Instrumen ekonomik telah dituangkan di dalam principle 16 Dekrasi Rio dan penerapannya dilakukan melalui pajak atau pungutan pencemaran (pollution charge) seperti misalnya: “ air pollution fee”, : water pollution fee”, dan lain-lain.
Pelestarian daya dukung ekosistem (proses ekologis) merupakan prasyarat dari tercapai kualitas hidup generasi sekarang dan yang akan datang. Ini sesuai dengan 5 (lima) dokumen yang dihasilkan oleh UNCED, dan terdapat 5 (lima) prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yaitu:
1. Keadilan antar generasi;
2. Keadilan dalam satu generasi;
3. Prinsip pencegahan dini;
4. Perlindungan keanekaragaman hayati;
5. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif .
Prinsip terakhir tentang internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif adalah suatu prinsip yang pada intinya untuk menekankan dari suatu keadaan , dimana penggunaan sumber daya alam (resourse use) kini merupakan kecenderungan atau reaksi dari dorongan pasar (market force and opportunity). Prinsip ini yang coba dikembangkan di dalam pasal 42-43 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Selama ini kepentingan yang tidak terwakili dalam pengambilan keputusan dalam menentukan harga pasar diabaikan dan menimbulkan dampak merugikan bagi mereka. Dampak yang dimaksud dengan istilah ekseternalitas, sebab kepentingan-kepentingan kelompok yang dirugikan merupakan komponen ekternal (yang tidak masuk hitungan) dalam proses pembentukan harga pasar.
Masyarakat yang menjadi korban dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup tidak memiliki suatu mekanisme untuk memaksa kelompok untuk membayar kerugian bagi kerusakan yang ditimbulkan tersebuut, kecuali pengadilan atau mekanisme resolusi konflik lainnya menentuhkan. Oleh karena itu sumber daya alam (SDA) yang biasanya “ open acces” harus diberi harga/nilai yang memadai.
Ini makna yang terkandung di dalam pasal 42 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH, bahwa” dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup , Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup,”. Hal ini karena selama ini lingkungan tidak diberi nilai/harga, maka dalam perkembanganya manusia atau badan hukum (terutama yang berorintasi profit) banyak menggunakan SDA secara berlebihan (over use), dan cenderung membabat habis tanpa berpikir akibat bagi generasi yang akan datang. Tentu yang tersisa hanya derita dan bencana yang harus ditanggung baik harga, benda dan nyawa.
Untuk itu usaha memberi suatu biaya lingkungan yang ada pada pasal 42-43 UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH, ini sebagai langka awal untuk mereformasi dari UU sebelumnya yakni UU No. 23 Tahun 1997 tentang PLH
Gagasan yang terkandung dalam pasal tersebut, sebagai penjawantaan dari prinsip biaya lingkungan dan sosial yang terintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkiatan dengan penggunaan SDA , sehingga pada akhirnya terjadi internalisasi “eksertenalitas” dalam arti ekserternalitas harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Dengan memanfatakn instrument yang ada di UU tersebut berupa: pengaturan (larangan dan sanksi), charge, fees, leasing, perijinan, mekanisme property right dan lain-lain.
Usaha yang sudah pernah berupa mekanisme-mekanisme lainnya seperti program Peningkatan usaha dalam kontek program kali bersih (Proper Prokasih) yang diterapkan di Indonesia. Menurut Mas Agus Santoso, mekanisme yang dipakai dalm Proper Prokasih merupakan mekanisme insentif yang terkait dengan prinsip pembangunan berlanjutan ini, Karena pada dasarnya Proper Prokasih dan sejenisnya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat melalui publikasi kinerja industry secara periodek.
Kedepan instrumen lingkungan hidup ini, sarana paling cepat dalam upaya pengendalian pencemaran, sehingga Pemerintah secepatnya membuat Peraturan Pemerintah seperti yang sudah diamanahkan dalam pasal 43 ayat (4) UU No.32 Tahun 2009.
Kotijah
Artikel telah diterbitkan pada ini
Artikel telah