Penerapan Pidana Lingkungan Hidup di Kota Samarinda

Ketersediaan sumber daya alam Kalimanatan Timur secara kuantitas ataupun kualitas sangat merata hampir diseluruh wilayah, baik berupa hutan, tambang, gas, keanegaragam hayati dan sebagiannya, sebagai modal dalam proses pembangunan yang dilakukan sekarang.

Kegiatan pembangunan yang dilakukan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan, tanpa perencanaan penataan ruang juga mengandung risiko terjadinya tata kelola sumber daya alam yang tidak merataa, dan menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Kondisi sekarang, di hampir wilayah Kalimantan Timur, menuai dampak dari pencemaran dan kerusakan lingkungan, yang mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban social, missal meninggal 5 bocah dibekas sumber tambang, perubahan fungsi lahan pertanian menjadi tambang di Makroman, banjir lumpur di Palaran, banjir di Samboja, yang wilayah dikelilingi tambang. Persoalan-persoalan diatas dalam penangannya hanya bersifat parsial dan temporer, dalam artian masyarakat diberi ketenangan yang semu, diberi ganti rugi, atau penutupan sementara IUP tambang, dan pernyataan di media oleh pejabat berwenang akan melakukan tindakan, pencitraan kepada masayarakat, bahwa pemerintah daerah peduli dan care terhadap penderitaan warganya.
Pemerintah daerah dan pemerintah kota, tidak mempunyai master plan yang pasti dan terpadu, dalam pengelolaan sumber daya alam. Sedangkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup terus tiap hari menjadi masalah yang tidak terselesaikan.
Seharusnya dalam menyikapi persoalan lingkungan hidup harus berpedoman pada paradigma dalam UU PPLH, yang memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisah dalam pembangunan, sehingga perlu melindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut
dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional, daerah, dan kota dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Upaya preventif atau instrument pencegahan dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi di Kalimantan Timur, sampai hari ini ada penegakan hokum pidana, dalam kontek lingkungan hidup. .
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. UUPPLH sudah mengatur ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah.
Melalui hal diatas, diharapkan akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
Penegakan hukum pidana dalam UUPPLH memperkenalkan ancaman hukuman minimum juga maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hokum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hokum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Dari penafsiran diatas, jelas bahwa dalam penegekan hokum pidana lingkungan, seharusnya bukan dalam tataran penegakan adminitrasi, perdata. Namun harus didorong dalam penegakan hokum pidana dalam masalah pencemaran dan kerusakan di Kalimantan Timur. Selama ini masalah pencemaraan dan kerusakan hanya pada masalah izin, dan jika terjadi pencemaran digantirugi, selesai. Hal-hal inilah yang tidak efektifnya penerapan pidana lingkungan. Yang ditonjolkan unsur “kerugian lingkungan hidup” adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Untuk Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Kemudian juga dalam proses penyelesian lingkungan hidup melalui pengadilan dan diluar pengadilan, pokok dari gugatan lingkungan hidup , dalam hakikatnya yang dituntut berupa tuntutan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan , karena hal ini menuntut usaha/perusahaan untuk memberi ganti kerugian terhadap perubahan bentang alam, akibat usaha tersebut, sehingga menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Ganti kerugian dan pemulihan lingkungnan diatur dalam Pasal 87 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa erhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Penafsiran dalam pasal diatas, dalam rangka gugatan yang diajukan masyarakat, pemerintah dan pemerintah pusat atau gugatan organisasi lingkungan hidup. Sehingga pradigama masalah lingkungan hanya bersifat gantirugi dan pemulihan. Ketentuan pidana dalam pasal 97-120 UUPLH, kurang dalam penerapan sangsi pidana oleh penegak hokum kita.
Kedepan ketentuan pidana, ini yang harus ditekankan oleh penegak hokum kita, jangan seperti sekarang masalah 5 meninggal bocah di bekas sumur tambang, tidak jelas kasus sampai pada tingkat mana, polisi, kejaksaan, pengadilan. Masyakat menunggu penegakan lingkungan hidup dan efek jera yang diharapkan. semau itu untuk dapat menjamin kepastian keberadaan generasi yang akan datang terhadap pengelolaan sumber daya alam, supaya yang diwariskan kelak bukan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan diKalimantan Timur. Polisi kami menunggu penyelesaian kasus bukan SP3?
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.