Indonesia yang kaya akan dengan sumber daya alam, memiliki kawasan suaka alam dan kawasan perlindunagn alam seluas 23.214.626,57 ha, yang sebagian berupa Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan banyak mengabaikan masyarakat local atau adat setempat disekitar kawasan tersebut. Ini kemudian yang memicu konflik kepentingan dalam masalah konservasi .
Perubahan yang cepat pada lingkungan statagis kita selama 20 tahun terakhir, telah menyebabkan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya di Indonesia yang diselenggarakan dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Keanegaraman Alam Hayati dan Ekosistemnya, tidak berjalan secara efektif, oleh karena itu perlu ada pernyempurnaan.
Memperhatikan permasalah di atas, Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN), telah sepakat untuk melakukan kajian perubahan UU No.5 Tahun 1990. Hal yang sudah dilakukan terlebih dahulu dengan menyusun Naskah Akadamik Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanegaragaman Hayati atau disingkat RUU KOHATI. Inilah yang ingin saya analisis dalam kontek akademisi dalam naskah akademik RUU Kohati.
Landasan filosofi
Dalam naska akademik, pada bagian 3, bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Kata-kata sebagai pengamalan Pancasila, menurut saya sebaiknya dihapus dan diganti Indonesia.
Landasan Yuridis.
Untuk landasan yuridus, ada penambahan dasar hokum UU No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal ini sebagai dasar dalam pembentukan dan pembuatan RUU Kohati. UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ini penting untuk mewujudkan keseimbangan, dalam kontek lingkungan hidup terhadap nilai-nilai konservasi.
Landasan Sosial
Saya tidak sepakat dengan penggunaan landasan social seharusnya sosologis, dalam RUU, yang saya pahami ada 3 landasan dalam pembentukan hokum yaitu filosofis, yuridis dan sosologis. Ada pemaknaa yang berbeda dalam kontek social, dalam bahasa hokum.
Kemudian dalan Naskah RUU Kohati, hal-hal yang perlu perhatikan antara lain;
1. RUU Kohati, tidak menyebut konservasi lagi dalam judul RUU ini. Dalam kontek ini, paradigma yang ingin dirubah apakah Kohati sudah mencakup makna konservasi;
2. Kata-kata ’pengawetan dalam penjelasan menimbang, ini menurut ahli konservasi Sutedjo, tidak sesuai seharusnya diganti “ pelestarian”. Kemudian juga…, belakangan ini telah tejadi kecendurangan meningkatnya kerusakan “Lingkungan” sebaiknya diganti “Ekosistem “. Selanjutnya dalam pasal 1 ayat 1, konservasi adalah langkah-langkah,, lebih tepat langkaj tindak atau sekaligus tindakan.
3. Dalam pasal 126 huruf d. “kelompok masyarakat hokum adat,, seharus diberi penjelasan, karena belum ada kepahaman dalam kontek siapa yang dimaksud kelompok masyarakat hokum adat., ini akan jadi pasal karet ( pisah ditafsirkan berbeda), yang tidak jelas seperti dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
4. Pasal 127 angkat 5,, hak-hak masyarakat local….., ini dalam penjelasan cukup jelas.. seharusnya ada dimasukan dalam pengertian pasal 1.
5. Sebelum bab VIII, sebaiknya adanya bab tersendiri tentang pengawasan dan sanksi administratatif. Bagi pejabat baik tingkat pusat dan daerah serta ada sanksinya bagi pejabat yang tidak melakukannya.
6. Bab VIII dalam judul ditambahan penyelesai sengketa… “Konservasi”. Untuk bagian satu, pasal karena dibagian dua pasal 138 ada disebut kata-kata tersebut.
7. Untuk pasal 138 ayat 3, huruf a, b,c, seharusnya dihilangkan, dijadikan satu kalimat.
8. Ada pasal tambahan setelah pasal 138, berkaitan dengan lembaga jaya penyelesian sengketa hidup yang dimaksud dalam pasal 138 ayat 3 huruf c.
