Kebijaksanaan pemanfaatan tata ruang didasarkan RTRW propinsi sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2007. Dalam realitas provinsi kepulauan hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap alokasi dana dalam hal pembiayaan pembangunan mengingat karateristik wilayahnya. Seyogyanya UU No. 32 Tahun 2004 dalam hal bentuk dan isi otonomi menurut prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah harusnya memperhatikan kekhususan dan keberagaman daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 18A UUD 1945 yang mana “aspek karateristik kewilayaan” bagi wilayah provinsi kepulauan harus mendapat perhatian dan diatur secara spesifik termasuk didalamnya pengaturan mengenai pengelolaan dan pengaturan tata ruang wilayah laut.
Secara yuridis formal pengaturan tata ruang wilayah laut tidak diatur secara spesifik dalam UU No. 26 Tahun 2007. Dalam undang – undang tersebut hanya disebutkan bahwa ruang adalah wadah yang melipuiti ruang darat, ruang laut dan ruang udara (Ketentuan Pasal 1 Ayat 1) tanpa merinci secara lengkap perihal ruang wilayah laut, sedangkan mengenai wewenang penyelenggaraan dan pengelolaan tata ruang oleh pemerintah daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 juga tidak mengatur secara khusus mengenai ruang wilayah laut bagi provinsi kepulauan dan pulau-pulau terpencil. Guna menjawab hal tersebut, maka mengenai hal ini perlu diperhatikan apa yang dikemukakan oleh Philiupus M Hadjon yakni bahwa;
“ Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, menjadi urusan rumah tangga daerah, dan terhadap
Bagian II
urusan pemerintahan yang diserahkan itu, daerah mempunyai kebebasan (vrijheid) untuk mengatur dan mengurus sendiri dengan pengawasan pemerintah pusat atau satuan pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya dari daerah yang bersangkutan dengan tetap adanya kebebasan. Kebebasan itu tidak berarti mengandung arti adanya kemerdekaan (onafhankelijk)”
Dengan demikian konsep pengaturan tata ruang wilayah laut senantiasa harus memperhatikan karateristik kewilayaan daerah, sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal potensi wilayah laut yang ada.
Ketertinggalan dan keterasingan dalam penataan tata ruang wilayah pulau-pulau kecil, termasuk di Kalimatan Timur, sebagai wujud kegagalan negara dalam konsep pembangunan dari wilayah laut, hal ini tidak lepas dari ciri dan karakter kekuasaan negara yang bila dicermati lebih kental pada model wawasan pembangunan kontinental. Secara teoritis upaya untuk meletakan keseimbangan pembangunan nasional yang berbasis pada ruang wilayah laut mesti menjadi perhatian serius yang diikuti pula oleh kemauan politik (politcal wiil) oleh penyelenggara negara. Realitas seperti : kemiskinan, kekumuhan, keterisolasian dan ketertinggalan merupakan fakta empiris sebagaian besar masyarakat yang berada pada daerah yang bercirikan pulau-pulau kecil atau gugus pulau.
Menurut La Ode Kamaluddin, kegagalan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya; Pertama, Kebijakan maritim belum menyentuh aspek-aspek strategis yang mampu mengikat dan memayungi instrumen ekonomi kelautan, seperti sektor perikanan, pertambangan, dan energi lepas pantai, pariwisata bahari, transportasi laut dan pelabuhan serta sumber daya manusia di wilayah laut; Kedua, Kebijakan maritim tidak menjadi payung politik bagi pembangunan ekonomi maritim, maka kelembagaan yang terlibat dalam sektor maritim juga akan mengalami disorientasi; Ketiga, Terjadinya backwash effect secara masive yang menempatkan sektor maritim khusus perikanan sebagi sektor pengurasan atau pemborosan. Kecenderungan ini berpengaruh terhadap tingkat kebocoran sektoral (sectoral leagkages) yang justru membuat sektor-sektro maritim menjadi kerdil dan marjinal; dan Keempat, Faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diharapkan menjadi saluran kemakmuran secara adil, nampaknya masih sulit diwujudkan karena APBN yang continental oriented. Dengan demikian menempatkan sektor maritim termasuk provinsi yang berbasis kepulauan (maritim) dan pulau-pulau kecil termarjinalisasi dalam pembagian sarana dan prasarana pembangunan.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa sesuai dengan pasal 18 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004, maka pengaturan tata ruang wilayah laut menjadi sangat penting guna menjawab berbagai realitas sosial yang timbul dari pada ketidakjelas pengaturan dan penataan terhadap tata ruang wilayah laut bagi provinsi kepulauan yang berimplikasi terhadap penerapan prinsip – prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang oleh Philipus M. Hadjon menyatakan antara lain bahwa:
Bab VI UUD 1945 pasca amandemen yang mengandung prinsip – prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah antara lain prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis (ayat 1); prinsip otonomi dan tugas pembantuan (ayat 2); prinsip demokrasi (ayat 3 dan 4); dan prinsip otonomi seluas-luasnya (ayat 5).
Pasal 18A UUD 1945, mengandung prinsip hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang meliputi hubungan wewenang (ayat 1); dan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya (ayat 2)
Pasal 18B UUD 1945, mengandung prinsip pengakuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan/atau bersifat istimewa; dan prinsip pengakuan eksistensi dan hak – hak tradisional masyarakat adat.
Dengan demikian pengaturan secara khusus mengenai “Tata Ruang Wilayah Laut” mesti diatur secara tegas dalam konsep UU N0.32 Tahun 2004 dan UU No.26 Tahun 2007 . Dengan kata lain, pengaturan pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B jo pasal 25A UUD 1945 merupakan penegasan dari konsep Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang berciri Nusantara berdasarkan UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan Undang – Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Dengan demikain pirinsip – prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diurakan diatas, maka kewenangan pengelolaan sumber daya laut yang disebutkan dalam Pasal 18A UUD 1945 jo Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan intepretasi terhadap makna “pemanfaatan wilayah laut” dengan demikian jika didasarkan pada penetapan batas wilayah laut yang mengacu pada prinsip penetapan pada garis pangkal lurus kepulauan, maka bagi provinsi kepulauan hal ini mesti diatur secara tegas dan spesifik dari daerah lainnya.
Oleh karena itu, berdasarkan prinsip perundang – undangan pemerintah pusat seyogyanya melakukan revisi dan/atau perubahan dengan memberikan pengaturan secara tegas mengenai kewenangan pemanfaatan wilayah laut bagi provinsi kepulauan.
Kedepan dalam konsep pembangunan RTRW Kaltim, seyognya dimasukan konsep pembangunan wilayah laut untuk pulau-pulau kecil dan terpencil serta adanya perubahan dalam hal pengaturan wilayah laut secara tersendiri di dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.