
Ini menjadi catatan tersendiri bagi Kaltim, dengan pembangunan perkebunan yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan tanah sebagai basis tempat usahanya. Pada kenyataan menimbulkan permasalahan seperti : tanah, kawasan hutan, social, dan masyarakat yang berhubungan dengan perijinan dang ganti rugi. Untuk itu, maka dalam berusaha perkebunan perlu ada pengaturan yang memberikan kepastian hukum terhadap penguasaan tanah tersebut.
Pemberian kepastian hukum terhadap penguasaan dan penguasaan tanah dibidang perkebunan, mengaju pada ketentuan UU No.5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria, (UUPA) yakni Hak Guna Usaha (HGU), dijelaskan pada 28 UUPA, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan dan diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 Ha, dengan ketentuan bahwa jika luasanya 25 Ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada Bab III Pasal 9 sampai 12 UU No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan, diatur mengenai penggunaan tanah untuk usaha perkebunaan. Pada pasal 9 dikemukakan sebagai berikuti:
(1) Dalam rangka penyelenggaran usaha perkebunan kepada pelaku usaha perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hokum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaiman dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hokum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalanya.
Disisi lain dalam UU Perkebunan juga diatur Hak guna usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 Tahun dan setelah jangka waktu perpanjangan berakhir atas permohonan bakas pemegang hak diberikan hak guan usaha baru.
Usaha perkebunan, dalam banyak aspek menguntungkan banyak pihak, baik pemerintah, usaha, masyarakat. Yang perlu dibenahi menyangkut masalah perkebunan di Kaltim, adalah upaya dugaan sistematik untuk membabat hutan alam kita subur menjadi perkebunan sawit. Ini yang perlu pengawasan dalam pengajuan izin. Hal ini penting mengingat Kaltim yang sudah hancur dengan illegal logging, telah menyebabkan beberapa kawasan hutan itu gundul, gersang, dan jadi terlantar.
Pemberian ijin usaha perkebunan yang tidak mempertimbangan RTRW dan hanya untuk mencapai target kampenya, tentu akan merugikan masyarakat pada akhirnya. Bisa dibayangan, seperti Kasus di Kabupaten Paser tahun lalu, berlindung sudah mendapat ijin pembukaan kelapa sawit, membabat habis hutan, yang pada akhirnya cuma mau ambil kayunya dan usaha arel pelkebunan kelapa sawit tidak dilakukan. Hal-hal ini yang harus diwaspadai, khususnya kabupaten yang hutannya masih terjaga, dan masih bagus.
Kemudian masalah ganti rugi lahan, yang juga menjadi permasalah klasik pada masyarakat hampir diareal perkebunan kepala sawit. Hal-hal ini perlu dicari solusi segera. Semua itu dalam rangka memberi nilai lebih ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Sekali lagi tidak ada masalah dengan usaha perkebunan, namun system, aturan, dan kepastian hokum bagi semua pihak jelas, sehingga tidak ada yang dirugikan, dan jangan mencari keuntungan atas nama kepentingan rakyat. .serta jangan biarkan negara tetangga kita Malaysia kuasai perkebunan kelapa sawit di Kaltim… Cintailah Negeri ini….