Penyelenggaran pemerintahan yang diamanatkan UUD 1945 menganut asas desentralisasi, pemberian kewenangan pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem NKRI. Kewenangan pemerintah daerah mengatur dan mengurus semua urusan pemerintah diluar urusan pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dengan berlakunya UU No.22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka pemerintah daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan berupa: pelayanan, pemberdayaan, dan peranserta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah.
Salah satu kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam pelaksanaan urusan pemerintahan adalah diberikannya kewenangan untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan dan aktivitas masyarakat melalui perijinan. Instrumen izin dibatasi oleh asas legalitas melalui keabsahaan pemerintah. Keabsahan pemerintah ini tunduk kepada 2 (dua) alat ukur yaitu: hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Sebagai instrumen yuridis preventif, perizinan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah ini digunakan:a. mengarahkan/mengendalikan (sturen) aktivitas tertentu;b. mencegah bahaya yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas tertentu;c. melindungi obyek tertentu;d. mengatur distribusi benda langka;e. seleksi orang dan/atau aktivitas tertentu.
Dengan demikian perizinan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam kerangka untuk dapat melindungi kepentingan masyarakat daerah tersebut. Namun kenyataan di lapangan, perijinan dijadikan alat pemeras untuk melakukan kerusakan sumber daya alam yang ada di daerah. Yang kemudian timbul izin dijadikan biang penyebab terjadinya illegal logging, legalmaning, legal fishing, kerusakaan dan pencemaran lingkungan di daerah.
Pasal 158 ayat (2)UU N0. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain diluar itu yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Kemudian pada pasal 237 dijelaskan bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaiatan secara langsung dengan daerah otonomi wajib mendasarkan dan menyusaikan pengaturannya pada undang-undang ini.
Ijin sebagai salah satu jenis keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan.
Menurut N.M,Spelt dan Ten Berge, tujuan penggunaan sistem perizinan yang dilakukan pemerintah adalah:a. keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin beragumen);b. mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);c. keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada monumen-monumen);d. hendak membagi benda-benda yangs sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk);e. pengarahan,dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas ) izin berdasarkan “darnk en horecawet”, yang pengurusnya harus memenuhi syarat tertentu.
Ke depan dalam sistem perizinan yang dilakukan di daerah, harus ada usaha sosialisasi terhadap makna yang terkandung dalam izin itu dikeluarkan. Sehingga kasus-kasus pembatalan peraturan daerah dan perizinan dapat diminimalkan. Apalagi dalam kasus-kasus lingkungan, harus lebih hati-hati jika penguasa mengeluarkan izin-izin, karena dampak yang ditimbulkan berakibat pada masyarakat setempat.
Kotijah
Di terbitkan pada ini