Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Yang semua itu sebagai upaya pengendallian terhadap sumber daya hutan dari kerusakan yang parah. Hal ini dalam pasal Pasal 2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang tentang Kehutanan Jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang, berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kesamaan, keterbukaan dan keterpaduan
Untuk tingkat internasional dalam pengelolaan hutan juga dikenal asas ecolabelling dan asas hutan berkelanjutan (sustainable forrest). Asas ecolabelling maksudnya bahwa semua kayu tropis yang dijual harus berasal dari hutan lestari melalui mekanisme pelabelan. Asas ini perkenalkan pertama kali oleh negara Austria melalui undang-undang tentang ecolabelling kayu tropis.
Asas hutan berkelanjutan (sustainable forres) ini dimaksudkan agar setiap negara dapat mengelola secara berkelanjutan dan meningkatkan kerja sama internasional dalam pelastarian hutan dan pembangunan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia menjabarkan Asas hutan berkelanjutan (sustainable forres ) dalam program kerja Depertemen Kehutanan. Berkaitan dengan asas hutan berkelanjutan (sustainable forres) akan dibahas lebih lanjut.
Ecolabelling ini, di Indonesia telah diterapkan sertifikasi ekolobeling pada suatu produk yang merupakan kebutuhan dan tuntutan konsumen terhadap produk yang ramah lingkungan , dengan demikian bagi perusahaan-perusahaan untuk menandai kayu tropis yang akan diekspor berasal dari hutan lestari. Untuk penilian penerapan sistem sertifikat ekolebel dilakukan oleh Lembaga Ekolebel Indonesia (LEI).
Sertifikat ekolobing pada suatu produk merupakan kebutuhan dan tuntutan terhadap produk yang ramah lingkungan, Ekolobeling bukanlah hal yang baru, di Jerman adalah Negara yang pertama kali mempelopori sistem ekolabel dengan sistem yang disebut program “ Blue Angle”, yang diterapkan pada tahun 1977 pada tahun 4000 produk dengan maksud memberikan informasi kepada konsumen. Kemudian Kanada dengan program “ Environmental Choice”, yang dimulai pada tahun 1983, serta Jepang dengan program “ Eco Mark”, mulai pada Tahun 1987.
Beberapa Negara berdasarkan inisiatif dan kesepakatan regional, seperti negara-negara Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia dan Irlandia) bersama-sama mengembangkan ekolobel yang dikenal sebagai “ White Swamn”, mulai pada tahun 1991. Negara-negara Uni Eropa menetapkan suatu program ekolobel yang dikenal sebagai “ European Flower”. Demikian juga Negara-negara Afrika yang tergabung dalam African Timber Organization (ATO), mengembangkan ekolabel pada produk kayu.
Inisiatif ekolobel yang dilakukan Negara-negara tersebut di atas, terdapat pula inisitif akreditasi seperti yang dilakukan oleh Forest Stewardship Council (FSC) yang memproklamirkan diri menjadi akreditor internasional untuk pembuangan hasil hutan setelah masa pakainya. Jadi, sertifikat ekolobel produk hasil hutan adalah suatu cara untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan dalam bentuk suatu sertifikat atau ekolabel yang menunjukkan bahwa kayu tersebut berasal dari konsesi hutan HPH yang dikelola secara berkelanjutan. Pemberian sertifikat ekolobeling dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang merupakan kegiatan pihak ketiga untuk mengeluarkan pernyataan bahwa pengelolaan hutan produksi berkelanjutan oleh unit manajemen sesuai dengan SNI 19-5000-1998 tentang Sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Pemberian sertifikat ekolobeling didasarkan pertimbangan bahwa:1. Sertifikasi hutan akan mendorong para pengelola hutan untuk meningkatkan pengelolaan hutannya;2. Sertifikasi produk memberikan peluang pada produsen untuk memasuki pasar baru yang telah memiliki standar tertentu terhadap produk-produk hutan yang berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan;3. Proses sertifikasi melibatkan para pemangku (stakeholders) dan masyarakat setempat; dan4. Pendekatan kesukarelaan (voluntary approach) yang digunakan dalam proses sertifikasi akan mendukung kredibilitas ekolobel sebagai instrumen penyampaian informasi bahwa hutan tempat produk kayu berasal atau dikelola dengan mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian.
Kriteria dan inikator pengelolaan hutan berkelanjutan dengan menerapkan sistem sertifikasi ekolobeling pada produk hasil hutan belum terakomodir dalam undang- undang dan peraturan pemerintah di bidang kehutanan, sehingga sulit diterapkan secara efektif. Karena tidak ada perangkat peraturan hukum yang mendukung tentang sertifikasi produk hasil hutan. Produsen atau pengusaha hutan sudah terbiasa dalam praktek selalu mempertanyakan sanksi hokum yang dikenakan bagi mereka yang tidak mengikuti program ekolobel.
Kedepan segera adanya aturan perundang-undangan untuk sertifikasi ekobeling di Indonesia, jangan menunggu hutan kita habis karena penjarahan. .
Kotijah
Artikel telah diterbitkan pada ini