Kewajiban Pemkot dan Peran Masyarakat Samarinda

Hak atas lingkungan yang baik dan sehat, di Kota Samarinda yang seharusnya di jamin oleh negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Samarinda, telah dicerdai. Tragedi banjir lumpur di Simpang Pasir Palaran, membuat 6 RT mengalami penderitaan, dan kesengsaraan. Sehingga banyak harta benda yang hilang diterjang lumpur,.


Pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan gagal melaksanakan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Padah seharusnya Kota Samarinda menjadi kota yang memberi berkah dan dapat menjadi sumber serta penunjang hidup dan kehidupan bagi masyarakat.
Penderitaan masyarakat di Palaran, seyoganya menggugah hati nurani pimpinan di kota ini untuk hati-hati dan bijak dalam pengeluarkan izin. Selanjutnya segera diambil tindakan hukum yang cepat, tepat dan kongkrit yang dikembangkan sesuai dengan sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas seperti yang diatur di dalam UU PPLH.
Dengan demikian ada upaya penegakan hukum, sehingga akan memberi jaminan kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. UU PPLH ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan.
Proses yang cepat dan tidak terlalu lama dalam kasus tragedi lumpur di Palaran adalah proses penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan melalui negoisasi atau mediasi dengan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam hal ini perusahaan yang mendapat izin, masyarakat korban, pemerintah sebagai pemberi izin dan pengawas lingkungan hidup, juga harus diminta pertanggungjawaban secara hukum.
Sedangkan proses penyelesaian sengketa pengadilan, yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, atau pun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa
pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
Peran Masyarakat
Dampak dari banyaknya IUP pertambangan di Kota Samarinda juga karena peran masyarakat sangat lemah dalam mengkontrol atau mengawasi dalam kebijakan yang diambil Pemerintah Kota Samarinda. Dalam hal hak atas lingkungan yang baik dan sehat, masyarakat mempunyai peran sangat signifikan dalam hal perlindungan dan pengelolan lingkungan. . Pada Pasal 70 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa masyarakat diberi hak yang luas untuk berperan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
Peran masyarakat, seyoganya dihargai, dan ditempatkan pada posisi yang sama, hal inilah yang sering dihilangkan di kegiatan pertambangan di Kota Samarinda. Selama ini hanya dilibatkan dalam konsultasi publik pembuatan amdal, itu pun hanya mereka yang punya jabatan di sekitar pertambangan, bukan masyarakat yang akan merasakan dampak lingkungan dengan adanya kegiatan.
Menurut pasal 70 ayat (3) peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Peran masyarakat yang seharusnya dilakukan pada pasal tersebut sangat sulit diterapkan, jika pimpinan tidak peduli dengan masyarakatnya,. Yang terjadi masyarakat apatis, dan tidak peduli. Kita sudah lihat demonstrasi warga Kelurahan Makroman di kantor walikota tidak ada tindakan kongkrit.
Pada kenyataannya kebijakan yang diambil Pemerintah Kota Samarinda, hanya membuat senang sesaat, kebijakan termporal, asal masyarakat tidak menuntut dan dirugikan kepentinganya .
Inilah kebijakan yang salah, kebijakan yang parsial, sama seperti dahulu, asal bapak senang. Politik dan cara pandang demikian harus dirubah dalam mainseat pemegang kebijakan di Kota Samarinda. Sudah saatnya pemerintah daerah Kota Samarinda menempatkan dirinya sebagai pihak yang menjamin warganya, bukan untuk kepentingan sesaat.
Seharusnya kebijakan yang diambil demi kepentingan generasi yang akan datang. Ini masalah dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan yang kronis, kita akan meninggalkan warisan lubang sumur lebih dari 64 dari IUP pertambangan, dan sudah mati 5 orang jadi korban. Masihkah akan terus bertambah?
Pemerintah, dalam hal ini pejabat pengawas lingkungan hidup di Kota ini, yakni BLH Kota Samarinda wajib menjalankan wenang berupa :
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
Pertanyaanya sudah BLH Kota Samarinda melakukan wewenangnya? Jika sudah kenapa masih banyak masalah lingkungan.
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.