Perkembangan mineral dan batubara sejak terbitnya UU No. 22 Tahun
1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 membawa sektor pertambangan, khususnya
batubara di daerah mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam 10 tahun
terakhir batubara yang diekspor sudah melebihi kapasitas. Menurut
Menteri Energi Jero Wacik, dengan terbitnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara, sungguh luar biasa.
Setelah 3 tahun undang-undang ini diundangkan, sebagai contoh
pengapalan bijih bauksit (bahan baku aluminium) berlipat menjadi 40 juta
ton pada tahun 2011. Sehingga cadangan bauksit diprediksi hilang untuk
empat tahun, juga pertambangan batubara yang mengalami pesta emas hitam.
Jika pertambangan ini dibiarkan, cadangan sumber daya energi kita akan
cepat habis dari perkiraan dan sudah melampaui daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, sehingga perlu adanya pengendalian ekspor
bahan mentah tambang.
Pemerintah dalam usaha untuk melakukan upaya pengawasan laju ekspor
pertambangan, menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral
Melalui Kegiatan Pengelolaan dan Pemurniaan Mineral, yang mulai aktif
pada 6 Mei 2012. Peraturan ini sudah disosialisasikan selama 3 bulan,
yang intinya melarang ekspor bahan pertambangan mineral mentah.
Realitanya, penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara
ternyata sangat kecil. Dengan 9 ribu perusahaan sejak 2010 sampai
sekarang, negara hanya mendapat Rp 67- 80 triliun. Sedangkan dari sektor
minyak dan gas, hanya seratus perusahaan negara menerima Rp 270
triliun. Pelaksanaan peraturan pertambangan merupakan cermin kemampuan
pemerintah mengelola sumber daya alam di negeri ini, pemerintah yang
lemah akan menjadi bulan-bulanan segelintir pemburu rente di sektor
pertambangan.
Peningkatan nilai lebih dari pertambangan seperti amanat UU
Pertambangan, juga harus diterapkan. Pasal 95 UU No. 4 Tahun 2009,
menyebutkan bahwa : Pemegang IUP dan IUPK wajib:
a. Menerapkan kaidah teknik pertambangan;
b. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;
c. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia;
d. Meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/ atau batubara;
e. Melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan
f. Mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.
Dengan demikian, esensi dari penerapan ketentuan dari UU No. 4 Tahun
2009 untuk mewajibkan semua perusahaan pertambangan mengelolah komoditas
di dalam negeri pada tahun 2014. Hal ini untuk meningkatkan nilai
tambah dari sumber daya mineral. Di sisi lain keseimbangan dalam
pemanfaatan dan pengelolahan pertambangan mineral dan batubara secara
mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan
lingkungan, guna menjamin pernbangunan nasional secara berkelanjutan
Sosialisasi Pemerintah
Dengan sosialisasi yang sudah dilakukan, tidak ada lagi alasan bagi
perusahaan dan harus melakukan usaha persiapan untuk wajib membangun
mesih pengolah (smelter). Pada dasarnya mereka akan menikmati hasil
olahan yang bernilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan bahan mentah
pasir (ore) yang selama ini diekspor. Dalam waktu jangka panjang,
industri hilir hasil olahan tambang akan berkembang dan dapat meningkat
kesejahteraan, jadi keuntungan dapat diperoleh, melebihi ekspor.
Peraturan ini masih mendapat tantangan dari Asosiasi Pengusaha
Mineral Indonesia (Apermindo) yang menjelaskan akibat pemberlakuan
peraturan ini, secara manejemen kebijakaan akan mengakibatkan pemutusan
hubungan kerja sekitar 20 ribu tenaga kerja, dan banyak usaha gulung
tikar di bisnis pertambangan.
Secara ekonomi, pengusaha pertambangan sudah menikmati hujan dollar
dari lahan dengan menjual mentah nikel, tembaga, bijih besi, pasir besi,
dan bauksit selama ini, bahkan sejak peraturan baru dikeluarkan tiga
tahun yang lalu, pengusaha malah meningkatkan ekspor bahan mentahnya,
terbukti ekspor meningkat 800 persen (Tempo, 20 Mei 2012). Hal ini tidak
mendasar, mengingat pengalamaan negara Australia, kendati korporasi
Australia memprotes pengenaan pajak tambang, dikenal dengan super tax
for super profit, mereka tetap beroperasi. Karena usaha sektor
pertambangan menjanjikan dan menguntungkan.
Pengawasan Pertambangan.
Pengawasan wajib dilakukan, amanat UU N0. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, ruang lingkup pengawasan adalah
memastikan pengusaha meningkatkan nilai tambah bahan mentah yang mereka
kelola sebelum ekspor bahan mentah benar-benar dilarang pada tahun
20014. Sebelum ekspor ditutup, kementerian keuangan seyogyanya membuat
hambatan lain misalnya, bea keluar untuk bahan baku ini.
Sistem pengawasan juga harus ketat, transparan dan tidak
diskriminasi. Menurut Pasal 140 UU NO.4 Tahun 2009, pengawas, dilakukan
antara lain:
1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan
usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan
pemenritah kabupatenl kota sesuai dengan kewenangannya.
2. Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang
usaha pertambangan oleh pemerintah kabupaten/ kota.
3. Menteri, gubernur, dan bupati/ walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Untuk pengawasan dalam UU Mineral dan Batubara, dalam hal ini ada beberapa macam-macam bentuknya antara lain:
a. teknis pertarnbangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengolahan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambanga.n;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan
j. rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
k. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
l. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
m. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
n. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum;
o. pengelolaan IUP atau IUPK; dan
p. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangar.
Diskriminasi Merusak Kompetisi dan Keadilan.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 7 Tahun 2012,
mulai diterapkan dan mulai dirasakan oleh pengusaha dalam memenuhi
atauran tersebut. Permasalahannya bagaimana Permen tersebut diberlakukan
pada perusahaan pertambangan, dalam hal ini perusahan asing kelas kakap
yang mendapat ijin PK2B.
Ketidakkonsistenan dan ketidakjelasan terhadap pemberlakukan
peraturan ini bagi pengusaha kelas kakap pertambangan, ternyata tidak
diatur dalam peraturan menteri ini. Justru Permen itu menjadi ajang
diskriminasi akan mengibiri kesempatan berkompetesi mengelolah sumber
daya alam negeri ini, peraturan pengelolahan sumber daya alam dalam
pengelolahan pertambangan yang adil niscaya menepis dugaan kolusi
pejabat dan pengusaha.
Perkecualian peraturaan menteri ini sangat janggal, permain kelas
kakap tambang batubara jelas berkepentingan menikmati ekspor bahan
mentah selama mungkin, alasannya jelas harga pasar dunia batubara sangat
mahal sering dengan tingginya harga minyak dunia. Di sisi lain menjual
bahan mentah batubara akan menghilangkan kesempatan membuka industri
pengelolahan batubara, umpamannya batubara cair.
Negara harus menempatkan Permen ini pada asas keadilan dan kepastian
hukum, sehingga nilai kompetisi dari pertambangan dapat dirasakan semua
pihak, jangan berkilah berlindung atas nama kontrak karya, aturan
dikebiri dalam penerapan dan diskriminasi.