Dalam beberapa minggu ini, semua media lokal memuat dampak dari usaha pertambangan yang hampir merata di seluruh Kota Samarinda. Dari banjir lumpur, rusaknya lahan pertanian, tambak ikan, rusaknya jalan, pencemaran limbah. Kota ini sedang berduka, sakit ditengah gemerlap pesta emas hitam.
Usaha pertambangan digadang-gadang melebihi apapun disini, semua dilanggar , baik rencana tata ruang, hutan kota, lahan pertanian, pemukiman warga, fasilitas umum dan lain-lain. Semua untuk tambang batubara, sehingga kota ini pantas disebut sebagai Kota Tambang Batubara. Bagaimana tidak Kota Samarinda tidak kurang 71 Persen wilayahnya telah diberikan kepada tambang batubara (Kaltim Post , 11 Juni 2011) dari luas wilayahnya 71.800 Ha.
Usaha pertambangan digadang-gadang melebihi apapun disini, semua dilanggar , baik rencana tata ruang, hutan kota, lahan pertanian, pemukiman warga, fasilitas umum dan lain-lain. Semua untuk tambang batubara, sehingga kota ini pantas disebut sebagai Kota Tambang Batubara. Bagaimana tidak Kota Samarinda tidak kurang 71 Persen wilayahnya telah diberikan kepada tambang batubara (Kaltim Post , 11 Juni 2011) dari luas wilayahnya 71.800 Ha.
Aktivitas usaha pertambangan batabara, memiliki 2 (dua) sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus menimbulkan daya perusak lingkungan yang potensial. Pengembangan usaha pertambangan di Kota Samarinda berkembang dengan pesat sejak diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan otonomi yang luas dan sistem desentralisasi yang dimiliki, ada beberapa urusan pemerintahan di bidang pertambangan umum (terbitnya PP No. 75 Tahun 2001) bupati/walikota berwenang menerbitkan Ijin Kuasa Pertambangan (IKP). Inilah awal pesta tambang batubara dimulai, dengan mengatasnamakan PAD dan desentralisasi dengan memaksimalkan potensi daerah.
Izin usaha pertambangan,diobral, dan dijual murah, semua boleh menambang. Pesta Izin tambang batubara dimulai pertama pada tahun 2001 dengan luasan 87,52 ha. Kemudian naik pada tahun 2005, tercatat 38 izin dengan luas 20.323, 1 ha, dan tahun 2009 sudah tercatat 76 IUP dengan luasan mencapai 27.555,66 ha (Jatam, 2011). Luar biasa, siapapun pejabat public dari Jakarta yang datang, hanya bisa menghujat, tanpa bertindak, apapun tentang kerusakan lingkungan Kota Samarinda yang sudah melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan.akibat tambang .
Dengan luasan yang diberikan terhadap usaha pertambangan batubara, berapa rupiah yang didapat oleh pemerintah daerah? Ini pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Sebagai bahan perbandingan, untuk menjadi renungan kita semua warga kota, bahwa Pemerintah Daerah Kota Samarinda melalui Perda No. 20 Tahun 2000 jo Perda No. 20 Tahun 2003 tentang Ketentuan Penguasahaan Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kota Samarinda, terdapat 3 macam pungutan yaitu retribusi perizinan, eksploitasi dan eksploitasi, pungutan pengembangan kota dan restribusi pengangkutan.
Dalam Pasal 23 Perda No. 20 Tahun 2000 disebutkan:
(1) Retribusi sebagaimana dimaksud pasal 21 ayat (2) adalah restribusi perijinan eksplorasi sebesar Rp.10.000- (sepuluh ribu rupiah) serta setiap hektar dan pada saat peningkatan perijinan eksploitasi dikenakan biaya sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu) setiap hektar;
(2) Batubara yang diangkut melintas Sungai Mahakam dalam wilayah Kota Samarinda dipungut retribusi sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) setiap ton.
Sedangkan untuk pungutan lainnya tidak dipungut, karena duplikasi dengan iuran royalti yang ditetapkan pemerintah pusat. Dari pasal diatas sebenarnya betapa murahnya kontribusi yang didapat, dari pada tambang yang ditanggung semua warga kota.
