Pengantar redaksi:
Artikel ini terdiri atas 3 bagian dimuat secara bersambung. Bagian I, edisi Kamis 15 Januari 2009. Bagian II, edisi Kamis 22 Januari 2009. Bagian III, edisi 29 Januari 2009.
Dengan demikian dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1967 tersebut, bahwa semua hutan dan kekayaan alam yang terkandungnya di seluruh Indonesia, dikuasai oleh negara. Penguasaan negara atas hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur dan menetapkan 3 (tiga) hal sebagaimana diatur pasal 5 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 1967.
Atas dasar kewenangan negara itu, Menteri Kehutanan berwenang untuk menyatakan suatu kawasan sebagai ”hutan negara atau hutan milik” sebagaimana diatur pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1967, yakni “berdasarkan pemiliknya Menteri menyatakan hutan sebagai:
(1) hutan negara yaitu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik;
(2) hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik.
Artikel ini terdiri atas 3 bagian dimuat secara bersambung. Bagian I, edisi Kamis 15 Januari 2009. Bagian II, edisi Kamis 22 Januari 2009. Bagian III, edisi 29 Januari 2009.
Dengan demikian dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1967 tersebut, bahwa semua hutan dan kekayaan alam yang terkandungnya di seluruh Indonesia, dikuasai oleh negara. Penguasaan negara atas hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur dan menetapkan 3 (tiga) hal sebagaimana diatur pasal 5 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 1967.
Atas dasar kewenangan negara itu, Menteri Kehutanan berwenang untuk menyatakan suatu kawasan sebagai ”hutan negara atau hutan milik” sebagaimana diatur pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1967, yakni “berdasarkan pemiliknya Menteri menyatakan hutan sebagai:
(1) hutan negara yaitu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik;
(2) hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik.
Kemudian dalam penjelasan umum UU Nomor 5 Tahun 1967 disebutkan bahwa “dipergunakan istilah hutan negara untuk menyebut semua hutan yang hutan milik”. Dengan demikian, pengertian hutan negara itu mencakup pula hutan-hutan, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan yang dikuasai hukum adat. Penguasaan masyarakat hukum adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada hukum adat, lazimnya disebut hak ulayat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam ketentuan tersebut memuat klausula “…... tetapi sepanjang kenyataanya masih diakui menurut hak ulayat”.
Beberapa perijinan dalam bidang kehutanan yang dapat lihat pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1941 tentang Kehutanan antara lain:
1. izin usaha pemanfaatan kawasan pasal 27 ayat (1) dan pasal 29 ayat (1);
2. izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan pasal 27 ayat (2) dan pasal 29 ayat (2) ;
3. izin pemungutan hasil hutan bukan kayu pasal 27 ayat (3);
4. izin usaha pemanfaatan hasil kayu hutan pasal 29 ayat (4);
5. izin pinjam pakai kawasan pasal 38 ayat (3) dan (5);
6. izin pertambangan pasa 42 ayat (2); dan
7. izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia kepada peneliti asing pasal 54 ayat (3).
Dalam pemanfaatan hutan lindung, ada beberapa izin yang harus dipenuhi, yakni Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, bahwa pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui:
Perizinan usaha pemanfaatan kawasan;
Perizinan usaha pemanfaatan jasa lingkungan; dan
Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Kemudian berkaitan dengan ijin pada pasal 26 ayat (2), maka dalam pasal 27 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, jelaskan beberapa izin dalam pemanfaatan hutan lindung dan dapat diberikan kepada siapa ijin tersebut yang meliputi:
(1) izin usaha pemanfatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada;
a. perorangan;
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dalam pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada;
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMS);
d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalampsal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a. perorangan;
b. koperasi.
Izin usaha pemanfaatn kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS Indonesia.
Dengan demikian, perijinan lingkungan kehutanan akan menjadi sarana hukum yang paling banyak digunakan dalam hukum kehutanan yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warganya. Dan contoh yang representatif dalam merefleksikan tentang kebersamaan fungsi normatif hukum lingkungan kehutanan.
Kotijah
Telah diterbitkan pada INI