Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga
negara yang Indonesia dijamin oleh Pasal 28H UUD 1945. Perlindungan
hukum lingkungan terhadap pengelolaan pertambangan di Kota Samarinda,
menunjuk pada UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Pertambangan Batubara di Kota Samarinda mempunyai kedudukan dan
peranan sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan
nasional. Hal ini disebabkan pertambangan batubara sebagai sumber
kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui, bermanfaat bagi
sebesar-besarnya kemakmuran warga Kota Samarinda.
Namun disisi lingkungan hidup, usaha pertambangan batubra dianggap
paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam
lainnya. Antara lain dapat merubah bentuk benteng alam, merusak atau
menghilang vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun batuan limbah,
serta menguras air , tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi,
lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan
hamparan tanah gersang yang bersifat asam. Bahkan di Kota Samarinda,
bekas sumur usaha pertambangan batubara, telah menelan korban jiwa (5
bocah meninggal dibekas sumur lubang tambangan batubara) ironis.
Timbul dampak negatif dalam pengelolan pertambangan, berupa
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Untuk menurut pakar Hukum
Lingkungan Siti sundari Rangkuti, harus ada ditegaknya sarana pencegahan
dan penanggulan pencemaran dalam hukum lingkungan . menurut dia,
masalah lingkungan yang sedemikian kompleknya memperlukan penyelesaian
dari berbagai displin ilmu, seperti kesehatan lingkungan, biologi
lingkungan, kimia lingkungan, ekonomi lingkungan dan hukum lingkungan.
Peranan hukum lingkungan terutama mengatur kegiatan-kegiatan yang
mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dan menuangkan kebijakan
lingkungan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan.
Hal serupa disebutkanMunadjat Danusaputra, menyatakan salah satu alat
yang kuat dan ampuh dalam melindungi lingkungan hidup adalah hukum yang
mengatur lingkungan hidup yang dimaksud adalah hukum lingkungan
(environmenal law atau millieurecht).
Hukum lingkungan menyediakan instrumen-instrumen untuk
perlindungungan lingkungan hidup, dalam hal sebagai sarana pencegahan
pencemaran yaitu: baku mutu lingkungan, Analisis Mengenai Dampak
lingkungan (AMDAL), Izin lingkungan, Instrumen Ekonomic, dan audit
lingkungan. Antara baku mutu lingkungan, AMDAL dan perizinan lingkungan
memiliki hubungan yang saling terkait dalam rangka berfungsi sebagai
pencegahan pencemaran lingkungan.
Perlindungan dalam pengelolaan pertambangan batabara, dalam hal ini
diwujudkan dengan mempergunakan sarana pencegahan lingkungan berupa
istrumen ekonomi lingkungan hidup. Hukum lingkungan berisi kebijakan
lingkungan yang bertujuan utama mencegah pencemaran lingkungan. Sarana
utama yang dalam ini berfungsi sebagai sarana pencegahan pencemaran
lingkungan adalah pengaturan langsung instrumen ekonomik.
Penggunaan instrumen ekonomik dalam pengelolaan lingkungan juga
diterapkan dalam pengelolaan pertambangan. Pertambangan adalah sebagian
atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangltutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat
di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
Usaha pertambangan batubara, dalam hal ini tahapan reklamasi dan
pasca tambang, yang dilakukan untuk upaya perlindungan terhadap
pengelolaan pertambangan. Prinsip-prinsip perlindungan ini, dalam hal
ini sarana pencegahan pencemaran lingkungan dilakukan dengan, diwajibkan
dana reklamasi tambang dan pasca tambang. Dalam hal ini upaya preventif
pencegahan lingkungan yang dilakukan setelah beroperasinya usaha
pertambangan. Dana reklamasi sebagai jaminan terhadap lingkungan hidup
yang berubah, akibat usaha pertambangan. Dengan dana tersebut, dapat
dipergunakan untuk memperbaiki lingkungan hidup yang rusak, atau
mencegaha keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Kota Samarinda, dengan era otonomi daerah ditandai dengan terbitnya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Memberi
dampak terhadap pengusahaan pertambangan, khusus tambang batubara untuk
memberikan izin. hal ini sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
masing-masing.
