Perlindungan Perempuan dan Anak di Bidang Pertambangan

Perkembangan terakhir dari drama revisi Perda No. 20 Tahun 2000 jo Perda 2003 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 20 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pengusahaan Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kota Samarinda, oleh DPRD Kota Samarinda, statusnya menunggu dibatalkan.

Hal ini berkaitan dengan Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Inilah yang menjadi dasar pansus tambang DPRD terancam dibatalkan, karena revisi yang dilakukan bertentangan dengan aturan Permendagri tersebut, yang dalam satu aturan dalam revisi Perda, tidak boleh melakukan revisi bab baru. Ironis.
Pansus tambang DPRD Kota Samarinda yang penuh kepentingan, liku-liku, intrik politik, akhirnya hanya jadi mimpi, kebijakan pertambangan tetap akan jalan ditempat, dan apa adanya. Perlindungan yang diimpikan untuk perempuan dan anak di sekitar tambang Kota Samarinda hilang, perempuan akan tetap terpinggirkan dan terabaikan .
Perlindungan akan hak asasi perempuan, sudah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diamanatkan Pasal 281 Undang-undang No . 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Ada jaminan dari insitusi-institusi negara, termasuk hak perempuan dan anak di sekitar usaha pertambangan. Untuk perlindungan hak asasi perempuan dan anak, terkait dengan isu-isu dalam pertambangan, UUD 1945 menjamin beberapa hak asasi manusia berikut:
(a) hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang (Pasal 28B);
(b) hak untuk mendapat informasi (Pasal 28F);
(c) hak untuk mendapat jaminan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (Pasal 28H); dan
(d) hak untuk tidak didiskriminasi termasuk dikriminasi gender (Pasal 28I).
Kemudian hak perempuan untuk mendapat perlindungan khusus terhadap keselamatan dan kesehatan berkenaan dengan fungsi reproduksi dilindungi oleh Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga menekankan bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak termasuk keberadaan tempat bermain yang aman.
Kondisi Pertambangan di Kota Samarinda.
Kota Samarinda pada tahun 2011, (Data Distamben, dikutip dari Kaltim Post Tahun 2012), sudah ada 68 Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Menurut analisa Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam), kegiatan industri pertambangan berpotensi memberikan dampak negatif, karena IUP yang ada semua berada di Kota dan mencapai 72% kawasan wilayah Kota Samarinda. Secara perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sudah melampaui batas daya dukung dan daya tampung lingkungan. Kualitas lingkungan seharusnya dijamin sesuai dengan amanah konsitutusi, yakni hak warga atas hak atas lingkungan yang baik dan sehat, dan diperjelas dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam konteks kebijakan pertambangan, disinyalir IUP yang ada di Kota Samarinda, banyak mengabaikan hak perempuan atas perlindungan diskriminasi gender dalam ketenagakerjaan, kesehatan reproduksi, keberdayaan dalam kegiatan ekonomi, kekerasan seksual dan gender, partisipasi dalam pengambilan keputusan investasi, dan keselamatan anak.
Kebijakan pertambangan yang berdampak pada perempuan dan anak tidak didukung dalam tataran kebijakan di Perda tersebut. Momentum revisi Perda yang dilakukan Tim Pansus DPRD Kota Samarinda saat ini seharusnya menjadi langkah kongkrit untuk perubahan dalam kebijakan pertambangan dalam keseteraan gender dalam konteks perempuan. Namun dalam kajian terhadap draf reperda revisi tambang tidak ada kebijakan terhadap jaminan terhadap hak perempuan dan anak disekitar tambang.
Kedudukan Usaha Pertambangan dan Perempuan di Kota Samarinda.
Pembangunan tambang di Kota Samarinda melemahkan peran perempuan dalam ekonomi rumah tangga. Perempuan yang mata pencaharian utamanya terkait dengan kegiatan ekonomi berbasis lahan pertanian, perkebunan dan air. Sebagai pola kelangsungan hidup dan kehidupannya, terpingirkan dengan ada usaha pertambangan. Kerusakan atau hilangnya lahan dan air mengakibatkan sumber mata pencaharian kaum perempuan, khusus yang terkena dampak tambang, misalnya di Kelurahan Makaroman, banyak kehilangan mata pencahariannya sebagia petani, kebanyakan dari mereka tidak mudah untuk mencari pekerjaan lain, terutama jika harus jauh dari rumah.
Dari kajian Badan Pemberdayan Perempuan Kaltim tahun 2011, kegiatan industri tambang batubara berpotensi melanggar hak asasi perempuan dan anak. Potensi pelanggaran, hal ini berkaiatan dengan beberapa aspek seperti sebagai berikut:
(a) diskriminasi gender dalam ketenagakerjan;
(b) kesehatan reproduksi,
(c) keberdayaan dalam kegiatan ekonomi,
(d) kekerasan seksual dan gender,
(e) partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan
(f) keselamatan anak.
Dengan semakin tidak jelasnya kedudukan pansus tambang DPRD Kota Samarinda, membawa konsekuensi juga dilapangan. Usaha pertambangan di Kota Samarinda, makin tidak jelas dalam pengaturannya, dan sanksinya. Kemudian upaya perbaikan secara ekologi dan lingkungan hidup, dan kebijakan Pemerintah Kota Samarinda, semakin kabur dan tidak ada dasar hukumnya.
Masalah lingkungan hidup dan usaha pertambangan di Kota Samarinda, sudah melampaui batas daya dukung dan daya tampung lingkungan, dalam konteks penataan ruang Kota Samarinda yang diatur dalam Perda No. 12 Tahun 2002 tentang RTRW Kota Samarinda, sudah tidak memadai. Perda 20 Tahun 2000 jo Perda 20 tahun 2003, secara hukum tidak batal demi hukum, karena sebenarnya perda tersebut sudah dibatalkan oleh Mendagri.
Seharus DPRD Kota Samarinda sudah merencanakan solusi untuk membuat aturan tentang penataan kelola pertambangan dalam Perda baru. Solusi yang lain adalah tindakan darurat yang diambil oleh Pemerintah Kota Samarinda, membuat suatu kebijakan pertambangan yang berbasis pada lingkungan hidup dan perempuan .
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.