9. Adanya penambahan paragraph 2, yaitu yang mengatur “tenggat kedaluwarsa” untuk pengajuan gugutan.. belum membahsas hak gugat.
10. Adanya klausa baru dalam masalah hak gugat, yaitu hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah.
11. Paragraph 2 penyuluhan pasal 151, sebaiknya dihapus, menurut bahasa hokum bermakna ambigu,, dan tidak jelas dalam kontek tidak ada sanksi yang jelas bagi pejabat, ini lebih baik termasuk pengawas seperti yang saya sarankan diatas;
12. Pasal 152, ayat 2 huruf b,, pejabat structural pusat mau daerah, sebaiknya pasal ini dihapus. Akan memberi peluang kewenangan yang tidak jelas bagi pejabat. Juga diperjelas Polisi kawasan konservasi,, atau sebaiknya diganti dipolisi kehutanan.. karena menurut saya uu ini dalam bidang kehutanan.
13. Diatur dalam paragraph dan pasal tersendiri tentang pembuktian;
14. Pasal 154,,, dalam kalimat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.., yang kemudian dijabarkan dalam pasal 155-165, menurut saya akan gugur dalam kontek ini dianggap bertentangan dengan KUHAP .
Setiap perubahan dari RUU Kohati, harus dimaknai dalam rangka memberi suatu perlindungan hokum dan kepastian hokum, yang jelas ini akan memberi semangat baru dalam pengelolaan konsevasi keanegaraman hayati kita . tentu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apapun hasilnya seharusnya DPR RI harus segera melakukan kajian RUU Kohati, karena revisi UU No.5 Tahun 1990 sudah masuk dalam Prolegnas tahun 2009/2011.
Bagi Dewan Kehutanan Nasional, seharusnya RUU Kohati memasukan masalah pertambangan,, yang jelas biang masalah dalam konservasi selama ini, dan kedepan RUU ini memberi kekuatan bagi kementerian kehutanan dalam memberi kepastian hokum dan jaminan terhadap kawasan konservasi, jangan dikalahkan oleh investasi seperti nasibnya UU No.41 Tahun 1999. Indonesia yang kaya akan dengan sumber daya alam, memiliki kawasan suaka alam dan kawasan perlindunagn alam seluas 23.214.626,57 ha, yang sebagian berupa Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan banyak mengabaikan masyarakat local atau adat setempat disekitar kawasan tersebut. Ini kemudian yang memicu konflik kepentingan dalam masalah konservasi .
Perubahan yang cepat pada lingkungan statagis kita selama 20 tahun terakhir, telah menyebabkan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya di Indonesia yang diselenggarakan dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Keanegaraman Alam Hayati dan Ekosistemnya, tidak berjalan secara efektif, oleh karena itu perlu ada pernyempurnaan.
Memperhatikan permasalah di atas, Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN), telah sepakat untuk melakukan kajian perubahan UU No.5 Tahun 1990. Hal yang sudah dilakukan terlebih dahulu dengan menyusun Naskah Akadamik Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanegaragaman Hayati atau disingkat RUU KOHATI. Inilah yang ingin saya analisis dalam kontek akademisi dalam naskah akademik RUU Kohati.
Landasan filosofi
Dalam naska akademik, pada bagian 3, bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Kata-kata sebagai pengamalan Pancasila, menurut saya sebaiknya dihapus dan diganti Indonesia.
Landasan Yuridis.
Untuk landasan yuridus, ada penambahan dasar hokum UU No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal ini sebagai dasar dalam pembentukan dan pembuatan RUU Kohati. UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ini penting untuk mewujudkan keseimbangan, dalam kontek lingkungan hidup terhadap nilai-nilai konservasi.
Landasan Sosial
Saya tidak sepakat dengan penggunaan landasan social seharusnya sosologis, dalam RUU, yang saya pahami ada 3 landasan dalam pembentukan hokum yaitu filosofis, yuridis dan sosologis. Ada pemaknaa yang berbeda dalam kontek social, dalam bahasa hokum.
