Izin adalah salah satu instrumen yang digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku warga masyarkat (NM Spelt dan JMJM Ten Berge:1995).
Dengan demikian izin sebagai norma pengatur atau pengendali agar masyarakat dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tujuannya adalah mencegah perilaku yang menyimpang dari masyarakat agar memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan bukan sekedar sumber pendapatan (Tatiek Sri Djatmiati:2008) .
Dari sudut hukum administarasi, izin adalah public service. Oleh karenanya tidak layak dipungut biaya. Prinsip pelayanan perizinan tidak dipungut biaya sudah dianut EU (Uni Eropa) sebagaimana dikatakan oleh Brian Jones dan Katherine Thompson tentang izin: ”As a general rule a government body may not require any payment as a condition precedent to the issue of the license, unless this is provided for expressly by statute.
Kenyataannya, izin sebagai salah satu sumber dari perusakan dan pencemaran atas nama illegal logging, illegal fising dan illegal maning. Di sisi lain perizinan di Indonesia merupakan salah satu penghambat investasi.
Pembalakan liar (iIlegal logging) menurut Prasetyo sebagai kegiatan logging yang melanggar hukum. Ilegal dapat diartikan tidak resmi, liar, tidak sah menurut hukum, tidak benar, melanggar aturan yang berlaku (onrechtmatige). Sedangkan longging adalah rangkaian kegiatan pengusahaan hutan yang berawal dari perencanaan, pembangunan sarana dan prasarana, penebangan, pengangkutan dan pemasaran. Dengan demikian illegal logging adalah praktek kecurangan sejak dari perijinan, kegiatan, hasil kegiatan, pelaku dan tujuan penjualannya melanggan hukum.
IIlegal logging dalam konsep hukum adminitrasi tidak berarti tidak mempunyai izin (dokumen-dokumen perizinan), atau memiliki izin, namun ada cacat karena tidak memenuhi legalitas formal ataupun legalitas substansial. Keduanya memiliki akibat hukum tidak sah (illegal), sehingga muncul istilah iilegal logging. Menurut Tatik, ada perbedaan antara istilah tidak berizin dan memiliki izin akan tetapi mengandung cacat yuridis.
Dalam hal kayu-kayu yang tidak memiliki izin, bisa dituduh melakukan pencurian atau pembalakan. Dalam konteks ini aparat keamanan dapat menangkap pencurian tersebut dan diproses dengan dakwaan pencurian menurut pasal 362 KUHP yang berbunyi ”barang siapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum pidana karena mencuri dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah”. Dengan demikinan illegal logging dalam rana pidana .
Di sisi lain akan berbeda apabila kayu-kayu yang ditebang tersebut ada izinnya, tapi terdapat cacat yuridis. Dalam hal ini ada cacat prosedur atas izin, dengan demikian yang diperbaiki adalah kelemahan prosedur yang ada, sedangkan cacat substansi harus mengulangi permohonan ijin dari awal untuk kayu-kayu tersebut.
Namun dalam banyak kasus illegal logging, banyak pelaku lolos dari jerat hukum, bahkan dibebaskan karena dalam rana administrasi hanya melihat keberadaan izin dari kepemilikan kayu-kayu itu, atau pun kalau pelaku logging ditangkap karena menebang melebihi kapasitas wilayah dari izin yang diperoleh. Dengan demikian pelaku illegal logging akan pasti lolos dari jerat hukuman, karena hanya menyalahi izin dan munurut pasal 97 ayat 9, pasal 120 dan pasal 121 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hukumannya hanya pencabutan izin, ganti rugi atau rehabilitasi. Jadi pemberantasan illegal logging hanya mimpi belaka dan hutan akan terus ditebang, dicuri dan dicuri.kalau sudah begini salah siapa?
Kedudukan hutan sebagai salah satu penentu sisten penyangga kehidupan, telah memberi manfaat yang besar bagi umat manusia, dan illegal logging penyebab paling besar terhadap kerusakan hutan di Indonesia, dalam Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan :
pemanfaatan kawasan;
pemanfaatan jasa lingkungan;
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Berkaitan dengan izin pemanfaatan tersebut, pasal 19 menyatakan “dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang meliputi:
IUPK;
IUPJL;
IUPHHK;
IUPHHBK;
IPHHK;dan
IPHHBK
Pada bagian kelima PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 mengatur kewenangan pemberian izin yang diatur pasal 60-66. Dengan demikian izin-izin yang harus dimiliki oleh pengusaha dalam pemanfaatan hutan jelas tidak mudah mendapatkan kayu-kayu hutan tanpa disertai dokumen-dokumen perizinan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Ke depan para hakim dalam membuat keputusan jangan hanya melihat rana administrasi, tetapi berpikirlah akibat yang ditimbulkan oleh praktek illegal logging. Dan DPR segera mengesahkan RUU Anti Ilegal logging.
