Pasca Konferensi Stockholm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penanggulangan masalah lingkungan dan bahkan masalah lingkungan semakin parah pada waktu itu. Sehingga PBB membentuk komisi se dunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and yaitu World Commission on Environment and Development (WCED) pada bulan Desember 1983.
Komisi ini bertugas untuk menyusun rekomendasi tentang strategi jangka panjang konsep pembangunan berlanjutan, dan menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan laporan berjudul ”Our Common Future” (Hari Depan Bersama). Laporan Brundtland memberi usulan konsep pembangunan berkelanjutan yang merupakan koreksi terhadap kelemahan dari pembangunan yang berwawasan lingkungan era Deklarasi Srockholm.
PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi mengenai masalah lingkungan dan pembangunan ( The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Eart Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni 1992. Konvensi Rio, menghasilkan lima dokumen penting yaitu:
1. Deklarasi Rio, yang merupakan kompromi mengenai persepsi dan prioritas penanganan masalah lingkungan, yang intinya adalah untuk meningkatkan kerjasama internasional;
2. Agenda 21, yang merupakan rencana kegiatan di abad 21, yang menjabarkan strategi dan program pengendalian masalah lingkungan serta pembangunan yang berwawasan lingkungan;
3. Konvensi Perubahan Iklim, yang merupakan upaya untuk mengendalikan jumlah gas kamat kaca agar tidak melampaui ambang batas yang diperlukan;
4. Konvensi tentang keanekaragaman hayati, yang merupakan kesepakatan tentang upaya menyelamatkan sumber daya alam, serta perlunya manfaat dari keanekaragaman hayati dapat dinikmati bersama secara adil; dan
5. Pernyataan tentang prinsip-prinsip kehutanan, yang merupakan pedoman untuk mengelola, konservasi dan pembangunan berkesinambungan dari sumber daya hutan.
Kedua konvensi tersebut telah memiliki kekuatan yuridis dengan ratifikasi melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change. Disamping itu Pemerintah Republik Indonesia telah menyusun Agenda 21 Indonesia berupa strategi nasional untuk pembangunan berlanjutan. Dengan demikian Indonesia sebagai salah satu negara peserta KTT Bumi (Earth Summit) tahun 1992, wajib melaksanakan komitmen internasional dalam pengelolaan hutan tropis, yaitu berasaskan kelestarian (Pengelolaan hutan berkelanjutan /sustainable forest management ) sebagai salah satu hasil UNCED.
KTT Bumi (Eart Summit) di Rio de Janeiro ini menghasilkan suatu konsensus tentang beberapa bidang penting di antaranya tentang prinsip-prinsip kehutanan (forest principle) yang dituangkan dalam dokumen dan perjanjian: “Non-legally binding autrorative statement of principles for a global consensus of all types of forest: dan Bab 11 dari Agenda 21 ”Combating deforestation”. Kemudian dalam pertemuan ketiga komisi pembangunan berkelanjutan (CDS-Commission of Sustainable Development) disepakati untuk membentuk Intergovernmental Panel in Forest (IPF) guna melanjutkan dialog dalam kebijakan kehutanan skala global.
Terakhir, Indonesia ditunjuk menjadi penyelenggara Konferensi dalam kerangka Kerja Sama Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC/United Nations Framework Convention). Dalam konferennsi menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan nama Bali Road Map (Peta Jalan Bali)..
Dengan melihat posisi dan kedudukan hutan yang dipunyai Indonesia terbesar ketiga di dunia, seharusnya pemerintah semakin berani dalam penegakan hukum di bidang kehutanan. Sudah banyak aturan kehutanan, tetapi kenapa hutan kita setiap tahun semakin bertambah laju rusakan hutan, illegal logging marak, alih fungsi lahan dijadikan bisnis birokrat kita.
Semoga calon pemegang kuasa ke depan semakin menyadari karunia Tuhan yang begitu besar pada bangsa ini. Jangan hancurkan hutanku!
Kotijah
Artikel telah diterbitkan pada ini