Kemudian dalan Naskah RUU Kohati, hal-hal yang perlu perhatikan antara lain;
1. RUU Kohati, tidak menyebut konservasi lagi dalam judul RUU ini. Dalam kontek ini, paradigma yang ingin dirubah apakah Kohati sudah mencakup makna konservasi;
2. Kata-kata ’pengawetan dalam penjelasan menimbang, ini menurut ahli konservasi Sutedjo, tidak sesuai seharusnya diganti “ pelestarian”. Kemudian juga…, belakangan ini telah tejadi kecendurangan meningkatnya kerusakan “Lingkungan” sebaiknya diganti “Ekosistem “. Selanjutnya dalam pasal 1 ayat 1, konservasi adalah langkah-langkah,, lebih tepat langkaj tindak atau sekaligus tindakan.
3. Dalam pasal 126 huruf d. “kelompok masyarakat hokum adat,, seharus diberi penjelasan, karena belum ada kepahaman dalam kontek siapa yang dimaksud kelompok masyarakat hokum adat., ini akan jadi pasal karet ( pisah ditafsirkan berbeda), yang tidak jelas seperti dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
4. Pasal 127 angkat 5,, hak-hak masyarakat local….., ini dalam penjelasan cukup jelas.. seharusnya ada dimasukan dalam pengertian pasal 1.
5. Sebelum bab VIII, sebaiknya adanya bab tersendiri tentang pengawasan dan sanksi administratatif. Bagi pejabat baik tingkat pusat dan daerah serta ada sanksinya bagi pejabat yang tidak melakukannya.
6. Bab VIII dalam judul ditambahan penyelesai sengketa… “Konservasi”. Untuk bagian satu, pasal karena dibagian dua pasal 138 ada disebut kata-kata tersebut.
7. Untuk pasal 138 ayat 3, huruf a, b,c, seharusnya dihilangkan, dijadikan satu kalimat.
8. Ada pasal tambahan setelah pasal 138, berkaitan dengan lembaga jaya penyelesian sengketa hidup yang dimaksud dalam pasal 138 ayat 3 huruf c.
9. Adanya penambahan paragraph 2, yaitu yang mengatur “tenggat kedaluwarsa” untuk pengajuan gugutan.. belum membahsas hak gugat.
10. Adanya klausa baru dalam masalah hak gugat, yaitu hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah.
11. Paragraph 2 penyuluhan pasal 151, sebaiknya dihapus, menurut bahasa hokum bermakna ambigu,, dan tidak jelas dalam kontek tidak ada sanksi yang jelas bagi pejabat, ini lebih baik termasuk pengawas seperti yang saya sarankan diatas;
12. Pasal 152, ayat 2 huruf b,, pejabat structural pusat mau daerah, sebaiknya pasal ini dihapus. Akan memberi peluang kewenangan yang tidak jelas bagi pejabat. Juga diperjelas Polisi kawasan konservasi,, atau sebaiknya diganti dipolisi kehutanan.. karena menurut saya uu ini dalam bidang kehutanan.
13. Diatur dalam paragraph dan pasal tersendiri tentang pembuktian;
14. Pasal 154,,, dalam kalimat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.., yang kemudian dijabarkan dalam pasal 155-165, menurut saya akan gugur dalam kontek ini dianggap bertentangan dengan KUHAP .
Setiap perubahan dari RUU Kohati, harus dimaknai dalam rangka memberi suatu perlindungan hokum dan kepastian hokum, yang jelas ini akan memberi semangat baru dalam pengelolaan konsevasi keanegaraman hayati kita . tentu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apapun hasilnya seharusnya DPR RI harus segera melakukan kajian RUU Kohati, karena revisi UU No.5 Tahun 1990 sudah masuk dalam Prolegnas tahun 2009/2011.
Bagi Dewan Kehutanan Nasional, seharusnya RUU Kohati memasukan masalah pertambangan,, yang jelas biang masalah dalam konservasi selama ini, dan kedepan RUU ini memberi kekuatan bagi kementerian kehutanan dalam memberi kepastian hokum dan jaminan terhadap kawasan konservasi, jangan dikalahkan oleh investasi seperti nasibnya UU No.41 Tahun 1999.
