Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing mampu bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat tergantikan.
Mengenai konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya di atur dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya atau di singkat dengan UUKH. Dalam pasal 5 UU No.5 Tahun 1990, kegiatan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dilakukan kegiatan yang meliputi:
a. perlindungan system penyangga kehehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Aktivitas pelaksanaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya semakin bermakna dengan diratifikasinya United Nation Convention on biological Diversity dalam UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on biological Diversity (Konvensi Bangsa-bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) .
Secara umum kelembagaan konservasi SDA hayati dan ekosistemnya di atur dalam pasal 38 ayat (2) UU No.5 Tahun 1990, Pemerintah dapat menyerahkan sebagaian urusan kepada pemerintah daerah, tetapi penyerahan itu hanya “sekedar janji” bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya hayati dan ekosistemnya. Karena tidak perna ada atauran pelaksanaan dalam UUKH untuk mengatur penyerahan itu.
Penyerahan urusan dibidang konservasi SDA Hayati, dapat dikaji pada perundaga-undangan yang berlaku , yang terdapat dalam :
1. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (pasal 38);
2. UU No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan ; dan
3. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman (pasal 27).
Penjawatan dari penyerahan kewenangan kepada daerah pada UUKH mengaju pada Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.
Dalam bab V penetapan kawasan lindung pasal 34 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dijelaskan bahwa: Pemerintah daerah tingkat 1 menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 sebagai kawasan lindung daerah masingn-masing dalam suatu peraturan daerah tingkat 1, disertai dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1:250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang bersangkutan.
Dengan demikian kelembagaan dalam pengelolaan kawasan lindung Pemerntah Dearah dengan adanya keputusan ini, telah diberi kewenangan untuk menetapakan suatu kawasan lindung sesuai dengan kondisi daerah masing-masing yang sudah ada dan tetap memperhatikan fungsi lindung yang bersangkutan.
Kedepan dalam kelembagaan untuk pengelolaan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya harus dijabarkan dengan peraturan pemerintah sendiri. Jangan meratifikasi suatu aturan dalam bentuk undang-undang yang sulit dijabarkan dan tidak bisa dilaksanakan dalam realitasnya.
Kotijah
Mengenai konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya di atur dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya atau di singkat dengan UUKH. Dalam pasal 5 UU No.5 Tahun 1990, kegiatan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dilakukan kegiatan yang meliputi:
a. perlindungan system penyangga kehehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Aktivitas pelaksanaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya semakin bermakna dengan diratifikasinya United Nation Convention on biological Diversity dalam UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on biological Diversity (Konvensi Bangsa-bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) .
Secara umum kelembagaan konservasi SDA hayati dan ekosistemnya di atur dalam pasal 38 ayat (2) UU No.5 Tahun 1990, Pemerintah dapat menyerahkan sebagaian urusan kepada pemerintah daerah, tetapi penyerahan itu hanya “sekedar janji” bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya hayati dan ekosistemnya. Karena tidak perna ada atauran pelaksanaan dalam UUKH untuk mengatur penyerahan itu.
Penyerahan urusan dibidang konservasi SDA Hayati, dapat dikaji pada perundaga-undangan yang berlaku , yang terdapat dalam :
1. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (pasal 38);
2. UU No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan ; dan
3. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman (pasal 27).
Penjawatan dari penyerahan kewenangan kepada daerah pada UUKH mengaju pada Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.
Dalam bab V penetapan kawasan lindung pasal 34 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dijelaskan bahwa: Pemerintah daerah tingkat 1 menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 sebagai kawasan lindung daerah masingn-masing dalam suatu peraturan daerah tingkat 1, disertai dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1:250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang bersangkutan.
Dengan demikian kelembagaan dalam pengelolaan kawasan lindung Pemerntah Dearah dengan adanya keputusan ini, telah diberi kewenangan untuk menetapakan suatu kawasan lindung sesuai dengan kondisi daerah masing-masing yang sudah ada dan tetap memperhatikan fungsi lindung yang bersangkutan.
Kedepan dalam kelembagaan untuk pengelolaan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya harus dijabarkan dengan peraturan pemerintah sendiri. Jangan meratifikasi suatu aturan dalam bentuk undang-undang yang sulit dijabarkan dan tidak bisa dilaksanakan dalam realitasnya.
Kotijah