Dampak ekologi dari kerusakan hutan, sudah tampak nyata didepan mata, dari tanah longsor, banjir, percemaran, dan perusakaan lingkungan yang bermuara pada hancurnya basis konservasi sumber daya hutan.
Kerusakan hutan di Kaltim, dapat dilihat dengan semakin rusaknya hutan menjadi lubang-lubang gundul kawasan hutan, bahaya banjir yang terus menerus tampak henti, bertambahnya lubang-lubang sumur berbahaya akibat pertambangan, Dan yang lebih miris adanya upaya mengubah pola pandang masyarakat bahwa hutan boleh dibabat untuk sawit demi peningkatan ekonomi masyarakat.
Kaltim yang idententik dengan hutan, berlahan-lahan telah menjadi lahan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, dan seiring waktu seakan makin dekat dengan petaka yang akan menggersangkan kerimbunan hutan Kalimantan. Sesungguhnya hutan kalimantan sudah dalam taraf yang mengkwatirkan dalam keberlanjutan kelangsungan hidup yang akan dipertaruhkan. Kegundahan hati dan kegelisahan jiwa masihkah cucu-cucu kita dan cicit-cicit kita dapat menikmati dan menyaksikan keindahan alam miliknya yang mereka titipkan kepada kita?.Dalam tataran filosofi: Apakah generasi sekarang mampu menjaga amanat yang dipercayakan oleh generasi yang akan datang akan beradaan hutan yang masih hijau dan rimbun?.
Pemanfaan dan pengelolaan sektor kehutanan dalam perkembanganya menjadi salah satu bagian terpenting dari lingkungan hidup, kerusakan hutan yang tidak terkendali akan mengkikis daya dukung dan kapasitas hutan yang bermuara pada bencana ekologi.
KTT Bumi di Rio de Jeneiro, menjadi consensus yang penting dibidang kehutanan, dengan adanya prinsip-prinsip kehutanan (forest principles) yang dituangkan dalan dokumen dan perjanjian:” Non-legally binding autrorative statement of principles for a global consensus on the management, conservation and sustainable of development” dan Bab 11 dari Agenda 21” Combatinng Deforestation”.
Foresty principles yang dirumuskan di Rio de Jeneiro, merupakan upaya memberikan kontribusi terhadap pengelolaan, pelestarian dan pembangunan berkelanjutan terhadap hutan, baik hutan alam maupun hutan buatan, serta tidak terkecuali bagi hutan di seluruh wilayah geografis dan cuaca. Pernyataan ini meminta pemeintah pada setiap negara untuk mempromosikan dan menyediakan wadah peran serta masyarakat dalam pengembangan, pelaksanaan dan perencanaan kebijakan nasional perhutanan. Prinsip-prinsip kehutanan ini kemudian dijabarkan pada Konsideran butir a UU No. 41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004 , bahwa: “Hutan wajib untuk disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan agar dapat dirasakan manfaatnya baik bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Dalam tataran gobal, dapat dihitung dan dipertanyakan seberapa lama lagi dunia dapat bertahan tanpa hutan? Hutan kaltim butuh waktu berapa tahun lagi untuk menjadi cerita?, dan berganti lahan gundul, bahkan menjadi hamparan padang pasir yang berlobang-lobang.
Menjadi renungan kita semua, khususnya pemegang kekuasaan di Kaltim, untuk menghentikan segala upaya dari kerusakan hutan, berupa: penegakan hukum dibidang kehutanan dan upaya pemerintah untuk menghentikan perijinan pertambangan di kawasan hutan, perubahan alih fungsi hutan, operasi pemberantasan illegal logging dan sangsi yang tegas terhada pelaku kerusakan hutan. Jangan kasus-kasus kehutanan menguap begitu saja tanpa sentuhan yuridis. Putusan Pengadilan Bangkinang tanggal 29 September 2001 terhadap kasus PT Adei Plantion & Industry yang bertumpu pada UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, membuat kita senang akan penegakan lingkungan. Namun sayangnya putusan tersebut dianulir oleh Pengadilan Tinggi bahkan MA sendiri, Tragis..
Kedepan nasib hutan ada ditangan kita semua, perlu waktu lama untuk mengembalikan seperti semula, sedang kita dikejar waktu akan bencana ekologis yang akan segera tiba, perlu suatu kegerakan dari semua kalangan masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan dan mengucapkan stop pertambangan dikaltim.
Kotijah
Artikel telah diterbitkan pada ini