Koran Kaltim Post, 27 Juli 2011 memberitakan Walikota Samarinda Jaang bilang “silakan pidanakan terkait IUP yang disebabkan bencana lingkungan”. Pernyataan ini sangat manarik untuk dicermati dari kaca mata hukum lingkungan.
Samarinda sebagai kota tambang dengan jumlah IUP 76 dengan luas wilayahnya 71.800 dan hanya 27 persen yang tersisa bagi warganya serta peruntukannya lainnya. Saya bilang kota ini sedang sakit, dan warganya menuai bencana akibat IUP yang diobral murah tanpa memperhitungankan nilai-nilai daya dukung lingkungan. Filosofi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) telah dicederai oleh pejabat Kota Samarinda. Hak lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Indonesia Tahun 1945 telah diabaikan.
Eforuria otonomi akibat UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah membawa konsekwensi dan semangat otonomi daerah kota ini untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan segala bidang dengan dalih menggali potensi PAD dan meningkatkan kesejahteraan warganya. Yang dilakukan pejabat disini dengan menjadikan IUP menjadi barang dagangan yang laku dipasaran. Semua kalangan, birokrat, politisi, pengusaha, dan warga terlena pesta emas hitam.
IUP yang digadang-gadang dan simbul kejayaan kota ini, ternyata tidak diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pesta emas hitam selama 10 tahun telah membawa suatu petaka lingkungan di semua kehidupan warga kota ini. Perubahan yang signifikan seperti dampak lingkungan telah menggoyang hubungan dan kewenangan antar pemerintah daerah terkait IUP dalam hal ini termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berujung bencana lingkungan.
Pertanyaannya bisakan pejabat sekelas walikota akan masuk penjara karena tidak bisa melakukan upaya perlindungan terhadap kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup dengan IUP tersebut? Artinya perlu dikaji tentang bagaimana UUPPLH bisa membuat pejabat dituntut di pengadilan? Masalah dampak pertambangan sudah menjadi konsumsi publik yang tidak ada tindakan hukumnya.
Kalau mau jujur, masalah IUP bukan pada pejabatnya, masalahnya bagaimana penegak hukum berani menegakan UUPPLH. Polisi, jaksa dan hakim seharusnya konsisten menindak orang yang melanggar aturan UUPPLH tersebut.
Sudah jelas aturannya dalam Ketentuan pidana Pasal 97 -119 PPLH , ada 2 pasal yang bisa dicermati tentang “pejabat” yang bisa dikenakan tindak pidana, termasuk dalam hal walikota Samarinda. Pada Pasal 111 UUPPLH, menyebutkan
1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Kemudian Pasal 112 menyebutkan bahwa ”Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dari 2 (dua) pasal di atas, jelas bahwa Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL, ini mengarah pada Pasal 37 ayat UUPLH, yang menyebutkan bahwa, “ Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. Ini bahwa yang memberi izin lingkungan adalah Walikota untuk tingkat kota.
Jadi sebenarnya, penegakan hukum sudah bisa membuat tindakan hukum dari dari 76 IUP yang ada di Kota Samarinda, dengan langka pertama menginditifikasi perusahaan yang memiliki IUP yang tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.
Kemudian pada ayat 2 juga sama Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan, ini mengarah pada Pasal 40 ayat (1), yakni “zin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan”. Jadi tidak alasan polisi untuk melakukan tindakan dalam kasus IUP di Samarinda.
Pasal 112, ini bisa dijadikan momen penting dalam upaya penegakan hukum sebenarnya di Kota Samarinda, dalam ini ketentuan pidana dalam UUPPLH. Polisi bisa mempidanakan pejabat Kota Samarinda dengan alibi dan bukti nyata dengan meninggalnya 3 (tiga) bocah dalam bekas lubang sumur batubara.
Pak Polisi sudah banyak kasus lingkungan di kota ini, selamanya tidak mendapat tindakan tegas. Terbaru kasus di Kebon Agung dan Talangsari Lempake, Samarinda Utara yang disinyalir akibat kegiatan tambang CV 77, warga setempat berunjuk rasa karena daerah banjir dan menutup akses houling (Jatam, 27 juli 2011).
Jadi permasalahnya pada penegak hukum kita, polisi yang terhormat dikota ini, polisi yang tidak mau bertindak, polisi yang lalai menegakan Pasal 111 dan 112 UUPPLH. Jadi akan jadi mimpi di siang bolong pejabat dipidanakan.
Harapan saya, menutut pada lembaga kepolisian tentang citra dan kredibilitasnya dalam menegakkan UUPPLH. Seharusnya tanpa padang bulu dalam penegakan hukum lingkungan, tindakan pejabat jelas melanggar Pasal 111, dan Pasal 112 UUPLH.
