1. harus ada peraturan terlebih dahulu;
2. peraturan itu harus diumumkan secara layak;
3. perataran itu tidak boleh berlaku surut;
4. perumusan peraturan perundang-undangan jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oelh rakyat;
5. hokum tidak boleh meminta dijalankan hal-hal yang tidak mungkin;
6. di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
7. peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah; dan
8. harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan peraturan yang telah dibuatnya.
Dengan demikian, kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut dapat menimbulkan hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari isi peraturan itu.
Untuk itu apa pun hukum yang dibuat, pada akhirnya ditentukan oleh budaya masyarakat yang bersangkutan. Budaya hukum disini adalah bagaimana sikap-sikap, pandangan-pandangan serta nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat. Semua komponen hukum itu akan menentukan berhasil atau gagalnya kebijakaan yang dituangkan dalam bentuk hukum itu. Hal ini berhubungan dengan nilai-nilai yang disyaratkan oleh Fuller, khususnya bagaimana masyarakat dapat mengetahui isi suatu peraturan, dan apakah penyampaian isi maupun makna dari hukum telah dilakukan.
Selain itu Pual dan Dias mengajukan 5 syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu :
(1) mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami;
(2) luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan;
(3) efisien dan efektifnya mobilisasi aturan-aturan hukum;
(4) adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah, dijangkau dan dimasuki oleh warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa ,dan;
(5) adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif
Pengaturan di bidang kehutanan pada awalnya diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUPK) sebagai pengganti dari UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Selanjutnya persoalan kehutanan diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan sebagai Pengganti Penetapan Pengaturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU Nomor 41 Tahun 1999, yaitu pasal 83 (a) dan pasal (b) yang menegaskan bahwa semua perizinan dan perjanjian pada bidang pertambangan dikawasan hutan sebelum berlakunya UU tersebut tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004, sebenarnya syarat dengan kepentingan pemodal atau investor untuk mendapat jaminan izin yang peroleh sebelum berlakunya UU Nomor 41 Tahun 1999.
Demikian pula pembentukan perpu ini bertentangan dengan sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang ada pada pasal 7 UU Nomoe 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
Undang-undang ini dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan, pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam pembanguan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat perundang-undangan.
Kedua, untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka negara repbulik sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan perundang-undangan yangn sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia.
Pada akhirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini dibatalkan setelah dimintakan uji material pada Mahkamah Konsitusi , dasar pertimbangaanya karena Perpu bertentangan UU Nomor 10 Tahun 2004 dan pembentukan Perpu tidak dalam keadaan darurat yang merugikan kepentingan bangsa. Serta Perpu materialnya bertentangan dengan pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999.
Setelah dibatalkan Pemerintah melakukan lobi-lobi politik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka Perpu Nomor 1 Tahun 2004 itu diganti dengan sebutan undang-undang , dan diundangkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan Sebagai Pengganti UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU Nomor 19 Tahun 2004 substansinya sama dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2004.
Pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2004, dasar filosafinya bahwa berlakunya UU Nomor 41 Tahun 1999, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha dibidang pertambangan dikawasan hutan, terutamabagi pemegangn izin atau perjanjian sebelumnya berlakunya undang-undang tersebut. Ketidakpastian tersebut terjadi, karena dalam ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian yang ada sebelum berlakunya undang-undang tersebut tetap berlaku.
Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak memberi kejelasan atas status dari izin atau perjanjian yang ada sebelum berlaku undang-undanga tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diperkuat dalam ketentuan pasal 38 ayat (4) UU Nomor 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa” pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka”. Dari kedua ketentuan pasal tersebut semestinya hanya berlaku sesudah berlaku undang-undang tersebut dan tidak berlakukan surut. Pada akhirnya pemerintah merasa posisinya sangat sulit dalam mengembangkan iklim investasi .
Seharusnya dalam pembentukan hukum, beranjak dari sistem hukum nasional itu, pemerintah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan 3 (tiga) sistem hukum yang eksis (living law) di Indonesia, yaitu sistem hukum adat , Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya.
Kedudukan hukum adat, yang mengakui keberadaan masyarakat adat sekitar hutan diatur dalam Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo UU Nomor 19 Tahun 2004 , bahwa;
(1). Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan;
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya.
(2). Pengukuan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Pemerintah Daerah.
(3). Ketentuan lebih lanjut sebagimana dimaksud pada ayat satu (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian dalam penjelasannya pasal 67 ayat 1 Undang-undang No 41 jo Undang-undang Nomor 19 bahwa ”Masyarakat hukum adat diakui keberadaanya jika menurut kenyataanya memenuhi unsur antara lain:
- Masyarakat masih dalam bentuk paguyupan (Rechtsgemeenschap);
- Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
- Ada wilayah hukum adat yang jelas;
- Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
- Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.
Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian ijin pemanfaatan kawasan,izin pemanfaatan jasa lingkungan dan lain-lainnya, tentu dengan keluarnya UU No. 19 Tahun 2004 dan terbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Perizinan atau Perjanjian Di Bidang Pertambangan Yang Berada Di Kawasan Hutan, dengan demikian kawasan hutan , terutama hutan lindung diijinkan dilakukan pertambangan dengan aturan tersebut, demi kepastian hukum dan investasi.
Oleh karena dari aspek hukum, nilai-nilai yang terkandung adalam UU No.19 Tahun 2004, tidak melindungi semua pihak yang berakibat bencana karena akan mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan di kawasan hutan lindung dan tersingkirnya keberadaan masyarakat sekitar hutan.
Di daerah-daerah sekarang lagi menui bencana lingkungan akibat diberlakukan UU Nomor 19 Tahun 2004. Upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi tidak berhasil menyakinkan lembaga terhormat ini untuk menjelaskan betapa, kami masyarakat sekitar hutan sekarang lagi menuai bencana lingkungan. Apakah ini yang sebut keadilan, kepada siapa kita minta perlindungan hukum, dimana hukum. Apakah atas nama investasi dengan berlindung atas nama negara, kami masyarakat adat yang tinggal, hidup dan tergantung dengan hutan dikorbankan.
Ke depan. dalam pembentukan undang-undang, harus melihat kepentingan generasi yang akan datang, bukan untuk kepentingan pemodal asing.
Artikel telah diterbitkan pada ini
