Pentingnya Konferensi Rio+20



Konferensi mengenai pembangunan berkelanjutan kembali berlangsung kembali di Rio de Janeiro Brazil, pada tanggal 22-23 Juni 2012 ini mengingat 20 tahun lalu konsep ini dicetuskan pada tempat yang sama. KTT Bumi Rio+20 dapat merubah pola pembangunan ekonomi dari keserakahan menuju berkelanjutan. 2 (Dua) isu utama dalam konferensi tersebut yaitu green economy (ekonomi hijau) dan pembangunan berkelanjutan. Kini, sudah banyak manusia yang sadar betapa pentingnya keharmonisan alam dan lingkungan.

Konferensi ini timbul keprihatinan karena ternyata belum ada perubahan signifikan terhadap keberlanjutan hidup manusia. Meskipun berbagai inisiatif telah dilakukan sejak gagasan didengungkan, pada kenyataanya justru bumi sedang mengalami sakit kronis, jika harus ada upaya atau perubahan luar biasa terhadap bumi kita.
Sebagai salah satu planet, bumi menjadi tempat dan kehidupan manusia di dunia, bumi menjadi planet pendukung kehidupan manusia dan tidak tergantikan, kematian bumi bararti kematian pula kehidupan manusia.
Pertambahan penduduk dunia, masalah lingkungan diberbagai belahan dunia menunjukan bumi mengalami beban kapasitas tidak adanya keseimbangan daya dukung lingkungan dalam bumi ini sendiri. Menurut Global Environmental Outlook 2012 yang diluncurkan program PBB untuk lingkungan (UNEP) tepat sebelum konferensi RIO+20 dimulai disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk mencapai 26 persen sejak 1990 berarti menjadi 7 milyar tahun 2010 dan akan mencapai 9 milyar tahun 2050. Lebih dari setengah populasi tinggal diperkotaan dan krisis air mengancam kehidupan manusia, karena stop air global menurun 2 kali lipat (1960-2000). Akibatnya, 80 persen penduduk dunia hidup diwilayah rawan air. Penduduk perkotaan di negara berkembang, 30-50 persen hidup dibawah kelayakan dan rawan kebanjiraan (Kompas, 21 Juni 2012).
Sebelum Konferensi Rio+20, pada deklarasi berkelanjutan tahun 1992, bumi ini sudah tinggal 20 persen warga bumi 1,4 milyar orang, penghasilan 1,25 dollar AS sehari atau 1 miliar warga kelaparan setiap harinya.
Dalam perkembangan terakhir terjadi peningkatan signifikan peningkatan pendapatan pada sebagian penduduk, sehingga terjadi kenaikan konsumsii daging, ikan dan makanan laut masing-masing 20 persen. Terjadinya kenaikan ekstrasi sumber daya alam dari peternakan, perikanan, ataupun kelautan. Dalam penggunaan sumber daya alam (bahan fosil, biji besi dan industri mineral naik lebih 40 persen menjadi 60.000 ton (1992-2005). Lebih dari 60 persen gas rumah kaca berasal dari industri energi, manufaktur dan kehutanan. Emisi gas rumah kaca terus meningkat hingga 26 persen diatas angka 1992, dimana 80 persen dihasilkan 19 negara.
Konsentrasi karbon dioksida diatmosfer meningkat 9 persen kemudian suhu dunia dalam 10 tahun terpanas sejak 1880. Dengan kenaikan suhu global 0,4 derajat Celsius, Kenyataannya hanya kurang dari 1,5 persen area laut yang dilindungi, hutan primer berkurang 300 juta hektar sejak 1990, dan naiknya sampah plastik dari 116 juta ton tahun 1992 menjadi 265 juta ton tahun 2010.
Konferensi Rio+20, menghadapi problematika akar permasalah kerusakan lingkungan dimuka bumi ini, peta jalan yang digagas gagal dari sekedar aksi slogan pembangunan berkelanjutan dengan segala turun aksinya yang sudah dicetuskan termasuk konvensi perubahan iklim dan konvensi keanekaragaman hayati.
Essensi permasalahannya lingkungan hidup selama ini bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam yang berlomba pada inventasi jual cepat dan murah, dampak peduli pada masyarakat sekitarnya. Permasalahan lingkungan hanya dimintakan pertanggungjawaban sosial pada perusahaan yang dikenal dengan CSR.
Pada tataran kenyataan tanggungjawab perusahaan lebih dipahami oleh dunia usaha pada persepsinya yang persial, cukup dengan berbaik hati lewat kegiatan kedermawanan mendirikan yayasan perusahaan, mensponsori kegiatan amal, membantu korban bencana alam, ikut menanam pohon bakau, tetapi perusahaan tetap beroperasi seperti biasa. Ini yang salah paradigma perusahaan yang harus dirubah.
Sistem pengelolan lingkungan hidup harus berbasik pada lingkungan dalam kontek pengelolaan lingkungan harus seimbang dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan harus ada korelasi. Permasalahan tanggungjawab sosial dalam kontek memberi atau membantu pada masyarakat sekitar bukan pada akar permasalahanya, masalah lahan , hutan yang sudah dirubah yang merubah lingkungan . bagaimana sistem daerah resapan air yang berubah, tempat menyimpan air berubah, penyangga kehidupan yang beruba, dampak dari perubahan itu bagi tumbuhan lain, manusia yang tinggal. Inilah yang gagal terwujud dalam sistem pengelolaan lingkungan.
Benang merahnya jelas dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang rusak tinggal bagaimana yang harus dilakukan terhadap jalan gagal dalam konsep pembangunan berkelanjutan selama ini, permasalahan pada tingkat pengambil kebijakaan untuk membuat aturan yang jelas, tegas dan sanksi jelas.
Cara pandang dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang masih tersisa lebih bijak dan manusia kenapa kita belajar dari negara Bolivia yang memperjuangkan konsep mother earth sebagia suatu konsep kehidupan yang holistik, dimana manusia dan makhluk lainnya hidup sebagai satu kesatuan yang saling terkait.
Intinya sumber daya alam jangan dijual cepat, murah, dan dapat untung, tanpa berpikir dampaknya bumi sudah rapuh dan makin tua, kapan kita mulai peduli terhadap bumi kita.
Tentang penulis:
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.