Dari sudut hukum administarasi, izin adalah public service. Oleh karenanya tidak layak dipungut biaya. Prinsip pelayanan perizinan tidak dipungut biaya sudah dianut EU (Uni Eropa) sebagaimana dikatakan oleh Brian Jones dan Katherine Thompson tentang izin: ”As a general rule a government body may not require any payment as a condition precedent to the issue of the license, unless this is provided for expressly by statute.
Kenyataannya, izin sebagai salah satu sumber dari perusakan dan pencemaran atas nama illegal logging, illegal fising dan illegal maning. Di sisi lain perizinan di Indonesia merupakan salah satu penghambat investasi.
Pembalakan liar (iIlegal logging) menurut Prasetyo sebagai kegiatan logging yang melanggar hukum. Ilegal dapat diartikan tidak resmi, liar, tidak sah menurut hukum, tidak benar, melanggar aturan yang berlaku (onrechtmatige). Sedangkan longging adalah rangkaian kegiatan pengusahaan hutan yang berawal dari perencanaan, pembangunan sarana dan prasarana, penebangan, pengangkutan dan pemasaran. Dengan demikian illegal logging adalah praktek kecurangan sejak dari perijinan, kegiatan, hasil kegiatan, pelaku dan tujuan penjualannya melanggan hukum.
IIlegal logging dalam konsep hukum adminitrasi tidak berarti tidak mempunyai izin (dokumen-dokumen perizinan), atau memiliki izin, namun ada cacat karena tidak memenuhi legalitas formal ataupun legalitas substansial. Keduanya memiliki akibat hukum tidak sah (illegal), sehingga muncul istilah iilegal logging. Menurut Tatik, ada perbedaan antara istilah tidak berizin dan memiliki izin akan tetapi mengandung cacat yuridis.
Dalam hal kayu-kayu yang tidak memiliki izin, bisa dituduh melakukan pencurian atau pembalakan. Dalam konteks ini aparat keamanan dapat menangkap pencurian tersebut dan diproses dengan dakwaan pencurian menurut pasal 362 KUHP yang berbunyi ”barang siapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum pidana karena mencuri dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah”. Dengan demikinan illegal logging dalam rana pidana .
Di sisi lain akan berbeda apabila kayu-kayu yang ditebang tersebut ada izinnya, tapi terdapat cacat yuridis. Dalam hal ini ada cacat prosedur atas izin, dengan demikian yang diperbaiki adalah kelemahan prosedur yang ada, sedangkan cacat substansi harus mengulangi permohonan ijin dari awal untuk kayu-kayu tersebut.
Namun dalam banyak kasus illegal logging, banyak pelaku lolos dari jerat hukum, bahkan dibebaskan karena dalam rana administrasi hanya melihat keberadaan izin dari kepemilikan kayu-kayu itu, atau pun kalau pelaku logging ditangkap karena menebang melebihi kapasitas wilayah dari izin yang diperoleh. Dengan demikian pelaku illegal logging akan pasti lolos dari jerat hukuman, karena hanya menyalahi izin dan munurut pasal 97 ayat 9, pasal 120 dan pasal 121 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hukumannya hanya pencabutan izin, ganti rugi atau rehabilitasi. Jadi pemberantasan illegal logging hanya mimpi belaka dan hutan akan terus ditebang, dicuri dan dicuri.kalau sudah begini salah siapa?
Kedudukan hutan sebagai salah satu penentu sisten penyangga kehidupan, telah memberi manfaat yang besar bagi umat manusia, dan illegal logging penyebab paling besar terhadap kerusakan hutan di Indonesia, dalam Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan :
pemanfaatan kawasan;
pemanfaatan jasa lingkungan;
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Berkaitan dengan izin pemanfaatan tersebut, pasal 19 menyatakan “dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang meliputi:
IUPK;
IUPJL;
IUPHHK;
IUPHHBK;
IPHHK;dan
IPHHBK
Pada bagian kelima PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 mengatur kewenangan pemberian izin yang diatur pasal 60-66. Dengan demikian izin-izin yang harus dimiliki oleh pengusaha dalam pemanfaatan hutan jelas tidak mudah mendapatkan kayu-kayu hutan tanpa disertai dokumen-dokumen perizinan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Ke depan para hakim dalam membuat keputusan jangan hanya melihat rana administrasi, tetapi berpikirlah akibat yang ditimbulkan oleh praktek illegal logging. Dan DPR segera mengesahkan RUU Anti Ilegal logging.
kotijah
Tulisan telah diterbitkan pada ini