Tindak Pidana Korporasi pada UU No 32 Tahun 2009
Pasal-Pasal pada UU No 32 Tahun 2009 yang dapat di katagorikan
terkait dengan tindak pidana korporasi antara lain diatur dalam pasal
116-120.
Pada pasal 116 ayat (1), tindak pidana lingkungan dilakukan oleh,
untuk dan atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dijatuhkan pada:
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan tindak pidana
tersebut.
Dengan demikian yang bertangggungjawab adalah badan usaha atau orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal ini juga
berlaku pada tindak pidana lingkungan hidup dilakukan orang, yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak
dalam lingkup kerja badan usaha. Sanksi pidana dijatuhkan tetap pada
pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau
bersama-sama.
Untuk tuntutan pidana pada tindak pidana korporasi pada lingkungan
hidup, pemberi perintah tindak pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan
berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. (pasal
117). Sedangkan tindak pidana yang dilakukan badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang
mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Dalam penjelasan UU 32 Tahun 2009, pelaku fungsional adalah badan
usaha dan badan hukum. Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan
usaha dan badan hukum, karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum
adalah tindak pidana fungsional, sehingga pidana dikenakan dan sanksi
dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik
dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut.
Menerima tindakan dalam hal yang dimaksud adalah pemberi perintah
menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap
tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan
terjadinya tindak pidana tersebut.
Pidana Tambahan
Dalam tindak pidana korporasi pada lingkungan hidup juga dikenakan
pidana tambahan. Pasal 119 menyebutkan bahwa selain pidana sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan
pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b) Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c) Perbaikan akibat tindak pidana;
d) Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e) Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Untuk pelaksanaan ketentuan pasal 199 huruf a, b, c dan d, jaksa
berkoordinasi dengan instansi yang bertanggungjawab dibidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan
eksekusi.
Kondisi Kerusakan Lingkungan Hidup Di Kota Samarinda
Samarinda sebagai kota tambang, sudah 63 IUP dengan menguasai 72, 5
persen wilayah kota. Dari data 63 IUP, ada 8 IUP yang belum ada
kejelasan izin lingkungan dalam hal Amdal, UKL-UPL (BLH Kota Samarinda
pada diskusi publik Fakultas Teknik, 1 Maret 2012).
IUP yang ada di Kota Samarinda, dari data Pengadilan Negeri
Samarinda, tidak ada yang masuk ke pengadilan untuk tindak pidana
lingkungan, apalagi tindak pidana korporasi. Hal ini membuktikan bahwa
sanksi pidana yang diatur dalam tindak pidana korporasi dalam
implementasi di lapangan sering terjadi salah penafsiran. Hal ini
terjadi karena berpedoman pada penegakan hukum pidana lingkungan yang
tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan
penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan
penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Fakta di lapangan dalam paparannya BLH Kota Samarinda, dalam satu
tahun ini sudah melakukan 31 kali surat teguran kepada pemilik IUP di
Kota Samarinda, 8 IUP yang dihentikan sementara (PT Buana Rizki Armia,
PT Graha Benua Etam, PT Panca Bara Sejahtera, CV Bismillahi Res Kaltim,
CV Prima Coal Mining, CV Tunggal Firdaus, CV Utia Ilma Jaya, serta
KOPTAM Bara Sumber Makmur) dan 2 IUP (Izin CV Prima Coal Mining maupun
CV Bumi Batuah) dicabut. Ini memberi warning dalam konteks penegakan
hukum administrasi lingkungan, BLH sudah dilakukan, namun bukan pada
tindak pidana korporasi.
Banyak kasus lingkungan hidup di Kota Samarinda dalam penegakan
aparat penegak hukum, untuk kasus-kasus pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup hanya memperlakukan sanksi administrasi dan perdata
yang berupa ganti rugi bagi masyarakat setempat, tidak masuk pada ranah
terjadi kerusakan lingkungan hidup yang merubah bentang alam, mengganggu
keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Esensi kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan perubahan langsung
atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan hayati lingkungan
hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Yang pada
dasarnya makna perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadi pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi: perencanaaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharan, pengawasan, dan penegakan hukum itu hilang. Karena
penegakan hukum pidananya tidak diberlakukan, dan tidak memberi efek
jera bagi pelaku badan usaha.
Pemahaman yang salah ini terhadap asas ultimum remedium, yang menjadi
pangkal tolak kegagalan sanksi pidana, terutama pada tindak pidana
korporasi, khususnya di Kota Samarinda. Tidak pernah ada tindak pidana
korporasi sampai mendapat sanksi pidana oleh aparat penegak hukum. Hal
itu dipahami bahwa penerapan asas ultimum remedium hanya berlaku bagi
tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran
baku mutu air limbah, dan ganggguan. Hal-hal seperti inilah yang
seharusnya dipahami oleh pengawas lingkungan hidup yakni Badan
Lingkungan Hidup, Dinas Pertambangan, polisi dan penegak hukum lainnya.
Dengan pertimbangan dampak lingkungan hidup yang dapat ditimbulkan
oleh kejahatan korporasi baik bagi masyarakat, perekonomian,
pemerintahan daerah dan aspek-aspek lainnya yang berbahaya, bahkan lebih
serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk
kejahatan yang konvensional, maka harus ada konsistensi dalam penerapan
sanksi pidana dan landasan dalam hukum untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.
Dalam UU No 32 Tahun 2009 sudah jelas, pengaturan yang menyangkut
pertanggungjawaban tindak pidana korporasi. Selain itu, diperlukan studi
yang lebih mendalam baik di kalangan akademis, profesional maupun
aparat penegak hukum guna membangun suatu kerangka teoritis bagi
pertanggungjawaban pidana korporasi.
Hal ini hendaknya diimbangi pula dengan upaya peningkatan kualitas
dan kemampuan para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus
mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan hukum, dalam penegakan
tindak pidana korporasi dalam lingkungan hidup yang sudah diatur dalam
UU No 32 Tahun 2009, harus menjadi acuan dalam penegakannya, khususnya
dampak lingkungan yang diakibatkan oleh izin usaha pertambangan di Kota
Samarinda.
Ke depan perlu adanya sosialisasi UU No 32 Tahun 2009 terhadap
penerapan sanksi pidana bagi aparat penegak hukum, untuk lebih
memperhatikan penafsiran asas ultimum remedium.
Tentang Saya

Dr. Siti Kotijah, S.H, M.H.
Lecturer in Mulawarman University,
Law Faculty
Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca Tambang Kalimantan Timur