Dalam perspektif hukum, tata negara, negara hukum adalah negara yang menolak penggunaan kekuasaan yang tanpa kendali. Hal ini dimaksudkan agar institusi negara menjadi mesin organisasi yang bekerja efektif melalui mekanisme saling kontrol, juga adanya jaminan untuk penghormatan hak-hak dasar warga negara.
UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dilengkapi dengan PP No 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No 8 Tahun 1985. Undang-undang ini secara eksplisif memberikan pengakuan terhadap keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai wadah partisipasi masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di negara Indonesia.
Organisasi lingkungan hidup, atau lebih dikenal dengan LSM dalam perkembangannya memberi warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara kita. Keberadaannya mulai mendapat apreasasi di masyarakat, dalam hal ini usaha mendapat keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya di Kaltim
Organisasi JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) sebagai contoh di Kota Samarinda, banyak memberi pendapat dalam sudut pandang kerusakan akibat usaha pertambangan. Kemudian, Walhi untuk masalah kerusakan hutan di Kaltim.
Dengan adanya gerakan masyarakat Samarinda menggugat tambang, yang terlihat peran organisasi lingkungan hidup sangat menonjol dalam gerakan tersebut. Keterlibatannya secara tidak langsung memberi perubahan dalam masalah kerusakan lingkungan hidup pemerintaah Kota Samarinda supaya lebih bijak untuk melakukan tata kelola pertambangan dan hak warga dijamin .
Organisasi Lingkungan Hidup (LSM)
Istilah LSM imulai diusulkan oleh Sakiran Mangunpranoto pada pertemuan antar organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang pembangunan perdesaan di Ungaran, Jawa Tengah tahun 1978. Nama pertama yaitu Lembaga Pembina Swadaya Masyarakat, kemudian dirubah menjadi LSM. Dalam UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, tidak mengatur batasan LSM. Pada Instruksi Menteri Dalam Negeri No 8 Tahun 1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat, dirinci tentang pengertian LSM. Di tataran internasional adalah Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) yang merupakan terjemahan dari Non Governmental Organisasi (NGO).
LSM dan UU Lingkungan Hidup
Pasal 1 ayat (12) UU No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-pokok Lingkungan Hidup, dan penjelasannya mendefinisikan LSM adalah organisasi yang tumbuh secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat dan berminat serta bergerak di bidang lingkungan hidup. Pada intinya LSM termasuk bagian dari kelompok masyarakat. Untuk aturan dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tidak dijelaskan batasan istilah LSM. Kedua undang-undang tersebut mengatur hak gugat organisasi lingkungan hidup.
Pasal 92 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur hak gugat organisasai lingkungan hidup, dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dengan ketentuan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu yakni berupa tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup, guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Syarat yang harus dipenuhi orgaisasi lingkungan hidup (LSM) dalam usaha melakukan gugatan adalah bersebagai berikut:
a) Berbentuk badan hukum;
b) Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c) Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Gerakan Samarinda Menggugat Tambang
Upaya hukum gugatan dari Gerakan Samarinda Menggugat Tambang (GSMT) menjadi bukti tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap haknya yang selama ini dirugikan akibat pertambangan batu bara di Kota Samarinda. Gugatan yang dilakukan oleh masyarakat dinamakan hak gugat masyarakat atau lebih dikenal class action, yang tuntutan gugatan lebih luas, yakni bisa menuntut ganti rugi .
Sedangkan hak gugat organisasi lingkungan hidup terbatas. Dalam GSMT, Jatam Kaltim dan Walhi dalam kapasitasnya bisa melakukan hak gugat organisasi lingkungan. Namun akan terkendala dalam sidang pengadilan, tentang locus atau domisili dalam pendirian organisasi tersebut. Semua organisasi lingkungan hidup akta pendiriannya ada di Jakarta. Jadi harus dicari LSM yang mempunyai kapasitas dalam lingkungan yang disyaratkan dalam undang-undang.
Menurut saya hak gugat yang dilakukan organisasi lingkungan hidup tidak memberi efek jera bagi pengambil kebijakan, yakni Pemerintah Kota Samarinda yang mengeluarkan izin, karena gugatannya dibatasi hanya tindakan pemulihan lingkungan. Sedangkan pejabat yang mengeluarkan izin usaha pertambangan tetap bebas, jadi esensi efek jera bagi pelaku pemberi ijin pemerintah daerah hilang.
Yang harus dilakukan adalah bagaimana atauran dalam UU No 32 Tahun 2009 dimaksimalkan dalam pelaksanaannya, khususnya tentang pengawasan yang harus dilakukan pejabat. Pengawasan yang wajib dilakukan bukan dalam konteks penegakan hukum lingkungan yang bersifat administrasi, tetapi ini mengarah pada penegakan hukum pidana dalam UU No 32 Tahun 2009. Jadi, penegak hukum tidak ada alasan untuk memperlambat proses kasus meninggalnya 5 bocah di bekas tambang, karena aturan ini tidak mengarah pada azas hukum yang berlaku surut dalam UUPPLH.
Dengan melihat kondisi saat ini, organisasi lingkungan hidup, dalam Gerakan Samarinda Menggugat, harus lebih ditekankan pada perlindungan lingkungan hidup di kota Samarinda. Semua itu demi generasi yang akan datang di Kota Samarinda. Apa pun hasil dan bentuk gugatan yang akan diajukan, warga kota berharap akan ada perlindungan lingkungan yang lebih baik.