Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam, baik yang bisa diperbarui dan tidak bisa diperbarui. Dalam pengelolaan SDA yang ada selama ini terkesan hanya menguntungkan berbagai pihak. Negara sebagai pemegang hak menguasai atas SDA dan pemerintah sebagai pengambil kebijakaan dan pengawas dalam pengelolaan SDA, dalam perannya belum memihak kepentingan rakyat. Pemanfaatannya SDA seharusnya bertujuan untuk memakmuran rakyat seperti yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, namun realitas yang ada rakyat semakin terpinggirkan, miskin dan tidak berdaya atas bencana ekologi akibat eksploitasi SDA.
Lahirnya UU N0.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai perbaikan dari UU No.11 Tahun 1967, mempunyai semangat yang ingin dibangun seperti diuraikan Abrar Saleng, yakni:
a. adanya tantangan dan kesempatan daru terkait dengan tuntutan demokratisasi, Otda, HAM, kebutuhan social, ekonomi, dan lingkungan hidup;
b. implementasi prinsip-prinsip penguasaahan pertambangan yang berkelanjutan sebagai salah satu penunjang pembangunan;
c. adanya tuntutan prinsip-prinsip transparasi, efesiensi, daya saing dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertambangan.
Dengan demikian semangat yang ingin dibangun agar semua kepentingan seluruh stakeholder yang ada, dalam rangka menjawab tantangan dan pergulatan dalam hal penguasan pertambangan yang selama ini tidak jelas. Kemudian dapat mensejahterakan rakyat, memaksimalkan penerimaan Negara dan keuntungan pengusaha serta lingkungan tetap terjaga.
Untuk melaksanakan UU minerba tersebut, pemerintah telah mengeluarkan PP No.22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan PP No.23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan, semua itu untuk dapat menyelesaikan masalah pertambangan yang multi komplek.
Kemudian lahir Peraturan Presiden No.26 Tahun 2010 (PERPRES) tentang Transparasi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah Yang diPeroleh Dari Industri Ekstraktif . Secara filosofi Perpres ini, pertama berpandangan bahwa pemanfaatan SDA, khususnya sumber daya ekstraktif, sebagai salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, seharusnya dilakukan secara efesien dan efektif untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dalam artian pertambangan yang dilakukan harus professional dan moderan yang dipakai secara internasional dengan memperhitungkan berupa, fisik, teknisi, keuangan, lingkungan hidup pasca tambang, dan teknologi.
Yang kedua bahwa pemanfaatan SDA ekstraktif harus melalui pengelolaan industry yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), prinsip transparasi yang meliputi: keterlibatan pemangku kepentingan, keterbukaan, dan prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), serta untuk peningkatan daya saing iklim investasi dibidang industry ekstraktif.
Dengan Perpres No. 26 Tahun 2010, ada trasparansi pendapatan Negara dan pendapatan daerah yang diperoleh dari industri ekstaktif secara jelas. Bukan rahasia umum bahwa banyak ijin pertambangan di kabupaten/kota, propinsi dan pemerintah pusat, tidak ada koordinasi antara pusat dan daerah berapa ijin pertambangan yang sudah dikeluarkan dan wilayah usaha pertambangan yang sudah ditetapkan. Belum lagi berapa pendapatan daerah dan pusat yang diperoleh dari SDA ekstraktif ini. Ini masalah kronis dinegeri ini, aturan jelas, pengawas sudah jelas namun dalam pelaksanaanya tidak jelas. Jika ada bencana ekologi akibat eksploitasi tambang yang melampau batas semua mengelak dari tanggujawab.
Gemerlap tambang, dengan segala keuntungan dan perebutan capital modal untuk berinvestasi, tidak ditopang transparasi yang jelas berapa sebenarnya pemasukan atau setoran yang masuk pendapatan Negara dan pendapatan daerah. Hal ini penting karena disinyalir perputaran keuntungan hari hasil tambang dan terjadi pemerasan dalam ijin pertambangan telah menjadi tambang emas untuk mendapat modal dalam pembiayaan kampanye pilkada diberbagai daerah.
Jadi ijin pertambangan banyak diobral pada saat akan pilkada, hal-hal seperti tidak boleh lagi terjadi atas nama demokrasi, otonomi daerah, sudah saatnya kita bijak, bahwa SDA bukan milik daerah, bukan milik politisi, bukan milik tim success bupati, namun SDA yang ada itu dianugrahkan Tuhan untuk anak cucu kita kelak. Kita hanya menjaga agar SDA yang ada mempunyai guna dan manfaat yang sesuai dengan kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Kesejahteraan yang diharapkan dalam kontek menguasai oleh Negara untuk kepentingan masyarkat, ini bisa dilakukan dengan perpres ini. Jadi pengusaha tambang harus benar-benar menjaga dan niat yang benar untuk menambang dengan memberi jaminan tambangan berupa: kesanggupan menambang, reklamasi tambang, dan pasca tambang, pada waktu ijin berakhir atau selesai. Semua itu demi keselamatan lingkungan hidup yang akan datang.
Kita tidak ingin germelap pertambangan hanya berumur beberapa tahun, mensisakan generasi yang kelam akibat bencana yang ditinggalkkan setelah pesta tambang. Dengan kejelasan dan transparasi diperoleh dari pemasukan pertambangan dapat memulai membuat langka yang kongkrit dan usaha yang nyata untuk menghadapi permasalahan paska tambang, suramnya lokasi tambang dan hilang mata pencarian penduduk yang didekat tambang, lubang-lubang besar yang menyimpang limbah, pencemaran, lingkungan yang rusak dan lain-lain.
Kedepan dengan prepres ini akan memberi angin segar dalam upaya pemulihan lingkungan akibat pertambangan dan kerjasasama semua pihak untuk jujur memulai menata negeri dalam hal pertambangan.
Sumber: gagasanhukum.wordpress
Tentang Saya

Dr. Siti Kotijah, S.H, M.H.
Lecturer in Mulawarman University,
Law Faculty
Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca Tambang Kalimantan Timur