Kehidupan manusia secara terus menerus sangat tergantung pada berbagai ragam jenis hayati. Ketergantungan ini antara lain karena kelompok hayati sebagai satu-satunya perdaur ulang alami dalam ketersediaan oksigen untuk bernafasnya manusia dan pengatur ketersedian air di dalam. Sehingga pada dasarnya kelangsungan hidup manusia ditentukan oleh kelestarian keanekaragaman hayati, sebagai kebutuhan dasar dan pengatur kondisi lingkungan tempat mereka hidup.
Nilai penting kehidupan dari setiap keanekaragaman hayati, dalam perkembangannya, mengalami banyak perubahan di Indonesia, sejak dimulainya era otonomi daerah. Hal ini ditandai dengan pemerintah daerah beserta masyarakat dapat langsung menentukan pola pemanfaatan jenis hayati yang dimiliki sedemikain rupa, sehingga tetap dapat lestari.
Namun yang terjadi dilapangan, di daerah-daerah Kaltim, era otonomi daerah menjadi suatu pola menuju kehancuran keanekaragaman hayati. Hal ini sebabkan kebijakan yang diambil hanya berpatokan pada pola memberi izin sebanyak-banyak, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan nasib hayati kita. Bagaimana tidak ijin hutan diobrol?, habis itu ijin kuasa pertambangan dan ijin perkebunan.
Semua itu telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang kita di sedikit-demi sedikit menuju kepunahan dan pada akhirnya hilang. Kemudian yang menarik ada 2 (dua) kabupaten mengalami perubahan status dari kabupaten konservasi seperti Kabupaten Malinau dan Kabupaten Paser, berubah menjadi kabupaten dengan banyak izin pertambangan. Ironis….
Keserakan dan kebijakan untuk dalih investasi didaerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang begitu pesat, dan telah menghilangkan secara tidak langsung keaneragaman hayati di Kaltim
Tingginya keanekaragaman hayati dan pentingnya kekayaan sebagai sumber plasma nutfahnya, tidak memberi suatu kesadaran buat pengambil kebijakan di daerah untuk melindungi keanergaraman hayati. Sedangkan Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi tentang hayati antara lain: Konvensi Ramstar tahun 1975, CITES 1975, Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 dan Konvensi perubahan iklim yang tertuang dalan Protocol Kyoto 1997 serta Cartagaena tahun 2004. Semua itu dalam rangka untuk menjaga dan melindungi keaneragaman hayati yang ada dapat menjadi bagian dari dunia .
Sering kelangsungan hidup sumber daya hayati, tidak diperhitungkan dari segi nila-nilai keberlangsungan dan tidak bisa bisa tergantikan dengan uang. Artinya bisakah kita menilai keindaan keanekaragman hayati yang hilang dengan nilai uang, seperti punahnya anggrek hitam dari bumi etam .
Konsep ini yang sering dipahami keliru dalam penerapannya. Alam Kalimantan yang berubah hutan dan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Dipandang sebagai bentuk dari karunia Tuhan, yang perlu dimanfaatkan dengan tanpa batas, tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tamping kesimbangan alam itu sendiri. Semua dibabat habis, tanpa tersisa dengan segala macam bentuk dan atas nama izin.
Kedepan untuk menjaga dari punahan dan hilangnya keanekaragaman hayati, harus ada penegakan hokum dan sanksi yang tegas bagi pengambil kebijakan yang salah dan adanya revisi UU No.5 Tahun 1995.
Kotijah
Artikel telah diterbitkan pada ini
Tentang Saya

Dr. Siti Kotijah, S.H, M.H.
Lecturer in Mulawarman University,
Law Faculty
Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca Tambang Kalimantan Timur