Gerakan Masyarakat Samarinda Menggugat Dampak Tambang

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, hal ini yang paling essensi yang akan dilakukan gugatan oleh masyarakat dalam pemberitaan media sepekan ini di Kota Samarinda.

Dalam gerakan masyarakat Samarinda menggugat dampak negatif tambang, belum jelas alur yang akan dibawa atau model apa gugatan yang akan diajukan. Gugatan yang dilakukan adalah mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga masyarakat Kota Samarinda.
Menganalisa gerakan masyarakat Samarinda menggugat dampak negatif tambang, ada beberapa bentuk yang bisa ditempuh yang hubungannya dengan hak gugat yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), antara lain
1. Hak Gugat Masyarakat.
Suatu upaya yang dapat dilakukan untuk menuntut hak masyarakat terhadap jaminan negara, Pemerintah Kota Samarinda untuk menjamin hak atas lingkungan yang baik dan sehat, dan dampak lingkungan akibat IUP pertambangan yang ada yang sudah membuat hidup dan kehidupan masyarakat terganggu. Dalam hal masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Hak gugat masyarakat, ini diatur dalam Pasal 91 UUPPLH. Syarat gugatan masyarakat yang diajukan terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Dalam persidangan inilah esensi yang penting, bahwa masyarakat Kota Samarinda yang menggugat memiliki kesamaan fakta hukum yang sama, bahwa mereka adalah korban dari dampak kerusakan lingkungan, akibat pertambangan, misalnya banjir. Harus dijelaskan kronologis sejarah Kota Samarinda, pasca tambang dan sebelum ada tambang, juga dampak kerugian yang diderita warga kota dari segala aspek dan hitungan yang riil yang bisa dibuktikan di pengadilan nanti. Untuk dasar hukum yang bisa diminta adalah ganti kerugian dan pemulihan lingkungan yang mengacu pada Pasal 87 UUPPLH. Sedangkan prosedur gugutan masyarakat mengarah pada Perma No. 2 Tahun 2002.
2. Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup.
Pasal 92 ayat (1) UUPPLH menyebutkan bahwa (1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kemudian dalam mengajukan hak gugatan, organisasi lingkungan hidup terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil selama mengajukan gugutan. Jadi pada intinya, jika gerakan masyarakat Samarinda mengunggat tambang, dilakukan Lembaga Swadaya Masyarkaat (LSM) misalnya Jatam Kaltim, tidak boleh menutut ganti rugi. Yang boleh dituntut adalah upaya pemulihan dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan. LSM atau organisasi lingkungan hidup, dalam hal ini dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:antara lain;
a) berbentuk badan hukum;
b) menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c) telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Syarat di atas, yang menjadi dasar utama suatu LSM dapat mengajukan hak gugat atas lingkungan hidup.
3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang PLH menjadi UU No. 32 Tahun 2009, yakni diatur dalam Pasal 90 UUPPLH, tentang hak gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dalam hal ini instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Sebenarnya, jika mengacu pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, sebagai pemegang amanah rakyat dan menjamin hak warga atas lingkungan yang baik dan sehat, seyoganya Pemerintah Kota Samarinda melakukan langkah lebih proaktif dalam mengambil langkah. Dengan mengajukan hak gugat pemerintah daerah untuk menuntut pertanggujawaban usaha pertambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Hal ini tentu, dengan niat baik, bahwa Pemerintah Daerah berpihak atas nama warga masyarakat Kota Samarinda, untuk menuntut ganti rugi kerusakan lingkungan yang ada sekarang pada perusahaan pemegang IUP.
4. Gugatan Administratif.
Untuk gugatan administrasi, bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila:
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Gugutan administrasi ini sesuai aturan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN.
Upaya hukum gugatan masyarakat lewat Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) menjadi bukti tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap haknya yang selama ini dirugikan akibat pertambangan batu bara yang menuai bencana di Samarinda. Dalam gugatan nanti harus bisa dibuktikan secara materil materi gugutan, yakni kerugian yang dialami warga Samarinda atas musibah ditimbulkan dengan maraknya pertambangan batu bara seperti banjir, rusaknya lahan pertanian, terganggunya kesehatan, rusaknya sumber daya air serta tidak produktifnya lahan pertanian menjadi sumber perekonomian warga pasca tambang.
Harus ada estimasi perhitungan kerugian berdasarkan ekonomi lingkungan akibat tambang di Samarinda. Dari Pendapat Puslit SDA Unmul, Bernaulus, “dalam menyajikan data perhitungan ekonomi lingkungan dengan memerhatikan beberapa dinamika perusahaan pertambangan yang melakukan proses reklamasi lahan setelah mendapatkan kritik masyarakat. Estimasi kerugian ekonomi lingkungan akibat tambang di Samarinda sekitar Rp600 miliar hingga Rp1 triliun”.
Semua pihak sudah mulai bersuara, semua masyarakat sudah mulai bergerak dengan mengkumpulkan KTP, tim kuasa hukum suatu memulai mencari fakta gugutan dan materi tuntutan, dan pemerintah sudah melakukan upaya pencegahan terhadap kerusakan lingkungan akibat tambang dengan menutup 8 IUP di Kota Samarinda. Semua berlomba melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas dan fungsinya.
Gerakan ini awal, untuk membangun akan pentingnya kesadaran lingkungan terhadap bumi etam yang kaya emas hitam, jangan diexploitasi secara berlebihan, tetapi tetap dalam tatanan penataan ruang. Kita warga Kota Samarinda tidak anti tambang, tetapi juga tidak ingin lingkungan hancur akibat tambang..
Seyognya Pemerintah Daerah Kota Samarinda, arif untuk menyikapi gerakan ini dan introspeksi diri untuk membuat surat keputusan walikota dalam membebaskan Kota Samarinda, bebas tambang sampai kapanpun.
Tentang penulis:
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.