demappuji.blogspot.com |
Ruang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, juga termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhuluk hidup melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Yang pada dasarnya itu ketersediaanya tidak terbatas. Semua factor itu berhubungan dalam mewujudkan ruang nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Kondisi penataan ruang dalam suatu propinsi/kabupaten/kota suatu daerah tersebut tertuang dalam dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi. Dengan kata lain, RTRW sebagai bagian terjemahan visi, misi daerah yang dipresentasikan dalam bentuk pola dan struktur pemanfaatan ruang.
Landasan hukum penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu pada Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.26 Tahun 2006, yang dimaksud dengan ruang adalah:
“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.”
D.A.Tisnaamidjaja, menjelaskan pengertian ruang adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak”.
Dalam peningkatan kualitas hidup dan peningkan kesejahteraan, seharusnya ada harmonisasi dalam pengaturan dan perlindungan terhadap sumber daya alam yang dimiliki daerah. Era otonomi daerah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, memberi banyak perubahan didaerah, dalam hal ini pemekaran pengembangan wilayah, tidak kecuali propinsi Kaltim. Kaltim mengalami perkembangan signifikan dalam pemekaran wilayah, sampai tahun 2010 sudah ada 14 Kabupaten/Kota. Rencana yang belum terwujud sampai sekarang adalah pembentukan propinsi Kaltara
Perkembangan wilayah daerah, tentu harus diimbangi dengan penataan ruang daerah kabupaten/kota yang jelas. Ini penting dalam kontek untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat dan jaminan terhadap tata kelola wilayah ada. Dalam hal ini wilayah tata kelola sumber daya alam yang ada didaerah. Menurut Juniarso Ridwan konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 , Pasal 33 (3) UUD 1945 amandemen ke empat.
M. Daud Silalahi salah satu konsep dasar pemikiran tata ruang menurut hukum Indonesia terdapat dalam UUPA No. 5 Tahun 1960. Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA memuat wewenang untuk:
(1)Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
(2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
(3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Konsep tata ruang dalam tiga dimensi tersebut di atas terkait dengan mekanisme kelembagaan dan untuk perencanannya diatur dalam Pasal 14 yang mengatakan:
(1)Pemerintah dalam rangka membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa, dan
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut Pemda mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa.
Selanjutnya, Pasal 15 mengatur tentang pemeliharaan tanah, termasuk mengambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya yang merupakan kewajiban setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah.
Ketentuan tersebut memberikan hak penguasan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kalimat tersebut mengandung makna, negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan rakyat yang dikehendaki.
Sumber alam yang ada dan dimiliki oleh daerah, kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya pun harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan hidup.
Ini masalah krusial, dalam perubahan revisi tata ruang wilayah Kaltim yang belum selesai sampai sekarang. Bagaimana perlindungan sumber daya alam kita berupa, hutan, keanekaragaman hayati, lahan pertanian, terlindungi secar jelas peruntukannya. Secara hukum harus segera diberi perlindungan yang jelas. Jika revisi tata ruang tidak selesai, maka lahan pertanian, hutan, perumahan, semua itu akan berubah menjadi areal pertambangan. Erofuria tambang batubara di Kaltim sudah melebahi kapasitas dan daya dukung lingkungan.
Untuk itu perlu dilakukan upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang propinsi yang bijaksana sebagai kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, menurut Juniarso Ridwan ”melekat di dalam kewajiban Negara, dalam hal ini pemerintah daerah Kaltim untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan. Hal ini sesuai dengan tujuan penataan ruang menurut UU No.26 Tahun 2007 adalah: Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a.terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b.terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c.terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.(Pasal 3)
Secara eksplisit UU No.26 Tahun 2007 ini tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai tata ruang laut. Pasal 6 ayat (5) secara yuridis normatif menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan aspek pengelolaan wilayah laut. dari prespektif kewilayaan dengan diaturnya pengelolaan ruang laut secara tersendiri, maka akan berdampak terhadap wewenang pengelolaan sumber daya di wilayah laut maupun pemanfaatan ruang di wilayah laut baik oleh Pempus maupun leh Pemda (Provinsi dan Kab/Kota).
Prinsip kesatuan wilayah ini secara tegas mendapatkan pengaturannya lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 UU No. 43 Tahun 2008. jika dikaitkan dengan prinsip negara kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25A UUD 1945, maka sesungguhnya UU No. 26 Tahun 2007 tidak mencerminkan hal tersebut..
Dengan demikian dalam harmonisasi penataan ruang di Kaltim, harus ada perlindungan terhadap tata kelola sumber daya alam, sehingga ada jaminan bagi masyarakat terhadap ketersedian kekayaan sumber alam di Kaltim. Jangan semunya ijinkan asal untuk tambang batubara.
