lokal serta sesuai dengan
nilai-nilai islam.
Tentang penulis:
Siti Kotijah SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Kontak person: 081 347 216635. Email: fafa_law@yahoo.com
Siti Kotijah SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Kontak person: 081 347 216635. Email: fafa_law@yahoo.com