
Konferensi ini timbul keprihatinan karena ternyata belum ada
perubahan signifikan terhadap keberlanjutan hidup manusia. Meskipun
berbagai inisiatif telah dilakukan sejak gagasan didengungkan, pada
kenyataanya justru bumi sedang mengalami sakit kronis, jika harus ada
upaya atau perubahan luar biasa terhadap bumi kita.
Sebagai salah satu planet, bumi menjadi tempat dan kehidupan manusia
di dunia, bumi menjadi planet pendukung kehidupan manusia dan tidak
tergantikan, kematian bumi bararti kematian pula kehidupan manusia.
Pertambahan penduduk dunia, masalah lingkungan diberbagai belahan
dunia menunjukan bumi mengalami beban kapasitas tidak adanya
keseimbangan daya dukung lingkungan dalam bumi ini sendiri. Menurut
Global Environmental Outlook 2012 yang diluncurkan program PBB untuk
lingkungan (UNEP) tepat sebelum konferensi RIO+20 dimulai disebutkan
bahwa pertumbuhan penduduk mencapai 26 persen sejak 1990 berarti menjadi
7 milyar tahun 2010 dan akan mencapai 9 milyar tahun 2050. Lebih dari
setengah populasi tinggal diperkotaan dan krisis air mengancam kehidupan
manusia, karena stop air global menurun 2 kali lipat (1960-2000).
Akibatnya, 80 persen penduduk dunia hidup diwilayah rawan air. Penduduk
perkotaan di negara berkembang, 30-50 persen hidup dibawah kelayakan dan
rawan kebanjiraan (Kompas, 21 Juni 2012).
Sebelum Konferensi Rio+20, pada deklarasi berkelanjutan tahun 1992,
bumi ini sudah tinggal 20 persen warga bumi 1,4 milyar orang,
penghasilan 1,25 dollar AS sehari atau 1 miliar warga kelaparan setiap
harinya.
Dalam perkembangan terakhir terjadi peningkatan signifikan
peningkatan pendapatan pada sebagian penduduk, sehingga terjadi kenaikan
konsumsii daging, ikan dan makanan laut masing-masing 20 persen.
Terjadinya kenaikan ekstrasi sumber daya alam dari peternakan,
perikanan, ataupun kelautan. Dalam penggunaan sumber daya alam (bahan
fosil, biji besi dan industri mineral naik lebih 40 persen menjadi
60.000 ton (1992-2005). Lebih dari 60 persen gas rumah kaca berasal dari
industri energi, manufaktur dan kehutanan. Emisi gas rumah kaca terus
meningkat hingga 26 persen diatas angka 1992, dimana 80 persen
dihasilkan 19 negara.
Konsentrasi karbon dioksida diatmosfer meningkat 9 persen kemudian
suhu dunia dalam 10 tahun terpanas sejak 1880. Dengan kenaikan suhu
global 0,4 derajat Celsius, Kenyataannya hanya kurang dari 1,5 persen
area laut yang dilindungi, hutan primer berkurang 300 juta hektar sejak
1990, dan naiknya sampah plastik dari 116 juta ton tahun 1992 menjadi
265 juta ton tahun 2010.
Konferensi Rio+20, menghadapi problematika akar permasalah kerusakan
lingkungan dimuka bumi ini, peta jalan yang digagas gagal dari sekedar
aksi slogan pembangunan berkelanjutan dengan segala turun aksinya yang
sudah dicetuskan termasuk konvensi perubahan iklim dan konvensi
keanekaragaman hayati.
Essensi permasalahannya lingkungan hidup selama ini bertumpu pada
pengelolaan sumber daya alam yang berlomba pada inventasi jual cepat dan
murah, dampak peduli pada masyarakat sekitarnya. Permasalahan
lingkungan hanya dimintakan pertanggungjawaban sosial pada perusahaan
yang dikenal dengan CSR.
Pada tataran kenyataan tanggungjawab perusahaan lebih dipahami oleh
dunia usaha pada persepsinya yang persial, cukup dengan berbaik hati
lewat kegiatan kedermawanan mendirikan yayasan perusahaan, mensponsori
kegiatan amal, membantu korban bencana alam, ikut menanam pohon bakau,
tetapi perusahaan tetap beroperasi seperti biasa. Ini yang salah
paradigma perusahaan yang harus dirubah.
Sistem pengelolan lingkungan hidup harus berbasik pada lingkungan
dalam kontek pengelolaan lingkungan harus seimbang dengan daya dukung
dan daya tampung lingkungan harus ada korelasi. Permasalahan
tanggungjawab sosial dalam kontek memberi atau membantu pada masyarakat
sekitar bukan pada akar permasalahanya, masalah lahan , hutan yang sudah
dirubah yang merubah lingkungan . bagaimana sistem daerah resapan air
yang berubah, tempat menyimpan air berubah, penyangga kehidupan yang
beruba, dampak dari perubahan itu bagi tumbuhan lain, manusia yang
tinggal. Inilah yang gagal terwujud dalam sistem pengelolaan lingkungan.
Benang merahnya jelas dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan yang rusak tinggal bagaimana yang harus dilakukan terhadap
jalan gagal dalam konsep pembangunan berkelanjutan selama ini,
permasalahan pada tingkat pengambil kebijakaan untuk membuat aturan yang
jelas, tegas dan sanksi jelas.
Cara pandang dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang masih
tersisa lebih bijak dan manusia kenapa kita belajar dari negara Bolivia
yang memperjuangkan konsep mother earth sebagia suatu konsep kehidupan
yang holistik, dimana manusia dan makhluk lainnya hidup sebagai satu
kesatuan yang saling terkait.
Intinya sumber daya alam jangan dijual cepat, murah, dan dapat
untung, tanpa berpikir dampaknya bumi sudah rapuh dan makin tua, kapan
kita mulai peduli terhadap bumi kita.
Tentang penulis: