Kabupaten Malinau merupakan salah dari 3 (tiga) wilayah kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Kabupaten Malinau juga salah satu kabupaten pemekaran yang baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999 tentang 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang.
Secara umum kabupaten Malinau terletak di daerah hulu sungai dan pendalaman yang berbatasan dengan Negara Bagaian Serabwak Malaysia Timur. Dengan luas wilayah kabupaten Malinau 43.000 km2 yang terdiri atas 5 (lima) kecamatan yaitu: kecamatan Kayan Hulu, Kecamatan Kayan Hilir, Kecamatan Pulungan dan Kecamatan Bawau. Dengan Mayoritas penduduk asli malinau berasal dari Suku Dayak dengan berbagai sub-etnisnya seperti Suku Kenya, Suku Lun Dayeh, Suku Tidung dan lain-lain. Sedangkan suku lain yang tinggal di Malinua merupakan masyarakat pendatang dari berbagai daerah seperti Jawa, Sulawesi, Madura, dan sebagainya.
Secara geografis kondisi kawasan perbatasan pada umumnya terpencil, miskin fasilitas sarana dan prasarana, pendapatan ekonomi masyarakat diwilayah perbatasan di Kabupaten Malinau masih kecil, sementara potensi sumber daya alam belum dimanfaatkan secara maksimal. Semua itu karena akses informasi, teknologi yang tidak memadai dan kondisi yang jauh dari pusat pemerintahan.
Kawasan perbatasan di Malinau relatif terisolir dan terpencil disebabkan keterbatasan insfrastruktur transportasi wilayah. Secara sosial ekonomi, kawasan perbatasan masih tertinggal ditandai dengan belum memadainya fasilitas sosial dan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, kurang memadainya pelayanan kesehatan, kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari diantaranya kesulitan memenuhi kebutuhan BBM dan kebutuhan pokok dan lain-lain.
Kabupaten Malinua dengan segala upaya melakukan berbagai macam kegiatan pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan, upaya pembangunan yang dilakukana menghadapi masalah yang cukup komplek dan berat berupa:
1. Kesenjangan dalam perkembangan sosial ekonomi yang mencolak antar wilayah desa, antar desa, dan kota, dan antar sektor ekonomi;
2. Kurangnya peranan dan keterkaitan sektor moderen terhadap sektor tradisionil;
3. Terbatasnya sumber daya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas;
4. Masih rendahnya tingkat aksesibilitas wilayah dan kurangnya kemudahan terhadap fasilatas berusaha, sehingga menjadi kendala menarik inverstasi
5. Terbatasnya infraktruktur berupa sarana dan prasarana;
6. Keadaan topografi yang berat, sebagian besar gunung-gunung, sehingga sulit dijangkau oleh program pembangunan ( Alfais,2005)
Melihat realita/kondisi kawasan perbatasan tersebut tentu saja akan menjadi keprihatinan semua pihak yang peduli dan menaruh perhatian terhadap pembangunan kawasan perbatasan mengingat betapa penting dan strategisnya peranan kawasan perbatasan baik dari sudut pandang ekonomi, sosial dan budaya maupun dari sudut pandang pertahanan dan keamanan serta kedaulatan negara.
Selama ini disadari bahwa walaupun segenap komponen masyarakat khususnya yang berkompeten dengan pembangunan kawasan perbatasan telah berupaya untuk memeperjuangkan percepatan pembangunan kawasan perbatasan dalam rangka mengatasi ketertinggalan dengan daerah lainnya namun sampai saat ini hasilnya belum sesuai harapan. Hal ini disebabkan masih rendahnya perhatian dari pemerintah pusat, keterbatasan kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengelola perbatasan dan adanya kesan yang menempatkan kawasan perbatasan sebagai “halaman belakang” buku sebagai ” beranda depan” wilayah Indonesia.
Kedepan wilayah perbatasan Malinua, harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Kaltim, dan Pemerintah Daerah Malinua, agar kesejahteraan bisa dirasakan.
Kotijah
Artikel ini telah diterbitkan pada ini