Hal yang menjadi penting dan krusial, dengan wilayah yang 71% di kepungan IUP, berapa PAD yang selama ini didapat Kota Samarinda. Sebagai contoh Tahun 2008, PAD dari sector tambang batubara sebesar Rp. 399 juta. Ini berarti 4 % dari total PAD Samarinda Rp. 112,5 miliar. Ironis jika melihat biaya pembangunan proyek penanggulan banjir menghabiskan biaya sebesar Rp. 38 milyar rupiah per polder. Banjir terjadi karena semua wilayah dikepung usaha pertambangan. Sedangkan untuk mengatasi banjir butuh lebih 10 folder.
Dari Sidak Menteri Lingkungan Hidup Gusti M.Hatta, sepekan yang lalu, terungkap Pemegang IUP di Kota Samarinda banyak yang melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun jangan berharap dilakukan penegakan hukum dari UU PPLH tersebut oleh Kementerian Lingkungan Hidup. UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH sudah 3 tahun diterbitkan, namun penegakan hukumnya hanya menyentuh pertambangan golongan C (batu permata, pasir kuarsa, marmer, granit, tanah liat, dan pasir) yang diberi sanksi.
Untuk golongan A (minyak bumi, gas alam, aspal, batubaa, nikel, timah putih,d an uranium) dan golongan B (besi, bauksit, tembaga, seng, emas, paltina, perak, dan intan), belum ada yang diberi sanksi, ini yang diungkapkan oleh Cicilia Sulastri ( Assiten Deputi Kementerian Lingkungan Hidup). Hal ini disebabkan akibat kurangnya komitmen kementerian sektoral dan pemerintah daerah, serta kurangnya pemahaman dan komitemen penegak hukum (kompas, 7 Juni 2011).
Jadi sebenarnya di level kementerian sudah bermasalah, karena belum sinkron antara KLH, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum. Sehingga pada tingkat pemerintah daerah juga sama.
Jadi benar kata pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” itulah kondisi di Kota Samarinda yang malang. Karena KLH tidak punya sikap tegas atas penegakan hukum UUPPLH, jadi disini pejabat pemerintah daerah semua hanya bisa berbicara, dari BLHD, Distamben, Walikota, dan Pansus Tambang DPRD untuk revisi Perda pertambangan yang cuma sibuk hearing.
Semua tidak ada tindakan tegas, jadi saya mulai sependapat dengan ungkapan Pak Menteri Kehutanan saat memberi Kuliah Umum di Unmul kemarin, bahwa “ tidak ada sanksi yang tegas dalam usaha pertambangan di Kota Samarinda, karena yang punya IUP itu pejabat/mantan tim sukses walikota.
Ke depan ditunggu sikap Walikota Samarinda untuk berani mengeluarkan Surat Keputusan tidak ada lagi IUP di Kota Samarinda sampai kapan pun. Contohlah sikap tegas Walikota Balikpapan dan Kabupaten Manggarai. Jangan hanya bicara di media, warga kota menunggu bukti berupa tindakan nyata.
Izin usaha pertambangan,diobral, dan dijual murah, semua boleh menambang. Pesta Izin tambang batubara dimulai pertama pada tahun 2001 dengan luasan 87,52 ha. Kemudian naik pada tahun 2005, tercatat 38 izin dengan luas 20.323, 1 ha, dan tahun 2009 sudah tercatat 76 IUP dengan luasan mencapai 27.555,66 ha (Jatam, 2011). Luar biasa, siapapun pejabat public dari Jakarta yang datang, hanya bisa menghujat, tanpa bertindak, apapun tentang kerusakan lingkungan Kota Samarinda yang sudah melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan.akibat tambang .
Dengan luasan yang diberikan terhadap usaha pertambangan batubara, berapa rupiah yang didapat oleh pemerintah daerah? Ini pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Sebagai bahan perbandingan, untuk menjadi renungan kita semua warga kota, bahwa Pemerintah Daerah Kota Samarinda melalui Perda No. 20 Tahun 2000 jo Perda No. 20 Tahun 2003 tentang Ketentuan Penguasahaan Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kota Samarinda, terdapat 3 macam pungutan yaitu retribusi perizinan, eksploitasi dan eksploitasi, pungutan pengembangan kota dan restribusi pengangkutan.