Samarinda adalah satu-satunya ibukota provinsi yang menjadi kota
tambang. Hampir tiga perempat dari wilayahnya sudah ditetapkan sebagai
Wilayah Izin Usaha Tambang (WIUP). Data dari Distamben Kota Samarinda
menunjukkan ada 68 perusahaan tambang di Samarinda dimana 63 izin
dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda, satu perusahaan izinnya dari
Pemerintah Provinsi Kaltim, dan empat perusahaan lainnya dari
Kementrian ESDM. Dari sisi luasan, izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kota Samarinda lebih dari setengah dibanding total luasan WIUP yang ada
walaupun luasan per perusahaannya tidak sampai sepersepuluh luasan izin
per perusahaan dari Kementrian ESDM. Luasan lahan pertanian sawah dan
bukan sawah menurut BPS sebanyak 34.782 ha sedangkan luasan perumahan
diperkirakan sekitar 6000 ha. Dengan demikian sudah ada sekitar 19 ribu
hektar .
Luasan WIUP ini sudah jauh melebihi jumlah luasan yang seharusnya
menurut Rencana Umum Tata Ruang Kota Samarinda tahun 2002. Berdasarkan
Perda Nomor. 2 Tahun 2002, lokasi tambang batubara hanya boleh di
wilayah Kelurahan Sungai Siring (Pasal 22). Luas Kelurahan Sungai Siring
menurut BPS hanya 7,583 ha. Jika setengah dari wilayah Sungai Siring
dialokasikan untuk tambang batubara maka luasan tambang batubara hanya
boleh sekitar 3.800 ha.
Kontribusi sektor pertambangan batubara terhadap ekonomi Kota
Samarinda cukup kecil. Data lima tahun terakhir (2006-2010) menunjukkan
bahwa sektor pertambangan dan penggalian rata-rata hanya berkontribusi
sebesar 6,3% dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota
Samarinda. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB pada tahun 2010
hanya 1% lebih tinggi dibanding tahun 2006. Perubahan yang tidak
signifikan ini juga terjadi pada sektor-sektor ekonomi lainnya. Ini
berarti struktur ekonomi Kota Samarinda tidak mengalami perubahan banyak
pada periode 2006-2010. Padahal pada periode yang sama produksi
batubara dari kuasa pertambangan (KP) meningkat sangat signifikan.
Produksi batubara tahun 2009 lebih dari tiga kali lipat dari produksi
tahun 2006.
Dari segi kontribusi kepada PDRB, sektor paling dominan di Samarinda
adalah: perdagagan/hotel dan restoran (28%), industri pengelolahan
(20%), jasa (12%), keuangan, persewaan dan jasa perusahan (13%) serta
pengangkutan dan komunikasi (11%). Sektor pertambangan dan penggalian
adalah sector ke-enam dalam urutan kontribusi kepada PDRB.
Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari pertambangan batubara di
Samarinda lebih rendah dibandingkan belanja untuk menanggulangi dampak
negatif tambang. Untuk periode 2006-2010, rata-rata penambahan
penerimaan yang diterima Pemerintah Kota Samarinda dari DBH pertambangan
umum sebesar Rp. 22,3 Milyar per tahun (termasuk penerimaan Pemprov
Kaltim dari bagi hasil pertambangan umum di Kota Samarinda). Tanpa ada
pertambangan di Kota Samarinda, Pemerintah Kota Samarinda tetap akan
menerima dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum sebesar 77% dari jumlah
yang diterima saat ini tetapi akan terbebas dari beban anggaran untuk
penanggulangan dampak pertambangan.
Untuk pengelolaan pertambangan batubara dilaksanakan berdasarkan
prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan
Pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal ini dapat memberikan manfaat
ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat
Indonesia. Dengan terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
pertambangan harus dilaksanakan dengar memperhatikan prinsip lingkungan
hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Sistem pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di Kota
Samarinda tidak berjalan efektif. Fungsi pengendalian yang tidak efektif
ini mengakibatkan terjadinya pencemaran yang kemudian berdampak pada
kesehatan dan keselamatan warga masyarakat terutama perempuan dan anak ,
bahkan menimbulkan korban dikawasan pertambangan. Fungsi pengendalian
yang tidak efektif terjadi karena lemahnya regulasi dan kapasitas
kelembagaan pemerintahan daerah. Perda Tambang tidak mengatur secara
spesifik tentang instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
Selain tiadanya ketentuan yang spesifik tentang kriteria lokasi
tambang (tata ruang), juga tidak ada ketentuan spesifik tentang analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL), izin lingkungan, ketentuan baku
mutu limbah tambang batubara, dan kewajiban melakukan analisis risiko
lingkungan hidup. Seluruh instrumen tersebut seharusnya diterapkan dalam
industri tambang batubara mengingat tingginya risiko lingkungan yang
dapat ditimbulkannya (Pasal 14 UU 32/2009). Efektifitas dari beberapa
instrumen tersebut sangat tergantung pada efektifitas sistem perizinan.
