Ekologi Tradisional Dayak Tunjung di Kutai Barat

Studi dan penggunaa ekologi tradisional dipertimbangkan secara meluas sebagai suatu komponen penting dalam menjaga dan menilai suatu keanegaraman hayati dan konservasi didaerah tropis. Penelusuran terhadap pengetahuan tradisional mengenai kehidupan liar dapat membantu program-program riset dibidang ekologi dalam usaha untuk mengetahui kehidupan liar yang sangat signifikan untuk mempengaruhi sikap manusia terhadap kehidupan liar yang pada akhirnya mengarah pada upaya terhadap daya dukung konservasi (Kellert: 1996).

Pola-pola tradisional yang ada dan hidup di dalam masyarakat , dapat dikembangkan didalam mengelola lingkungan yang ada disekitarnya. Salah satunya pada suku dayak Tunjung di Kutai Barat (Kubar) di Kalimantan Timur

Dari beberapa sumber suku Dayak Tunjung Kubar sekarang jumlahnya kurang lebih 76.000 orang yang mendiami beberapa daerah yakni : Melak, Barong Tongkok,dan Muara Pahu. Menurut jenis dialeknya masyarakat suku Dayak Tunjung dibagi atas :

a. Dayak tunjung Joleq, yakni Suku Dayak Tunjung yang berdomisili disekitar Kecamatan Sekolaq darat. Dengan memiliki cirri dialek kalimat yang paling tinggi dari pada yang lain;

b. Dayak Tunjung Tengah, yakni suku Dayak Tunjung, yang berdomisili disekitar kecamatan Barong Tongkok, Dengan memiliki ciri dialek yang cukup keras, tapi masih dibawa daya tunjung Jolek;

c. Dayak Tunjung Rentenuq, yakni suku Dayak yang berdomisili disekitar kecamatan Linggang, yang memiliki dialek yang paling lembut .

Dalam tradisi masyarakat Suku DayakTunjung ada beberapa tradisi yang diparcaya dan hidup dalam bermasyarakat selama turun temurun dalam upaya mengelola hutan yang ada, agar tetap terjaga dan lestari. Sistem pengelolanya begitu, bijak, sederahana, dan kadang-kadang kita berpendapat hal itu masih primitif, tradisional, dan magis.

Namun jika kita amati bahwa, pandangan terhadap pengelolaan alam begitu mulia, dalam jiwa masyaraka Suku daya Tunjung sudah ada suatu aturan yang dipatuhi bahwa setiap manusia yang hidup dan ada disekitar hutan atau lingkungannya , “janganlah memotong pohon-pohon yang ada dihutan, karena hutan adalah rumah dari roh-roh nenek moyang, apabila akan memotong salah satu pohon dihutan, seharus ada upacara adat. Hal ini berhubungan dengan menghilangkan roh yang bersemayang dihutan.

Tradisi lainnya Masyarakat Dayak Tunjung percaya jika kita mendatangi air turjun, janganlah kita merusak alam sekitar, seperti membuang sampah sembrangan, merusak tanaman ada sekitar air turjun, Juga larangan terhadap usaha membakar hutan, tradisi yang ada dan tetap dipertahankan sampai sekarang adalah jika membakar hutan, harus ada ijin kepala adapt/petinggi kampung yang ada.

Kepercayaan terhadap burung enggang/rongkong adalah burung yang dipercaya sebagai titisan dewa, yang diagung-agungkan oleh suku daya sebagai burung yang sakral, seperti keberadaan sapi di Bali, jadi popolusi burung itu tetap terjaga dan tidak diburu manusia. Dalam perkembangan burung enggang sudah langka dan hampir punah karena terus diburu dan dibunuh.

Membuat rumah adat “Lamin” yang menggunakan pondasi dengan gaya panggung, semua itu bertujuan untuk menjaga keamanan dan gangguan dari musuh baik hewan maupun manusia. Dalam perkembangannya rumah adat itu menhindarikan mereka dari bencana banjir.

Semua budaya, tradisi dimasyarkat suku dayak tunjung mengandung makna dan maksud yang baik terhadap kehidupan manusia kedepan, nilai-nilai yang ada sebagai suatu aturan adat yang mengatur keberadaan mereka dalam bermasyarakat, alam dan lingkungan yang ada . Cara yang diajarakan memberi makna, bahwa hidup dan kehidupan harus serasi, selaras,dan seimbangan antara alam sekitar. Manusia sangat tergantung pada alam, dan alam juga tergantung pada manusia.

Dengan demikian dalam memandang hidup dan nilai-nilai kearipan lokal sudah diterapkan oleh masyarakat suku dayak tunjung, kita seharusnya belajar untuk menghargai arti sebuah tradisi yang sangat sederhana dan mudah dipahami dalam menjaga dan mengelolaan alam hutan kita.

Ke depan, Pemerintah Daerah Kubar, dalam rangka menjaga dan melesatarikan keberadan hutan dan tetap menerapkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam pengelolaan hutan, sudah saat dibuat Peraturan daerah .


Artikel telah diterbitkan pada ini

Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.