Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan selama ini belum optimal, karena dilakukan secara sentralistik oleh negara melalui lembaga yang diberi mandat untuk melakukan pengelolaan. Menurut Korten (1983), berdasarkan pengalaman pembangunan di beberapa negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin, mengemukakan bahwa sistem pendekatan yang sentralistik memiliki empat (4) kelemahan yaitu:
1. Ketercapaiannya terbatas. Dalam hal ini tidak mungkin bagi para pekerja pemerintah untuk secara efektif sampai ke seluruh desa, khususnya pada wilayah-wilayah pedalaman yang terpencil;
2. Ketidakmampuan untuk melestarikan aksi-aksi lokal yang diperlukan;
3. Keterbatasan adaptibilitasnya terhdap kondisi lokal; dan
4. Menciptakan ketergantungan.
Sedangkan menurut teori partisipasi yang dikemukakan White (1981), bahwa partisipasi memiliki tiga (3) dimensi, sebagai berikut:
a. Meliputi semua orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan tentang apa yang harus dikerjakan dan bagaimana caranya;
b. Kontribusi/sumbangan guna usaha pembangunan, misalnya bagi pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah diambil; dan
c. Turut menikmati terhadap keuntungan yang diperoleh dari program-program proyek.
Pengurusan hutan yang ada bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam pengurusan hutan pada Pasal 10 UU No. 41 Tahun 1999 Jo UU No. 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang bahwa,” pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaran:
a. Perencanaan kehutanan;
b. Pengelolaan hutan;
c. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan
d. Pengawasan.
Hubungan antara negara dengan hutan dan negara dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan itu saling terkait . Tentu pada posisi ini setiap pihak harus ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai dengan hak dan kewajiban, Misalnya kedudukannya negara sebagai organisasi yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengatur perencanakan, peruntukan, dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta mengatur pengurusan hutan dalam arti luas. Sedangkan masyarakat yang bersentuhan secara langsung dengan hutan dapat menjaga dan melastarikan hutan sesuai dengan kapasitas dan daya dukung yang ada
Di sisi lain hubungan hutan dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang mempunyai hubungan yang erat. Dalam hal ini karena masyarakat telah mengusahkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sehingga pengurusan dan pemanfaatan diatur yang bersangkutan. Namun demikian, individu tersebut harus membayar beberapa kewajiban kepada negara, seperti membayar pengujian, dan Iuran Hasil Hutan (IHH).
Kelemahan pada partisipasi masyarakat dalam pengelohan hutan selama ini bahwa pemerintah pusat melakukan otonomi daerah setengah hati. Walaupun sudah ada UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Keberadaan UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemerintah Desa yang secara tidak langsung menghapuskan nilai-nilai pengelolaan hutan sesuai dengan kearifan lokal setempat.
Ke depan pemerintah lebih menekankan pengelolahan hutan pada partisipasi masyarakat secara penuh dan permberdayaan nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan.demi kesejahteraan dan kemakmuran kita semua.
Kotijah
Artikel ini telah diterbitkan pada ini