Dibutuhkan keberanian polisi memeriksa orang nomer satu di Samarinda akibat IUP yang menyebabkan bencana lingkungan. Pekerjaan rumah polisi yang sebenarnya ditunggu warga kota ini adalah mempidanakan pejabat.
Samarinda sebagai kota tambang dengan jumlah IUP 76 dengan luas wilayahnya 71.800 dan hanya 27 persen yang tersisa bagi warganya serta peruntukannya lainnya. Saya bilang kota ini sedang sakit, dan warganya menuai bencana akibat IUP yang diobral murah tanpa memperhitungankan nilai-nilai daya dukung lingkungan. Filosofi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) telah dicederai oleh pejabat Kota Samarinda. Hak lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Indonesia Tahun 1945 telah diabaikan.
Eforuria otonomi akibat UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah membawa konsekwensi dan semangat otonomi daerah kota ini untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan segala bidang dengan dalih menggali potensi PAD dan meningkatkan kesejahteraan warganya. Yang dilakukan pejabat disini dengan menjadikan IUP menjadi barang dagangan yang laku dipasaran. Semua kalangan, birokrat, politisi, pengusaha, dan warga terlena pesta emas hitam.
IUP yang digadang-gadang dan simbul kejayaan kota ini, ternyata tidak diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pesta emas hitam selama 10 tahun telah membawa suatu petaka lingkungan di semua kehidupan warga kota ini. Perubahan yang signifikan seperti dampak lingkungan telah menggoyang hubungan dan kewenangan antar pemerintah daerah terkait IUP dalam hal ini termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berujung bencana lingkungan.
Pertanyaannya bisakan pejabat sekelas walikota akan masuk penjara karena tidak bisa melakukan upaya perlindungan terhadap kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup dengan IUP tersebut? Artinya perlu dikaji tentang bagaimana UUPPLH bisa membuat pejabat dituntut di pengadilan? Masalah dampak pertambangan sudah menjadi konsumsi publik yang tidak ada tindakan hukumnya.
Kalau mau jujur, masalah IUP bukan pada pejabatnya, masalahnya bagaimana penegak hukum berani menegakan UUPPLH. Polisi, jaksa dan hakim seharusnya konsisten menindak orang yang melanggar aturan UUPPLH tersebut.
Sudah jelas aturannya dalam Ketentuan pidana Pasal 97 -119 PPLH , ada 2 pasal yang bisa dicermati tentang “pejabat” yang bisa dikenakan tindak pidana, termasuk dalam hal walikota Samarinda. Pada Pasal 111 UUPPLH, menyebutkan
1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Kemudian Pasal 112 menyebutkan bahwa ”Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dari 2 (dua) pasal di atas, jelas bahwa Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL, ini mengarah pada Pasal 37 ayat UUPLH, yang menyebutkan bahwa, “ Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. Ini bahwa yang memberi izin lingkungan adalah Walikota untuk tingkat kota.
Jadi sebenarnya, penegakan hukum sudah bisa membuat tindakan hukum dari dari 76 IUP yang ada di Kota Samarinda, dengan langka pertama menginditifikasi perusahaan yang memiliki IUP yang tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.
Kemudian pada ayat 2 juga sama Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan, ini mengarah pada Pasal 40 ayat (1), yakni “zin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan”. Jadi tidak alasan polisi untuk melakukan tindakan dalam kasus IUP di Samarinda.
Pasal 112, ini bisa dijadikan momen penting dalam upaya penegakan hukum sebenarnya di Kota Samarinda, dalam ini ketentuan pidana dalam UUPPLH. Polisi bisa mempidanakan pejabat Kota Samarinda dengan alibi dan bukti nyata dengan meninggalnya 3 (tiga) bocah dalam bekas lubang sumur batubara.
Pak Polisi sudah banyak kasus lingkungan di kota ini, selamanya tidak mendapat tindakan tegas. Terbaru kasus di Kebon Agung dan Talangsari Lempake, Samarinda Utara yang disinyalir akibat kegiatan tambang CV 77, warga setempat berunjuk rasa karena daerah banjir dan menutup akses houling (Jatam, 27 juli 2011).
Jadi permasalahnya pada penegak hukum kita, polisi yang terhormat dikota ini, polisi yang tidak mau bertindak, polisi yang lalai menegakan Pasal 111 dan 112 UUPPLH. Jadi akan jadi mimpi di siang bolong pejabat dipidanakan.
Harapan saya, menutut pada lembaga kepolisian tentang citra dan kredibilitasnya dalam menegakkan UUPPLH. Seharusnya tanpa padang bulu dalam penegakan hukum lingkungan, tindakan pejabat jelas melanggar Pasal 111, dan Pasal 112 UUPLH.
Dibutuhkan keberanian polisi memeriksa orang nomer satu di Samarinda akibat IUP yang menyebabkan bencana lingkungan. Pekerjaan rumah polisi yang sebenarnya ditunggu warga kota ini adalah mempidanakan pejabat.