Unsur Kelalaian Lima Bocah di Sumur Bekas Tambang

Proses Penyidikan
Sudah lama warga Kota Samarinda menunggu dan mengikuti proses hukum terhadap kasus kematian 5 bocah dibekas galian tambang batubara di Jalan Pelita 2 dan Jalan Pelita 7 Samarinda Ilir. Ini termasuk kasus korban kemanusian dari eksploitasi sumber daya alam berupa pertambangan batubara.

Sesuatu yang sangat ironis dengan gemerlap pesta emas hitam yang tiap hari dibawa keluar melalui Sungai Mahakam dengan ponton. Ponton yang berisi batubara melintas di Sepanjang Sungai Mahakam menjadi daya tarik dan ikon Kota Samarinda.
Tribun Samarinda, tanggal 29 Juni 2012, menyebutkan sudah 3 (tiga) kali berkas dikembalikan jaksa kepada polisi terhadap kasus tambang kolam maut di Samarinda. Dalam penjelasannya Jaksa Penuntut Umum (JPU), berkas penyidikan adanya tindak pidana seperti unsur kelalaian masih kurang dan perlu dilengkapi.
Fakta yang ada, bahwa benar kolam bekas galian tambang batubara yang menjadi tempat kejadian perkara belum direklamasi. Ini menyalahi aturan Pasal 22 ayat (1) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (amdal). Jika luasan IUP yang dimiliki dibawah 100 Ha, maka merujuk Pasal 34 UUPPLH, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memilki Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup –Upaya Pemantuan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Dari dokumen amdal atau UKL-UPL yang ada di perusahaan pemegang IUP, dapat diketahui bagaimana proses reklamasi yang harus dijalankan pasca tambang. Ini yang harus dicari bukti oleh penyidik, karena alat bukti yang kuat untuk memperkuat unsur kelalaian yang dituduhkan, jika ada dokumennya tersebut dan tidak dilaksanakan, berarti jelas tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian pada 5 bocah tersebut.
Hukum Pidana
Di bidang hukum pidana kita menyangkut unsur kelalaian, yaitu :
Pasal 359 KUHP: Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Untuk pembuktian adanya unsur kelalian adalah merujuk pada kewajiban dan adanya pelanggaran kewajiban. Dasar adanya pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam hal ini adalah adanya hubungan kontraktual-kewajiban memenuhi dokumen amdal atau UKL-UPL untuk melakukan reklamasi pasca tambang. Hubungan hukum inilah yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban pemilik tambang terhadap reklamasi. Dalam analisa hukum lingkungan sangat mudah dibuktikan, upaya reklamasi ada tidak? Kemudian yang perlu ditelujuri ada tidak amdal/UKL-UPL-nya yang mengatur pasca tambang untuk melakukan reklamasi, jika tidak jelas dan tidak ada, berarti melanggar aturan hukum lingkungan. Dalam hal ini masih dalam perdebatan dan menimbulkan keberatan terhadap penerapan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru diundangkan dan diberlakukan 1 tahun kemudian. Dalam hal UUPPLH tidak bisa diterapkan, karena hukum tidak berlaku surut, alasan ini yang jadi alasan logis secara hukum. Namun harus diingat, runtut kejadian perkara, sejak tanggal diundangkan UUPPLH.

Upaya Perlindungan Hukum
Kasus kematian 5 bocah di kolam bekas galian tambang sempat menjadi headline surat kabar dan menyita perhatian warga Kota Samarinda. Proses penyelesaian kasusnya ditunggu. Kasus ini meminta pertanggungjawaban secara hukum terhadap Pemerintah Kota Samarinda yang lalai dalam melakukan pengawasan lingkungan hidup terhadap aktivitas pertambangan batubara pasca tambang. Unsur kelalaian ini harus dibuktikan oleh Pemerintah Kota Samarinda dalam hal ini adalah Badan Lingkungan Hidup dalam proses pengawasan yang dijalankan. Kenapa, hal ini terkait dengan tindak pidana yang dapat dituntut terhadap pejabat yang lalai melakukan pengawasan.
Dalam ketentuan pidana Pasal 112 UU PPLH menyebutkan bahwa setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatka hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahuna atau denda paling banyak Rp.500.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dari Pasal diatas, jika ada terbukti unsur kelalaian yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda dalam pengawasannya, dapat dikenai, dan penyidik mencari bukti dalam proses hukum tersebut. Unsur kelalaian yang dilakukan juga dapat dikenakan pada orangtua korban 5 bocah, karena kelalaian orangtua untuk menjaga anaknya yang masih dibawah umur.
Dengan demikian dalam pembuktian unsur-unsur kelalaian dalam kasus 5 bocah diatas, harus jelas, siapa yang akan dikenakan sanksi pidana. Dari analisa diatas, unsur-unsur kelalaian dapat diruntut dari pemegang IUP, Pemerintah Kota Samarinda, dan orangtua.
Dalam kaitannya dengan kelalaian, kewajiban tersebut berkaitan dengan kewajiban semua pihak untuk melakukan sesuatu tindakan pencegahan tertentu, atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap bekas sumur bekas tambang pada situasi dan kondisi yang tertentu (due care).
Menilai ada atau tidaknya penyimpangan berbagai kewajiban di atas dilakukan dengan membandingkan apa yang telah dikerjakan oleh para pihak tersebut (das sein) dengan apa yang seharusnya dilakukan (das sollen).
Sehingga ke depan, proses pidana terhadap 5 bocah yang meninggal ini ada kepastian hukum dan menjadi titik kesadaran bahwa dalam pengelolaan SDA batubara di Kota Samarinda, harus dilebih menekankan pada aspek lingkungan hidup.
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.