Pembangunan nasional diarahkan untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang pelaksanaannya ada pada presiden sebagai penyelenggara pemerintah Negara. Namun demikian pembangunan yang dilakukan presiden harus untuk kepentingan umum.
Kepentingan umum menurut jan Gijssel merupakan pengertian kabur, sehingga tidak mungkin diinstusionalisasikan dalam suatu norma hokum, yang apabila dipaksakan akibatnya akan jadi norma kabur. Hal ini senada apa yang dikemukakan oleh J.J.H.Bruggink bahwa kepentingan umum sebagai suatu pengertian yang kabur artinya suatu pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara tepat, sehingga lingkupnya tidak jelas.
Dengan demikian dalam dalam memaknai pengertian kepentingan umum yang kabur itu, dapat dilakukan dengan menemukan kriteria-kreteria dari kepentingan umum, dalam hal ini untuk memudahkan pembentukan normanya.
Konsep kepentingan umum dalam pandangan hokum administrasi, yang dilihat dari kreteria yang dipergunakan, bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum apabila tanahnya adakan dipergunakan:
a. kepentingan bangsa;
b. kepentingan Negara;
c. kepentingan rakyar banyak/masyarakat luas;
d. kepentingan pembanguan;
e. kepentingan perekonomian Negara;
f. kepentingan pertahanan negara ;
g. kepentingan keamanan;
h. kepentingan kesejahteraan atau kemakmuran masyrakat;
i. kepentingan cagar budaya;
j. kepentingan lingkungan hidup;
k. kepentingan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya, disebutkan kreteria kepentingan umum adalah:
a. kepentingan bangsa dan Negara;
b. kepentingan masyarakat luas;
c. kepentingan bersama rakyat; dan
d. kepentingan pembangunan.
Dalam arti yuridis tanah adalah permukaan bumi (pasal 4 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraaria, untuk pengertian tanah dalam arti hak berupa hak atas tanah yaitu hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang hakiki.
Perolehan tanah untuk kepentingan umum, dalam hal ini tanah yang dipergunakan untuk pembangunan dengan dasar hokum :
a. UU No.5 Tahun (UUPA) yaitu dengan pencabutan hak atas tanah, dilepaskam secara sukarela;
b. UU No. 20 Tahun 1961, yaitu dengan pencabutan hak atas tanah;
c. Permandagri No.15 Tahun 1975 dengan pembebasan tanah;
d. Keppres No.55 Tahun 1993 dengan pengadaan tanah;
e. Perpres No.36 Tahun 2005, dengan mengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah;
f. Penpres No.65 Tahun 2006, dengan pengadaan tanah.
Konsep kepentingan umum yang kabur dan tidak jelas ini akibatnya kepntingan umum memberi peluang pada penafsiran Negara sesuai dengan kehendak dan kewenangan atas nama Negara. Dengan demikian pada tataran realitas banyak terjadi konflik dan sengketa tanah untuk kepentingan umum. Hal ini karena banyak oknum atas nama inverstasi berlindung pada kewenangan yang dipunyai oleh Negara untuk melakukan perolehan tanah atas nama kepentingan umum.
Kedepan atauran dengan ketentuan-ketentuan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus benar-benar diawasi peruntukannya.
Kotijah
Kepentingan umum menurut jan Gijssel merupakan pengertian kabur, sehingga tidak mungkin diinstusionalisasikan dalam suatu norma hokum, yang apabila dipaksakan akibatnya akan jadi norma kabur. Hal ini senada apa yang dikemukakan oleh J.J.H.Bruggink bahwa kepentingan umum sebagai suatu pengertian yang kabur artinya suatu pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara tepat, sehingga lingkupnya tidak jelas.
Dengan demikian dalam dalam memaknai pengertian kepentingan umum yang kabur itu, dapat dilakukan dengan menemukan kriteria-kreteria dari kepentingan umum, dalam hal ini untuk memudahkan pembentukan normanya.
Konsep kepentingan umum dalam pandangan hokum administrasi, yang dilihat dari kreteria yang dipergunakan, bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum apabila tanahnya adakan dipergunakan:
a. kepentingan bangsa;
b. kepentingan Negara;
c. kepentingan rakyar banyak/masyarakat luas;
d. kepentingan pembanguan;
e. kepentingan perekonomian Negara;
f. kepentingan pertahanan negara ;
g. kepentingan keamanan;
h. kepentingan kesejahteraan atau kemakmuran masyrakat;
i. kepentingan cagar budaya;
j. kepentingan lingkungan hidup;
k. kepentingan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya, disebutkan kreteria kepentingan umum adalah:
a. kepentingan bangsa dan Negara;
b. kepentingan masyarakat luas;
c. kepentingan bersama rakyat; dan
d. kepentingan pembangunan.
Dalam arti yuridis tanah adalah permukaan bumi (pasal 4 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraaria, untuk pengertian tanah dalam arti hak berupa hak atas tanah yaitu hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang hakiki.
Perolehan tanah untuk kepentingan umum, dalam hal ini tanah yang dipergunakan untuk pembangunan dengan dasar hokum :
a. UU No.5 Tahun (UUPA) yaitu dengan pencabutan hak atas tanah, dilepaskam secara sukarela;
b. UU No. 20 Tahun 1961, yaitu dengan pencabutan hak atas tanah;
c. Permandagri No.15 Tahun 1975 dengan pembebasan tanah;
d. Keppres No.55 Tahun 1993 dengan pengadaan tanah;
e. Perpres No.36 Tahun 2005, dengan mengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah;
f. Penpres No.65 Tahun 2006, dengan pengadaan tanah.
Konsep kepentingan umum yang kabur dan tidak jelas ini akibatnya kepntingan umum memberi peluang pada penafsiran Negara sesuai dengan kehendak dan kewenangan atas nama Negara. Dengan demikian pada tataran realitas banyak terjadi konflik dan sengketa tanah untuk kepentingan umum. Hal ini karena banyak oknum atas nama inverstasi berlindung pada kewenangan yang dipunyai oleh Negara untuk melakukan perolehan tanah atas nama kepentingan umum.
Kedepan atauran dengan ketentuan-ketentuan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus benar-benar diawasi peruntukannya.
Kotijah