Dalam Pasal 23 Perda No. 20 Tahun 2000 disebutkan:
(1) Retribusi sebagaimana dimaksud pasal 21 ayat (2) adalah restribusi perijinan eksplorasi sebesar Rp.10.000- (sepuluh ribu rupiah) serta setiap hektar dan pada saat peningkatan perijinan eksploitasi dikenakan biaya sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu) setiap hektar;
(2) Batubara yang diangkut melintas Sungai Mahakam dalam wilayah Kota Samarinda dipungut retribusi sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) setiap ton.
Sedangkan untuk pungutan lainnya tidak dipungut, karena duplikasi dengan iuran royalti yang ditetapkan pemerintah pusat. Dari pasal diatas sebenarnya betapa murahnya kontribusi yang didapat, dari pada tambang yang ditanggung semua warga kota.
Hal yang menjadi penting dan krusial, dengan wilayah yang 71% di kepungan IUP, berapa PAD yang selama ini didapat Kota Samarinda. Sebagai contoh Tahun 2008, PAD dari sector tambang batubara sebesar Rp. 399 juta. Ini berarti 4 % dari total PAD Samarinda Rp. 112,5 miliar. Ironis jika melihat biaya pembangunan proyek penanggulan banjir menghabiskan biaya sebesar Rp. 38 milyar rupiah per polder. Banjir terjadi karena semua wilayah dikepung usaha pertambangan. Sedangkan untuk mengatasi banjir butuh lebih 10 folder.
Dari Sidak Menteri Lingkungan Hidup Gusti M.Hatta, sepekan yang lalu, terungkap Pemegang IUP di Kota Samarinda banyak yang melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun jangan berharap dilakukan penegakan hukum dari UU PPLH tersebut oleh Kementerian Lingkungan Hidup. UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH sudah 3 tahun diterbitkan, namun penegakan hukumnya hanya menyentuh pertambangan golongan C (batu permata, pasir kuarsa, marmer, granit, tanah liat, dan pasir) yang diberi sanksi.
Untuk golongan A (minyak bumi, gas alam, aspal, batubaa, nikel, timah putih,d an uranium) dan golongan B (besi, bauksit, tembaga, seng, emas, paltina, perak, dan intan), belum ada yang diberi sanksi, ini yang diungkapkan oleh Cicilia Sulastri ( Assiten Deputi Kementerian Lingkungan Hidup). Hal ini disebabkan akibat kurangnya komitmen kementerian sektoral dan pemerintah daerah, serta kurangnya pemahaman dan komitemen penegak hukum (kompas, 7 Juni 2011).
Jadi sebenarnya di level kementerian sudah bermasalah, karena belum sinkron antara KLH, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum. Sehingga pada tingkat pemerintah daerah juga sama.
Jadi benar kata pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” itulah kondisi di Kota Samarinda yang malang. Karena KLH tidak punya sikap tegas atas penegakan hukum UUPPLH, jadi disini pejabat pemerintah daerah semua hanya bisa berbicara, dari BLHD, Distamben, Walikota, dan Pansus Tambang DPRD untuk revisi Perda pertambangan yang cuma sibuk hearing.
Semua tidak ada tindakan tegas, jadi saya mulai sependapat dengan ungkapan Pak Menteri Kehutanan saat memberi Kuliah Umum di Unmul kemarin, bahwa “ tidak ada sanksi yang tegas dalam usaha pertambangan di Kota Samarinda, karena yang punya IUP itu pejabat/mantan tim sukses walikota.
Ke depan ditunggu sikap Walikota Samarinda untuk berani mengeluarkan Surat Keputusan tidak ada lagi IUP di Kota Samarinda sampai kapan pun. Contohlah sikap tegas Walikota Balikpapan dan Kabupaten Manggarai. Jangan hanya bicara di media, warga kota menunggu bukti berupa tindakan nyata.

