Masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam dokumen yang dihasilkan dalam Konferensi Stockholm 1972, kemudian PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan (The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau KTT Bumi (Eart Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni 1992, Konvensi Rio, menghasilkan lima dokumen penting yaitu:
1. Rio Declaration on Enviroment and Devolopment (Deklarasi Rio)l;2. Agenda 21 (Agenda 21);3. Convention on Climate Change (Konvensi Perubahan Iklim),4. Connvention on Biological Diversity (Konvensi tentang keanegaraman hayati)l; dan5. The Forest Principle
Kedua konvensi tersebut menyatakan komitmen mereka untuk melakukan konsep pembangunan berkelanjutan yang memadukan aspek-aspek ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Dengan konsep pembangunan keberlanjutan, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai dampak negatif dari kegiatan usaha di berbagai sektor ekonomi diharapkan ditiadakan atau setidaknya diperkecil dampak yang ditimbulkan.
1. Rio Declaration on Enviroment and Devolopment (Deklarasi Rio)l;2. Agenda 21 (Agenda 21);3. Convention on Climate Change (Konvensi Perubahan Iklim),4. Connvention on Biological Diversity (Konvensi tentang keanegaraman hayati)l; dan5. The Forest Principle
Kedua konvensi tersebut menyatakan komitmen mereka untuk melakukan konsep pembangunan berkelanjutan yang memadukan aspek-aspek ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Dengan konsep pembangunan keberlanjutan, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai dampak negatif dari kegiatan usaha di berbagai sektor ekonomi diharapkan ditiadakan atau setidaknya diperkecil dampak yang ditimbulkan.
Indonesia adalah salah satu negara yang berperanserta dalam kedua konvensi tersebut, sehingga secara normatif terikat untuk melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan yakni dengan meratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1995 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity dan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change.
Para penganut teori evolusi hukum telah mengungkapkan bahwa hukum tidak lagi sekedar sebagai sistem norma tetapi juga telah difungsikan sebagai instrumen kebijakan negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian sebagai negara yang ikut dalam konferensi, Indonesia terikat komitmen internasional untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan, sehingga negara harus memfungsikan hukum yang di negaranya sebagai instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini kemudian yang melahirkan bidang hukum lingkungan.
Sebagai program tindak lanjut dari konvensi itu, Indonesia telah menyusun Agenda 21 Indonesia berupa strategi nasional untuk pembangunan berlanjutan, juga mengundangkan berbagai aturan perundang-undangan yang terkait dengan lingkungan hidup, antara lain: UU No.4 Tahun 1982 jo UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekositemnya, UU No.41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan dan berbagai peraturan pemerintah dan perangkat hukum yang lebih rendah juga dikeluarkan.
Setelah lebih 20 tahun, kita mengenal dan menerapkan hukum lingkungan. Yang menjadi pertanyaan besar bagi kita, bagaimana penegakan hukum lingkungan di negeri ini? Apakah kinerja pengelolaan lingkungan Indonesia semakin baik atau jalan ditempat atau lebih buruk?.
Namun, lingkungan hidup kita semakin buruk, lingkungan kita semakin hancur dengan fakta-fakta yang ada. Bencana yang silih berganti dan korban berjatuhan dari Lumpur lapindo, tragedi pertambangaan, banjir dimana-mana, longsor danl lain-lain. Untuk Kaltim, hampir setiap bulan dikepung banjir, pencurian kayu yang tiada henti, hutan yang hilang diganti kawasan pertambangan atau perkebunan, dan terakhir tercemarnya kawasan Teluk Balipapan.
Keadaan ini membuktikan bahwa pengelolaan lingkungan di Indonesia telah gagal memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama ini, tidak menempatkan lingkungan sebagai acuan. Justru mengabaikan faktor lingkungan, baru ada bencana mereka saling menyalahkan dan melempar tanggunjawab. Pada akhirnya berkesimpulan bahwa jika bencana datang itu karena takdir dan kuasa Tuhan. Sungguh bangsa yang arif untuk berkilah.
Bangsa Ini tidak pernah belajar menghargai nilai-nilai dari lingkungan itu sendiri, tidak menyadari bahwa lingkungan hidup itu punya kapasitas dan kemampuan untuk bertahan. Yang ada hanya bagaimana memandang lingkungan sekitar sebagai Karunia Tuhan yang perlu dimanfaatkan lebih cepat dan dihabiskan. Kalau sudah begini siapakah yang salah?.
Kita telah gagal dalam pengelolaan lingkungan selama ini, artinya merupakan indikator kegagalan bagi penegakan hukum lingkungan. Ada yang salah dengan kebijakan lingkungan yang kita ambil selama ini.
Presiden yang bakal kita pilih nanti adalah suatu harapan besar bagi pimpinan baru bagi masa depan bangsa ini untuk menjawab semua tantangan yang ada bagi lingkungan ke depan. Kita memperlukan presiden yang peduli akan lingkungan dan menegakan hukum lingkungan.
Kotijah