Perubahan yang cepat pada lingkungan statagis kita selama 20 tahun terakhir, telah menyebabkan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya di Indonesia yang diselenggarakan dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Keanegaraman Alam Hayati dan Ekosistemnya, tidak berjalan secara efektif, oleh karena itu perlu ada pernyempurnaan.
Memperhatikan permasalah di atas, Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN), telah sepakat untuk melakukan kajian perubahan UU No.5 Tahun 1990. Hal yang sudah dilakukan terlebih dahulu dengan menyusun Naskah Akadamik Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanegaragaman Hayati atau disingkat RUU KOHATI. Inilah yang ingin saya analisis dalam kontek akademisi dalam naskah akademik RUU Kohati.
Landasan filosofi
Dalam naska akademik, pada bagian 3, bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Kata-kata sebagai pengamalan Pancasila, menurut saya sebaiknya dihapus dan diganti Indonesia.
Landasan Yuridis.
Untuk landasan yuridus, ada penambahan dasar hokum UU No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal ini sebagai dasar dalam pembentukan dan pembuatan RUU Kohati. UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ini penting untuk mewujudkan keseimbangan, dalam kontek lingkungan hidup terhadap nilai-nilai konservasi.
Landasan Sosial
Saya tidak sepakat dengan penggunaan landasan social seharusnya sosologis, dalam RUU, yang saya pahami ada 3 landasan dalam pembentukan hokum yaitu filosofis, yuridis dan sosologis. Ada pemaknaa yang berbeda dalam kontek social, dalam bahasa hokum.
Kemudian dalan Naskah RUU Kohati, hal-hal yang perlu perhatikan antara lain;
1. RUU Kohati, tidak menyebut konservasi lagi dalam judul RUU ini. Dalam kontek ini, paradigma yang ingin dirubah apakah Kohati sudah mencakup makna konservasi;
2. Kata-kata ’pengawetan dalam penjelasan menimbang, ini menurut ahli konservasi Sutedjo, tidak sesuai seharusnya diganti “ pelestarian”. Kemudian juga…, belakangan ini telah tejadi kecendurangan meningkatnya kerusakan “Lingkungan” sebaiknya diganti “Ekosistem “. Selanjutnya dalam pasal 1 ayat 1, konservasi adalah langkah-langkah,, lebih tepat langkaj tindak atau sekaligus tindakan.
3. Dalam pasal 126 huruf d. “kelompok masyarakat hokum adat,, seharus diberi penjelasan, karena belum ada kepahaman dalam kontek siapa yang dimaksud kelompok masyarakat hokum adat., ini akan jadi pasal karet ( pisah ditafsirkan berbeda), yang tidak jelas seperti dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
4. Pasal 127 angkat 5,, hak-hak masyarakat local….., ini dalam penjelasan cukup jelas.. seharusnya ada dimasukan dalam pengertian pasal 1.
5. Sebelum bab VIII, sebaiknya adanya bab tersendiri tentang pengawasan dan sanksi administratatif. Bagi pejabat baik tingkat pusat dan daerah serta ada sanksinya bagi pejabat yang tidak melakukannya.
6. Bab VIII dalam judul ditambahan penyelesai sengketa… “Konservasi”. Untuk bagian satu, pasal karena dibagian dua pasal 138 ada disebut kata-kata tersebut.
7. Untuk pasal 138 ayat 3, huruf a, b,c, seharusnya dihilangkan, dijadikan satu kalimat.
8. Ada pasal tambahan setelah pasal 138, berkaitan dengan lembaga jaya penyelesian sengketa hidup yang dimaksud dalam pasal 138 ayat 3 huruf c.
9. Adanya penambahan paragraph 2, yaitu yang mengatur “tenggat kedaluwarsa” untuk pengajuan gugutan.. belum membahsas hak gugat.
