Hak dasar konstitusi kita pada Pasal 28H memberi jaminan bagi warganya untuk mendapatkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Hal itu diperjelas dalam filosofi keluarnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Filosofi menyebutkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Dalam satu bulan kita disajikan berita yang benar-benar menyayat batas-batas nilai kemanusian dari hak warga negara yang telah dicederai di Kota Samarinda. Dari kasus makroman dengan CV Arjuna yang mengakibatkan lahan pertanian dan perkebunan warga yang tercemar tambang batubara, dan matinya 5 bocah di bekas sumur lubang tambang.
Walau pun pihak polisi bilang itu bukan tempat reklamasi tambang, hanya tempat penampungan yang telah ditinggalkan dan tidak berfungsi lagi. Namun, tragedi banjir lumpur di Simpang Pasir Palaran membuat 6 RT mengalami kesengsaran, memberi pelajaran yang nyata bagi kita. Hal ini menunjukkan bahwa tambang batubara mulai membawa kemurkaan yang dalam bagi warga Kota Samarinda, bukan berkah yang digadang-gadang selama ini.
Tambang batubara memberi dampak positif dan negatif seperti mata uang yang tidak bisa dipisahkan, namun kegiatan batubara juga harus mengindahkan tata kelola lingkungan baik berupa Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Untuk tambang batubara skala kecil berupa Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang sudah diatur dalam Pasal 14, Pasal 19, Pasal 33, dan Pasal 36 UU Nomor 32 Tahun 2009. Dalam hal ini, kaidah tata ruang Kota Samarinda yang mengacu pada UU Nomor 26 Tahun 2007 dan Perda Nomor 12 Tahun 2002.
Penegakan Hukum
Dalam hukum lingkungan, yang mengacu UU PPLH, ada 3 (tiga) sanksi hukum yakni sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana. Untuk sanksi administrasi diatur dalam Pasal 76 ayat (2), yang terdiri atas : teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuaan izin lingkungan; atau pencabutan izin lingkungan. Untuk sanksi perdata diatur dalam Pasal 87 tentang ganti rugi dan pemulihan lingkungan. Kemudian untuk sanksi pidana diatur dalam Pasal 97-120.
Tragedi banjir lumpur di Simpang Pasir Palaran menurut Endang Liansyah, kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Samarinda, belum ada AMDAL atau UKL/UPL dari PT Samarinda Golden Prima (SGP) yang merupakan pemilik tanggul yang jebol, yang menyebabkan banjir lumpur tersebut.
Dari pernyataan diatas, jelas PT SGP melanggar Pasal 22 menganai AMDAL. Pasal 22 itu menegaskan bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL”. Kemudian Pasal 24 dan Pasal 36 menegaskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib AMDAL sebagimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib UKL/UPL.
Dalam pernyataan di Kaltim Post tanggal 13 Januari 2012, kepala BLH juga menyebutkan bahwa aliran air di kolam yang tanggulnya jebol, sebenarnya berasal dari sungai alami, yang kecil dipotong dan dibuat tanggul sendiri oleh PT SGP, tanpa adanya rekomendasi dan AMDAL dari BLH. Ini merupakan fakta hukum bahwa PT SGP melanggar Pasal 22, ayat (2). Apa yang dilakukan PT SGP tidak mengindahkan dampak penting yang seharusnya dituangkan dalam AMDAL yang dibuat atau UKL/UPL.
Mencari Keadilan
Dari fakta hukum itu jelas tidak dipenuhi AMDAL untuk pembuatan tanggul sungai sehingga 6 RT sekitar PT SGP di Palaran dirugikan. PT SPG sudah berhenti menambang pada tahun 2009 dan tahun 2010 sudah dicabut IUPnya. Kemudian PT SPG, mendapat izin mengembangkan kawasan bekas pertambangan untuk perumahan (sampai saat ini, belum diketahui status ijin PT SPG).
Menurut data di Kaltim Post, areal bekas pertambangan PT SPG, dan sekitar tanggul yang jebol, serta bekas banjir lumpur di Palaran, banyak timbunan batubara. PT SPG beraktifitas tanpa adanya AMDAL tentang pemotongan sungai alami dan pembuatan tanggul yang membuat jebolnya tanggung. Perbuatan itu secara hukum melanggar Pasal 109 UU PPLH. Bunyi selengkapnya Pasal 109 itu adalah “setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 (tiga miliyar rupiah).
Untuk Pemerintah Daerah Kota Samarinda, atau pejabat yang diberi kewenangan menerbitkan ijin lingkungan, dapat dikenai Ppasal 110 UUPPLH yakni ”pejabat pemberi izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan AMDAL atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000 ( tiga miliar rupiah).
Hal ini berkaitan dari status PT SPG yang masih belum jelas dan transparasi soal izin lingkungan yang dilakukan oleh PT SPG di areal tersebut. Dengan ketidakjelasan izin lingkungan dimiliki PT SPG, sebenarnya secara hukum dapat menunjuk siapa pejabat di Kota Samarinda untuk dituntut secara hukum.
Diperlukan tindakan darurat untuk melakukan pertolongan bahwa warga di 6 RT di Palaran segera diatasi, dan menuntut pihak-pihak yang bertanggujawab untuk diajukan ke pengadilan.
Pihak kepolisian diminta tegas menungusut tuntas masalah ini, dan tidak membiarkan masalah ini mengambang seperti meninggalnys 5 bocah di bekas areal pertambangan. Warga Kota Samarinda menunggu penegakan hukum bagi pemilik usaha pertambangan, dan pejabat pemerintah yang bertanggungjawab. Khusus buat Walikota Samarinda, tolong dikeluarkan surat keputusan untuk membebaskan Samarida dari IUP Pertambangan.