Legal Opini : Rencana Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) di Kabupaten Kutim, Ancaman bagi Lingkungan Hidup di Pulau Terkecil

Kasus Posisi

PT emas jaya rahayu dan East kutai regeny berencana untuk melakukan mengembangkan pulau terpencil di Kutai Timur , yakni area miang besar sebagai terminar batubara yang terbuka untuk umum dengan membangun fasilitas-fasiltas penunjang . Pada dasarnya proyek itu dibangun untuk dapat bisa melayani perusahaan-perusahaan batubara yang ada di Kutai Timur dan daerah lainnya dikalimantan.

Proyek ini dinamakan dengan Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), ini dirancang untuk melayani perusahaan batubara untuk kapasitas 270.000 ton sampai 1 juta ton. Untuk Pelabuhan akan mempunyai kapasitas pengiriman 40-60 ton pertahun.

Pulau miang besar, dari analisa yang ada mempunyai kedalaman mencapai 30 meter dengan jarak 250 meter dari garis pantai, merupakan lokasi yang strategis dalam pengembangan terminal bongkar muat batubara dikawasan itu. pulau ini mempunyai kedalaman alur rata-rata kurang lebih 35 menit untuk mencapai lokasi pelabuhan, sehingga kapal-kapal pengirim batubara diperkirakan tidak akan kandas dan jaraknya tidak terlalu jauh.

Rencana terminal bongkar muat batubara dipulau miang besar sudah dilakukan design awal, tinggal suryei lebih lanjut untuk penyempurnaan design akhir, jika ini sudah mendapat persetujuan dari pemerintah.

Dari suryai hidrografi dan lokasi perencanaan dan areal bongkar muat tongkang batubara dengan menitikberatkan diupayakan tidak berakhibat terumbu karang, hal ini untuk menghindari kerusakan pada lokasi tersebut .

Topofragi dan Perencanaan awal diperoleh dari data bakosurtanal, untuk ini akan dimastikannya. Jika sudah ada persetujaun dari pemerintah, maka akan dilakukan pengoboran pada daratan dan lepas pantai untuk meletakan pondasi daratan.

Isu Hukum

Apakah Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) di Kutim sesuai dengan pengelolaan pulau kecil pada UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau –Pulau Kecil?

Fakta Hukum

1. PT emas jaya rahayu dan East kutai regeny berencana untuk melakukan mengembangkan pulau terpencil di Kutai Timur , yakni Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) di Kutim, sebagai area miang besar sebagai terminar batubara;

2. Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), ini dirancang untuk melayani perusahaan batubara untuk kapasitas 270.000 ton sampai 1 juta ton. Untuk Pelabuhan akan mempunyai kapasitas pengiriman 40-60 ton pertahun;

3. Sudah dilakukan design awal, tingal survey menunggu ijin dari pemerintah, kemudian akan dilakukan pengoboran pada daratan dan lepas pantai untuk meletakan pondasi daratan;

Konsep Hukum.

Menurut filosofi UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wialyah Negara, Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya dan kewenangan tertentu lainnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Bahwa wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem:

a. pengaturan suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;

b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar - besarnya kemakmuran rakyat;

c. desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

d. kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..

Berdasarkan Konvensi hokum laut PBB, 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) sebut UNCLOS 1982, dan ratifikasi dengan UU No,17 Tahun 1985. Indonesia merupakan Negara kepuluan dengan kedaulatan dan laut perairan yang terdiri atas perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial , bersifat dinamis dan memiliki kekayaan SDA yang akan penting bagi perekonomian dan pembangunan.

UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bahwa secara filosofi merupakan bagian dari SDA yang diberikan Tuhan Yang maha Esa dan dikuasai oleh negqra, perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecial, memiliki keragaman potensi SDA yang tingggi= dan sangat penting dlam pengembangan social ekonomi, budyaa dan lingkungan , penyangga kedaulatan rakyat, sehingga perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan nusantara . Menurut pasal 1 UU No.27 Tahun 2007, antara lain:

1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

2. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

3. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.

4. Rencana Aksi adalah tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan.

5. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu;

6. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya;

7. Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

8. Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

9. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.

10. Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.

11. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.



Konsep interrated coastal management merupakan pedoman dalam pengaturan pemanfaaatn dan pengelolaan SDA diwilayah pesisir dengan memperhatikan lingkungan, implemntasi dilakukan sebagai upaya mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumber daya diwilayah pesisir.

Analisis Hukum

1. Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) di Kutim, Menurut UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau –Pulau Kecil



UU N0.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil disebut kemudian dengan PWP-PK, merupakan dasar bagi pengaturan pengelolaan wilayah pesisir. Peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir sebagain besar bersifat sektor yang mengatur sector-sektor pembangunan tertentu, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat dikaitkan dengan pengelolaan pesisir. UU PWP-PK terdiri atas norma-norma pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan , pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam perundang-undangan lainnya. Pasal 6 UU PWP-PK, disebutkan bahwa,

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilakukan dengan cara engintegrasikan kegiatan:
a.antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b.antar-Pemerintah Daerah;
c.antarsektor;
d.antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;
e.antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan
f. antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen

Hal in sesuai dengan dengan perubahan pembangunan yang bersifat sentralistik menjadi desentralisasi berdasar UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, berdampak terhadap wewenang pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Pasal18 ayat 1 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, disebutkan pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumberdaya diwilayah laut. Selanjutnya pada ayat 3 disebutkan bahwa, Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;

b.pengaturan administratif;

c. pengaturan tata ruang;

d.penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;

e.ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.



Menurut Rohhmin Dahuri, pengelolaan pesisir melibatakan dua atau lebih ekosistem SDA dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (intergrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dengan memperhatikan penataan ruang yang terintegrasi antara wilayah satu dengan wilayah yang lain dan memadukan antara pendekatan adminitrasi dan ekologis.



