Bencana lingkungan telah tertoreh pada segmen geografis Indonesia selama hampir lebih sepuluh (10) tahun terakhir, banyak wilayah di kabupaten/kota termasuk di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), mengalami beraneka rupa problematika lingkungan yang mendukacitakan semua lapisan masyarakat berupa ancaman dan kerusakan lingkungan.
Rilis beberapa media lokal dalam beberapa bulan ini tentang berbagai dampak lingkungan akibat usaha pertambangan yang hampir merata di seluruh Samarinda. Dari banjir lumpur, rusaknya lahan pertanian, tambak ikan, rusaknya jalan, pencemaran limbah.
Data terakhir Samarinda tidak kurang 71 persen wilayahnya telah diberikan kepada usaha pertambangan batubara (Kaltim Post, 11 Juni 2011) dari luas wilayahnya 71.800 Ha. Tentu kondisi ini pada tatanan lingkungan tidak layak atau mengalami beban atas daya dukung lingkungan dan daya tampung yang tidak seimbang. Dengan tercemarnya atau terjadi bencana lingkungan merupakan suatu sinyaleman betapa sakitnya ekosistem kehidupan rakyat.dalam perspektif lingkungan.
Kegiatan pertambangan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, bahkan ada ungkapan “tiada kegiatan pertambangan tanpa kerusakan/pencemaran lingkungan. Pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan akan datang, terlindungnya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Lingkungan hidup yang diartikan luas yaitu tidak hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan ekonomi, sosial budaya. Sedangkan lingkungan secara umum menurut Emil Salim diartikan sebagai tempat yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.
Menurut Munadjat Danusaputra adalah semua benda dan daya serta kondisi termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat d idalam ruangan, dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsunagn hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.
Hubungan timbal balik antara manusia dengan komponen-kompenen alam harus berlangsung dalam batas keseimbangan (Zein, 1985). Apabila hubungan timbal balik tersebut terlaksana tidak seimbang, maka akan mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan fisik, ekonomi, sosial dan budaya.
Krisis ekologis yang melanda Samarinda, seyogyanya menyadarkan semua pihak akan terjadinya macam-macam penyakit yang menggerogoti keberlanjutan hidup setiap anak bangsa ini, bahkan anak cucu kita kelak, baik berupa pencemaran air, udara, tanah, dan kerusakan bentangan alam yang berlansung sedemikian aksesif tanpa tersentuh oleh aparat hukum secara bermakna.
Dalam perspektip teoritis dan yuridis lingkungan mempunyai hak (environmental right) untuk mendapatkan perlindungan hukum. Bagi rakyat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan constitutional right berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dalam Pasal 28H ayat (1) dikemukakan ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ini hak dasar warga negara yang wajib dijamin oleh negara.
Terbit undang-undang lingkungan, dalam upaya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang ada serta memberi jaminan pada warganya. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat dengan PPLH. Secara filosofi memandang bahwa hak lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Ini berarti hakikat paling penting dari UU PPLH yakni penghargaan dan jaminan atas hak lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara.
Dengan penempatan hak dasar atas warga pada tataran filosofi merupakan langkah yang lebih maju dan perubahan signifikan dari UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) yang mengatur pada tingkat pasal. Inilah tuntutan bagi Pemerintah Kota Samarinda untuk memberi jaminan dan tanggung jawabnya terhadap kualitas lingkungan yang baik dan sehat.
Sejarah Hak Asasi Lingkungan
Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) dimulai pada tahun 1974 oleh Rene Cassin dalam perkembangannya memasukkan juga hak atas lingkungan yang sehat dan baik (the right to a healthful and decent environment). Hal ini dilatarbelangkani adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industri) yang sangat merugikan perikehidupan masyarakat.
Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup telah dinyatakan dalam instrumen hak asasi manusia, internasional covenant on economic, social and culture right (ICESCR). Namun pengakuan secara eksplisit hak atas lingkungan hidup yang sehat (right to a healthy environment) dimulai dalam Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio sebagai non binding principle. Dalam berbagai konsitusi di beberapa negara telah memasukan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik dan sudah diakui seperti halnya Konsitusi Afrika Selatan, Korea Selatan, Equador, Hungary, Peru, Portugal dan Philippines.
Indonesia pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui dalam UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudiaan adanya amendemen UUD 1945 pada Pasal 28H ayat (1) serta terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengakuian hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Deklarasi Nasional tentang HAM, di salah satu pasalnya menetapkan bahwa ”setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya ini berhubungan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 28H UUD 1945 mengakui hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini memberi makna bahwa dengan diakui hak lingkungan yang baik dan sehat pada tataran tertinggi konstitusi kita. Diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan melakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, integrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global.
Apabila negara tidak lagi mampu mengelola kualitas lingkungan yang baik dan sehat berarti negara telah gagal menjalankan fungsinya. Meminjam kata-kata Suparto Wijoyo bahwa negara telah melakukan “dosa konstitusional yakni pemenuhan hak rakyat atas lingkungan hidup yan baik dan sehat menjadi tanggung jawab hukum, pemerintah sebagai pengelola lingkungan.
Jaminan negara atas hak lingkungan yang baik dan sehat, seharusnya memberi kesadaran pada pemerintah dalam pengelolaan SDA yang harus mempertimbangkan aspek lingkungan. Ini yang sering dilupakan para pemegang kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah.
Hak atas lingkungan yang baik dan sehat oleh Pemerintah Samarinda sering diabaikan. Jaminan ini yang akan menjadi tanggujawab Pemerintah Kota Samarinda selaku pemegang kebijakaan tertinggi atas lingkungan di kota ini.
Jika pemerintah daerah gagal menyamin hak atas lingkungan yang baik dan sehat, berarti pemerintah daerah telah mengabaikan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi kita. Pada akhirnya kita akan membayangkan suatu saat generasi yang akan datang lahir hanya mewarisi hutan yang telah jadi ilalang dan hanya berupa kubangan sumur-sumur besar bekas pertambangan. Ironis, terjadi bencana berupa banjir yang tidak surut-surut, tanah longsor, suhu bumi semakin panas, air tecemar dan bermacam-macam penyakit.
Dengan banyaknya permasalahan lingkungan di Samarinda, seyogyanya pemerintah daerah membuat langkah yang kongrit untuk menjamin hak warga negara. Jangan hanya berpolimik di media dan pada akhirnya kita tidak tahu harus bertanya pada siapa!
Kita belum terlambat untuk menuntut hak lingkungan yang baik dan sehat pada Pemerintah Kota Samarinda. Jangan tunggu bencana benar-benar datang seperti kasus Buyat atau lumbur Lapindo. Membayangkan saja saya bergidik, benar-benar mengerikan bencana ekologi yang kita dapat.
Sebenarnya bencana bukan takdir, tetapi dibuat manusia itu sendiri, yakni pemegang kebijakan yang tidak peka lingkungan. Pemeritah Kota Samarinda, DPRD setempat telah lalai. Mari tegakkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat di negeri ini.