10. Adanya klausa baru dalam masalah hak gugat, yaitu hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah.
11. Paragraph 2 penyuluhan pasal 151, sebaiknya dihapus, menurut bahasa hokum bermakna ambigu,, dan tidak jelas dalam kontek tidak ada sanksi yang jelas bagi pejabat, ini lebih baik termasuk pengawas seperti yang saya sarankan diatas;
12. Pasal 152, ayat 2 huruf b,, pejabat structural pusat mau daerah, sebaiknya pasal ini dihapus. Akan memberi peluang kewenangan yang tidak jelas bagi pejabat. Juga diperjelas Polisi kawasan konservasi,, atau sebaiknya diganti dipolisi kehutanan.. karena menurut saya uu ini dalam bidang kehutanan.
13. Diatur dalam paragraph dan pasal tersendiri tentang pembuktian;
14. Pasal 154,,, dalam kalimat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.., yang kemudian dijabarkan dalam pasal 155-165, menurut saya akan gugur dalam kontek ini dianggap bertentangan dengan KUHAP .
Setiap perubahan dari RUU Kohati, harus dimaknai dalam rangka memberi suatu perlindungan hokum dan kepastian hokum, yang jelas ini akan memberi semangat baru dalam pengelolaan konsevasi keanegaraman hayati kita . tentu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apapun hasilnya seharusnya DPR RI harus segera melakukan kajian RUU Kohati, karena revisi UU No.5 Tahun 1990 sudah masuk dalam Prolegnas tahun 2009/2011.
Bagi Dewan Kehutanan Nasional, seharusnya RUU Kohati memasukan masalah pertambangan,, yang jelas biang masalah dalam konservasi selama ini, dan kedepan RUU ini memberi kekuatan bagi kementerian kehutanan dalam memberi kepastian hokum dan jaminan terhadap kawasan konservasi, jangan dikalahkan oleh investasi seperti nasibnya UU No.41 Tahun 1999. Indonesia yang kaya akan dengan sumber daya alam, memiliki kawasan suaka alam dan kawasan perlindunagn alam seluas 23.214.626,57 ha, yang sebagian berupa Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan banyak mengabaikan masyarakat local atau adat setempat disekitar kawasan tersebut. Ini kemudian yang memicu konflik kepentingan dalam masalah konservasi .
Perubahan yang cepat pada lingkungan statagis kita selama 20 tahun terakhir, telah menyebabkan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya di Indonesia yang diselenggarakan dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Keanegaraman Alam Hayati dan Ekosistemnya, tidak berjalan secara efektif, oleh karena itu perlu ada pernyempurnaan.
Memperhatikan permasalah di atas, Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN), telah sepakat untuk melakukan kajian perubahan UU No.5 Tahun 1990. Hal yang sudah dilakukan terlebih dahulu dengan menyusun Naskah Akadamik Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanegaragaman Hayati atau disingkat RUU KOHATI. Inilah yang ingin saya analisis dalam kontek akademisi dalam naskah akademik RUU Kohati.
Landasan filosofi
Dalam naska akademik, pada bagian 3, bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Kata-kata sebagai pengamalan Pancasila, menurut saya sebaiknya dihapus dan diganti Indonesia.
Landasan Yuridis.
Untuk landasan yuridus, ada penambahan dasar hokum UU No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal ini sebagai dasar dalam pembentukan dan pembuatan RUU Kohati. UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ini penting untuk mewujudkan keseimbangan, dalam kontek lingkungan hidup terhadap nilai-nilai konservasi.
Landasan Sosial
Saya tidak sepakat dengan penggunaan landasan social seharusnya sosologis, dalam RUU, yang saya pahami ada 3 landasan dalam pembentukan hokum yaitu filosofis, yuridis dan sosologis. Ada pemaknaa yang berbeda dalam kontek social, dalam bahasa hokum.