Kondisi penataan ruang dalam suatu propinsi/kabupaten/kota suatu daerah tersebut tertuang dalam dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi. Dengan kata lain, RTRW sebagai bagian terjemahan visi, misi daerah yang dipresentasikan dalam bentuk pola dan struktur pemanfaatan ruang.
Landasan hukum penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu pada Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.26 Tahun 2006, yang dimaksud dengan ruang adalah:
“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.”
D.A.Tisnaamidjaja, menjelaskan pengertian ruang adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak”.
Dalam peningkatan kualitas hidup dan peningkan kesejahteraan, seharusnya ada harmonisasi dalam pengaturan dan perlindungan terhadap sumber daya alam yang dimiliki daerah. Era otonomi daerah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, memberi banyak perubahan didaerah, dalam hal ini pemekaran pengembangan wilayah, tidak kecuali propinsi Kaltim. Kaltim mengalami perkembangan signifikan dalam pemekaran wilayah, sampai tahun 2010 sudah ada 14 Kabupaten/Kota. Rencana yang belum terwujud sampai sekarang adalah pembentukan propinsi Kaltara
Perkembangan wilayah daerah, tentu harus diimbangi dengan penataan ruang daerah kabupaten/kota yang jelas. Ini penting dalam kontek untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat dan jaminan terhadap tata kelola wilayah ada. Dalam hal ini wilayah tata kelola sumber daya alam yang ada didaerah. Menurut Juniarso Ridwan konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 , Pasal 33 (3) UUD 1945 amandemen ke empat.
M. Daud Silalahi salah satu konsep dasar pemikiran tata ruang menurut hukum Indonesia terdapat dalam UUPA No. 5 Tahun 1960. Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA memuat wewenang untuk:
(1)Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
(2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
(3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Konsep tata ruang dalam tiga dimensi tersebut di atas terkait dengan mekanisme kelembagaan dan untuk perencanannya diatur dalam Pasal 14 yang mengatakan:
(1)Pemerintah dalam rangka membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa, dan
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut Pemda mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa.
Selanjutnya, Pasal 15 mengatur tentang pemeliharaan tanah, termasuk mengambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya yang merupakan kewajiban setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah.
Ketentuan tersebut memberikan hak penguasan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kalimat tersebut mengandung makna, negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan rakyat yang dikehendaki.
Sumber alam yang ada dan dimiliki oleh daerah, kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya pun harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan hidup.
Ini masalah krusial, dalam perubahan revisi tata ruang wilayah Kaltim yang belum selesai sampai sekarang. Bagaimana perlindungan sumber daya alam kita berupa, hutan, keanekaragaman hayati, lahan pertanian, terlindungi secar jelas peruntukannya. Secara hukum harus segera diberi perlindungan yang jelas. Jika revisi tata ruang tidak selesai, maka lahan pertanian, hutan, perumahan, semua itu akan berubah menjadi areal pertambangan. Erofuria tambang batubara di Kaltim sudah melebahi kapasitas dan daya dukung lingkungan.
Untuk itu perlu dilakukan upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang propinsi yang bijaksana sebagai kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, menurut Juniarso Ridwan ”melekat di dalam kewajiban Negara, dalam hal ini pemerintah daerah Kaltim untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan. Hal ini sesuai dengan tujuan penataan ruang menurut UU No.26 Tahun 2007 adalah: Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a.terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b.terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c.terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.(Pasal 3)
Secara eksplisit UU No.26 Tahun 2007 ini tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai tata ruang laut. Pasal 6 ayat (5) secara yuridis normatif menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan aspek pengelolaan wilayah laut. dari prespektif kewilayaan dengan diaturnya pengelolaan ruang laut secara tersendiri, maka akan berdampak terhadap wewenang pengelolaan sumber daya di wilayah laut maupun pemanfaatan ruang di wilayah laut baik oleh Pempus maupun leh Pemda (Provinsi dan Kab/Kota).
Prinsip kesatuan wilayah ini secara tegas mendapatkan pengaturannya lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 UU No. 43 Tahun 2008. jika dikaitkan dengan prinsip negara kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25A UUD 1945, maka sesungguhnya UU No. 26 Tahun 2007 tidak mencerminkan hal tersebut..
Dengan demikian dalam harmonisasi penataan ruang di Kaltim, harus ada perlindungan terhadap tata kelola sumber daya alam, sehingga ada jaminan bagi masyarakat terhadap ketersedian kekayaan sumber alam di Kaltim. Jangan semunya ijinkan asal untuk tambang batubara.