Dalam praktiknya sistem perizinan tidak berjalan efektif seperti telah
dijelaskan sebelum ini. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda
memiliki fungsi pengendalian pencemaran. Fungsi tersebut tidak berjalan
baik karena minimnya fasilitas dan anggaran yang dimiliki.
Prinsip perlindungan hukum lingkungan, terkait instrumen-instrumen
lingkungan hidup, dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, belum
maksimal melindungi masyarakat sekitar kawasan pertambangan. Ini
disebabkan perbedaaan penerapan asas ultimum remedium pada Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009. Hal disebabkan persoalan penafsiran dalam
penjelasan undang-undang tersebut, lebih menekankan pada sanksi
adminitrasi dan sanksi perdata, untuk sanksi pidana sebagai upaya
terakhir dari proses penegakan hukum lingkungan. Upaya perlindungan
lingkungan terhadap korban dalam pengelolaan pasca pertambangan menjadi
tidak jelas dalam penegakan hukumnya, karena perbedaaan penerapan konsep
tersebut.
Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, bahwa penegakan hukum
pidana dalam undang-undang ini memperkenalkan Penegakan hukum pidana
dalam Undang-Undang ini ancaman hukuman minimum di samping maksimum,
perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan
penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi.
Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak
berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak
pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu
air limbah, emisi, dan gangguan.
Kendala penerapan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, karena aparat
penegak hukum, belum mempunyai pedoman aturan pelaksanaan undang-undang
tersebut, kemudian juga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya
perlindungan lingkungan hidup, serta politisasi dalam usaha pertambangan
di Kota Samarinda. Sehingga upaya perlindungan terhadap pengelolaan
pertambangan masih kurang maksimal.
Kedepan dalam pengelolaan pertambangan batubara di Kota Samarinda,
segera disahkan Revisi perda tentang Pertambangan, diperlukanDiperlukan
perbaikan dalam 3 (tiga) aspek; hukum materiil, sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, dan ilakukan kajian ulang terhadap ketentuan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.
Pada akhirnya semua berharap, batubara bara membawa berkah bukan bencana, stop pertambangan di Kota Samarinda.
DAFTAR PUSTAKA
- Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berancana, Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Industri Pertambangan di Kota Samarida, Bpp dan KB Propinsi Kaltim dan GIZ, 2009.
- Daud Silalahi, Amdal Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1995.
- ———–, Peranan Hukum Dalam Mengaktualisasikan Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan, Mandar Maju, Bandung 1997.
- Fathi Hanif, et.al, Bunga Rampai Hukum dan Kebijaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Bayu Indra Grafika-Ulin, 2004.
- Siti Sundari Rangkuti, Kesamaan Persepsi Terhadap Penegakan Hukum Lingkungan, Surabaya; Yuridika, Majalah Fakultas HukumUnair, No.5 Tahun IX September-Oktober; 1994.
- ————, Hukum lingkungan dan Kebijaksanan lingkungan Nasional (Surabaya; Airlangga University Press, 2005.
- ———–, Sistem Perizinan Lingkunga Instrumen Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Seminar Hukum Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Badan Pengendalia Dampak Lingkungan (BAPPEDA), Hotel Indonesia, Jakarta, 1-2 Mei 1996.
- ———–, Perwujudan Sistem Perizinan Lingkungan Terpadu, Kursus Perizinan Lingkungan sebagai instrumen pencegahan lingkungan, Komisi Kerja Hukum Lingkungan BKPSL- Indonesia, dan PPLH Lembaga Peneitian Universitas Airlangga, 6-7 Juni 200.
- St Munadjat Danusaputra, Hukum Lingkungan Buku Satu Umum, Binacipta Bandung, 1980.
- Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Airlangga University Press, Surabaya, 2003.
- W. Riawan Tjandra, Perizinan Sebagai Instrumen Perlindungan Lingkungan, Justitia ET Pax, Majalah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogjakarta, 10 Juli 2005.