Kemudian dalan Naskah RUU Kohati, hal-hal yang perlu perhatikan antara lain;
1. RUU Kohati, tidak menyebut konservasi lagi dalam judul RUU ini. Dalam kontek ini, paradigma yang ingin dirubah apakah Kohati sudah mencakup makna konservasi;
2. Kata-kata ’pengawetan dalam penjelasan menimbang, ini menurut ahli konservasi Sutedjo, tidak sesuai seharusnya diganti “ pelestarian”. Kemudian juga…, belakangan ini telah tejadi kecendurangan meningkatnya kerusakan “Lingkungan” sebaiknya diganti “Ekosistem “. Selanjutnya dalam pasal 1 ayat 1, konservasi adalah langkah-langkah,, lebih tepat langkaj tindak atau sekaligus tindakan.
3. Dalam pasal 126 huruf d. “kelompok masyarakat hokum adat,, seharus diberi penjelasan, karena belum ada kepahaman dalam kontek siapa yang dimaksud kelompok masyarakat hokum adat., ini akan jadi pasal karet ( pisah ditafsirkan berbeda), yang tidak jelas seperti dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
4. Pasal 127 angkat 5,, hak-hak masyarakat local….., ini dalam penjelasan cukup jelas.. seharusnya ada dimasukan dalam pengertian pasal 1.
5. Sebelum bab VIII, sebaiknya adanya bab tersendiri tentang pengawasan dan sanksi administratatif. Bagi pejabat baik tingkat pusat dan daerah serta ada sanksinya bagi pejabat yang tidak melakukannya.
6. Bab VIII dalam judul ditambahan penyelesai sengketa… “Konservasi”. Untuk bagian satu, pasal karena dibagian dua pasal 138 ada disebut kata-kata tersebut.
7. Untuk pasal 138 ayat 3, huruf a, b,c, seharusnya dihilangkan, dijadikan satu kalimat.
8. Ada pasal tambahan setelah pasal 138, berkaitan dengan lembaga jaya penyelesian sengketa hidup yang dimaksud dalam pasal 138 ayat 3 huruf c.
9. Adanya penambahan paragraph 2, yaitu yang mengatur “tenggat kedaluwarsa” untuk pengajuan gugutan.. belum membahsas hak gugat.
10. Adanya klausa baru dalam masalah hak gugat, yaitu hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah.
11. Paragraph 2 penyuluhan pasal 151, sebaiknya dihapus, menurut bahasa hokum bermakna ambigu,, dan tidak jelas dalam kontek tidak ada sanksi yang jelas bagi pejabat, ini lebih baik termasuk pengawas seperti yang saya sarankan diatas;
12. Pasal 152, ayat 2 huruf b,, pejabat structural pusat mau daerah, sebaiknya pasal ini dihapus. Akan memberi peluang kewenangan yang tidak jelas bagi pejabat. Juga diperjelas Polisi kawasan konservasi,, atau sebaiknya diganti dipolisi kehutanan.. karena menurut saya uu ini dalam bidang kehutanan.
13. Diatur dalam paragraph dan pasal tersendiri tentang pembuktian;
14. Pasal 154,,, dalam kalimat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.., yang kemudian dijabarkan dalam pasal 155-165, menurut saya akan gugur dalam kontek ini dianggap bertentangan dengan KUHAP .
Setiap perubahan dari RUU Kohati, harus dimaknai dalam rangka memberi suatu perlindungan hokum dan kepastian hokum, yang jelas ini akan memberi semangat baru dalam pengelolaan konsevasi keanegaraman hayati kita . tentu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apapun hasilnya seharusnya DPR RI harus segera melakukan kajian RUU Kohati, karena revisi UU No.5 Tahun 1990 sudah masuk dalam Prolegnas tahun 2009/2011.
Bagi Dewan Kehutanan Nasional, seharusnya RUU Kohati memasukan masalah pertambangan,, yang jelas biang masalah dalam konservasi selama ini, dan kedepan RUU ini memberi kekuatan bagi kementerian kehutanan dalam memberi kepastian hokum dan jaminan terhadap kawasan konservasi, jangan dikalahkan oleh investasi seperti nasibnya UU No.41 Tahun 1999.