Perijinan dalam Kawasan Hutan Lindung (Bagian I)

Pengantar redaksi:
Artikel ini terdiri atas 3 bagian dimuat secara bersambung. Bagian I, edisi Kamis 15 Januari 2009. Bagian II, edisi Kamis 22 Januari 2009. Bagian III, edisi 29 Januari 2009.

Perijinan lingkungan adalah sarana yuridis administrasi untuk mencegah dan menanggulangi (pengendalian) pencemaran lingkungan. Jenis dan prosedur perizinan lingkungan masih beraneka ragam, rumit dan sukar ditelusuri, sehingga menjadi hambatan bagi kegiatan dunia industri.

Izin sebagai sarana hukum merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemegang ijin dilarang melakukan tindakan menyimpanng dari ketentuan-ketentuan tersebut.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan pemohon melakukan tindakan-tindakan spesifik yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain izin adalah suatu perkenaan dari suatu larangan.

Melalui perizinan, seorang warga negara diberikan suatu perkenaan untuk melakukan sesuatu aktivitas yang semestinya dilarang. Ini berarti, yang esensial dari perijinan adalah larangan suatu tindakan, kecuali diperkenakan dengan izin. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan perizinan mutlak dicantumkan keluasan perkenaan yang dapat diteliti batas-batasnya bagi setiap kegiatan.

Pengendalian tindakan-tindakan melalui sistem perijinan (lingkungan), penguasa dapat mengejar berbagai ragam tujuan bersama. Menurut M.Splet dan J.B.J.M. Ten Berge: argumentasi ini didayagunakan untuk suatu sistem perijinan oleh penguasa negara acap kali dilakukan atas motivasi berupa:a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan);b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);c. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada monumen-monumen );d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk);e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “Drank-en Ho-recawer”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).

Dari urian di atas, dapat disebutkan bahwa perijinan lingkungan digunakan oleh penguasa sebagai suatu instrumen untuk mempengaruhi dalam hubungan antara warga negara dan penguasa, dengan harapan warga negara mau dan mampu mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai tujuan kongkrit yang telah ditetapkan.

Keputusan untuk memberikan izin berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Sedangkan pengertian KTUN menurut pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo UU Nomor 9 Tahun 2004 yakni “Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Izin termasuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menciptakan hukum (atau konsitutif).

Sedang perizinan organ pemerintah telah menciptakan hak-hak (izin) dan kewajiban-kewajiban (melalui ketentuan-ketentuan) tertentu bagi yang berhak. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan syarat-syarat yang menjadi dasar bagi badan pemerintah untuk memberi izin. Realitasnya, dalam banyak hal izin dikaitkan dengan syarat-syarat yang berhubungan erat dengan fungsi perizinan sebagai salah satu instrumen pengarah (pengendali) dari penguasa.

Mekanisme perijinan lingkungan memiliki tumpuan prosedur administrasi dalam penerbitan izin lingkungan. Untuk izin lingkungan diberikan secara tertulis dalam bentuk penetapan organ pemerintahan. Karenanya dalam penerbitan izin lingkungan yang keliru atau tidak cermat serta tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan kepentingan lingkungan akan berakibat pada ketergantungan keseimbangan ekologis yang sulit direhabilitasi.

Sumber daya hutan di kawasan hutan lindung, apabila dikonversi atau dialihfungsikan menjadi pertambangan, sangat sulit untuk dilakukan rehabilitasi. Walau pun telah dilakukan reklamasi terhadap bekas tambangan, tentu hal ini tidak akan mengembalikan fungsi hutan yang telah ada.
Dengan demikian perizinan lingkungan yang ada merupakan instrumen hukum yang paling penting. Sebab, dalam pengelolahan kehutanan, harusnya mengacu pada harmonisasi perijinan yang bersifat multi sektor yang sudah ada.

Sebelum terbitnya UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang, pada aturan sebelumnya, yakni pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, diatur suatu ketentuan yang serupa dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan menjelaskan wewenang negara yang bersumber hak menguasai negara atas hutan, yakni:(1) semua hutan dalam wilayah Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalammnya, dikuasai oleh negara;(2) hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (1) memberi wewenang untuk:a. menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyelidikan dan pengunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara;b. mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas;c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.
Kotijah
Telah diterbitkan pada ini
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.