Hal ini juga berkaitan dengan Pasal 6 ayat 3 UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa “wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.



Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), ini dirancang untuk melayani perusahaan batubara untuk kapasitas 270.000 ton sampai 1 juta ton. Untuk Pelabuhan akan mempunyai kapasitas pengiriman 40-60 ton pertahun, tentu dikwatirkan akan memberi dampak besar terhadap pengelolaan pulau kecil, tersebut, khususnya lingkungan hidup. Menurut pasal 4 UU PWP-PK, disebut tujuan pengelolaan PWP-PK adalah :

a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;

b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan

d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.



Dalam pengelolaan PWP-PK, ada pemanfaatan yang diberikan dengan hak pengusahaan perairan pesisir atau HP-3, dengan berwajiban untuk mempertimbangkan kepentinagh kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil masayarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.



Menurut pasal 21 UU PWP-PK, menyebutkan bahwa HP3 harus memenuhi persyarata antara lain:

(1)Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis, administratif, dan operasional.

(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

b. hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya; serta

c. pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyediaan dokumen administratif;

b. penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan daya dukung ekosistem;

c. pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan hasilnya kepada pemberi HP-3; serta

d. dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah.

(4) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk:

a. memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan;

b. mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal;

c. memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta

d. melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.

(5) Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai dengan salah satu alasan di bawah ini:

a. terdapat ancaman yang serius terhadap kelestarian Wilayah Pesisir;
b.tidak didukung bukti ilmiah; atau
c. kerusakan yang diperkirakan terjadi tidak dapat dipulihkan.

(6) Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengumuman secara terbuka.



Hal lain yang perlu diingat, bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya untuk salah satu atau lebih kepentingan berikuti:

a.konservasi;
b.pendidikan dan pelatihan;
c.penelitian dan pengembangan;
d.budidaya laut;
e.pariwisata;
f.usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari,
g.pertanian organik; dan/atau
h. peternakan.



Perkecualian untuk untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya wajib:

a. memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b. memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
c. menggunakan teknologi yang ramah lingkunga

Dalam pasal 35 UU PWK-PK, ada larangan Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:

a. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang;

b. mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;

c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;

d. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;

e. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

f. melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

g. menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;

h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;

i. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;

j. melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;

k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta

l. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.



Untuk kewenangan, dalam pasal 50 ayat 3 PWK-PK, disebutan Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. Kemudian dalam pengelolaan dikabupaten/kota dilaksanakan secara terpadu yang terkoordinasi oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan. Jenis kegiatan yang dikoordinasikan diantara lainnya:

a. penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;

b. perencanaan antarinstansi, dunia usaha, dan masyarakat;
c. program akreditasi skala kabupaten/kota;

c. rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta

d. penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala kabupaten/kota



Rencana PT emas jaya rahayu dan East kutai regeny mengembangkan pulau terpencil di Kutai Timur sebagai area miang besar untuk terminar batubara yang terbuka dengan Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), apakah sudah melakukan memberi hak masyarakat seperti yang diamanatkan dalam pasal 60 UU PKW-PK yakni :

a. memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP3;

b. memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

d. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

e. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

f. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

g. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;

h. melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;

i. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta memperoleh ganti rugi.

Kemudian apakah Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), yang sudah melakukan design awal, tinggal suryei lebih lanjut menunggu ijin sudah melibatkan masyarakat. Dalam pasal 61 UU PKW-PK , pengakuan hak terhadap hak-hak masayarakat yakni:

a. Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.

b. Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan.

Untuk ketentuan pidana dalam UU PKW-PK , Jika Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), akan dilanjutakan, akan terkena ketentuan pidana dalam pasal 73 , yakni:

1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja:

a. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;

b. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g;

c. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h;

d. melakukan penambangan pasir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf i.

e. melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf j.

f. melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k.

g. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf l.

h. tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diakibatkan oleh alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan timbulnya bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1).

(2) Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
asal 74

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:

a. tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan/atau

b. tidak melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
Pasal 75

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:

a. melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21ayat (1); dan/atau

b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).

Satu hal bahwa Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), ini dalam PP No. 78 tahun 2005 tentang Pulau-pulau kecil terluar, pada pasal 5 disebutkan:

(1) pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara pemerintah dan pemerintah daerah;

(2) pengelolaan sebagaimanan dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang-bidang:

a. sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

b. infrastruktur dan perhubungan;

c. pembinaan wilayah;

d. pertahanan dan keamanan;

e. ekonomi ,social dan budaya.

Rencana Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), dalam hal ini untuk kesejateraan, namun apakah nilai yang terkandung dalam proyek akan lebih menghancuran lingkungan Kaltim, khususnya Kabupaten Kutim, kedepan.

Bisa diprediksi bahwa, pesta emas hitam akan terus berlangsung, dan lingkungan hanya jadi bagian dari dokumen wajib bahkan cendurung diabaikan. Untuk itu sekali lagi bijak untuk memandang semua proses pembangun, dan berupay melindungi generasi yang akan datang akan memberi nilai-nilai penghargaan yang tinggi terhadap lingkugan . Jangan hanya biarkan berdalih proyek ini akan memberi nilai ekonomi, pada dasarnya upaya terselubung untuk mengeruk habis emas hitam dibumi etam.

Kesimpulan


Pemerintah daerah Kabupaten Kutim, harus bijak dan berpikir untuk generasi yang akan datang soal rencana Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), dampak lingkungan yang ditanggung seumur hidup warga masyarakt Kutim. Sudah seharusnya kita semua menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam pengelolaan pulau-pulau secara wawasan nusantara, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat.

Saran

Stop rencana Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) demi generasi yang akan datang Kutim…
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.