Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam pengelolaan ini harus mengingat berbagai kekhasan serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat terkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus sesuai dengan kearifan lokal .
Seperti diketahui, perubahan PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Sera Pemanfaatan Hutan, hanya berselang 7 (tujuh) bulan dengan landasan filosofis bahwa perubahan itu dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan dengan mengubah beberapa aturan tata hutan. PP Nomor 3 Tahun 2008 mengubah 34 pasal, 39 ayat dan 4 huruf pada PP Nomor 6 Tahun 2007. Salah satunya perubahan yang signifikan pada pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung.
Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dalam Pasal 39 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, menentukan bahwa ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, pasal 29, pasal 34, pasal 26, pasal 37, dan pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian PP Nomor 6 Tahun 2007 merupakan pedoman dasar bagi pelaksanaan pasal tersebut, kecuali pasal 38 yang dianulir .
Hutan lindung mempunyai peranan yang penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya. Dan mengundang banyak kalangan yang tidak berkepentingan untuk mendapatkan rezeki dalam pemanfaatan hutan lindung. Semua itu dilakukan atas nama pembangunan, investasi, otonomi daerah yang berlomba-lomba mengubah alih fungsi hutan lindung.
Berkaitan dengan pemanfaatan pada hutan lindung, PP Nomor 3 Tahun 2008 merubah beberapa pasal yakni ketentuan pasal 25 ayat (3 ) dan ayat (4) dirubah dan diantara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a). Pasal 26 ayat (2) huruf (a) dan pasal 29 ayat (1) huruf (a) dan (b).
Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa pemegang izin dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan aliran air dan pemanfaatan air pada hutan lindung, harus membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian ayat (3a) menyatakan bahwa izin pemanfataan aliran air dan izin pemanfaatan air di hutan lindung tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan baik sebagian maupun seluruhnya. Dan ayat (4) mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri .
Perubahan ayat (3) bisa ditafsirkan bahwa kalimat harus membayar kompensasi kepada pemerintah menjadi membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bisa ditafsirkan bahwa kompensasi yang harus dibayar pada pemerintah tidak jelas maknanya? Dalam hal ini pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang mendapat kompensasi dari kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada hutan lindung.
Sedangkan tambahan ayat (3a) untuk mengantasipasi oknum-oknum nakal yang menyalaggunakan izin pemanfataan aliran air dan izin pemanfaatan air di hutan lindung. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mental anak bangsa ini sungguh memprihatikan, mereka menyewakan atau dipindahtangankan izin pada orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya tanpa tanggung jawab .
Ketentuan pasal 26 ayat (2) huruf (a) menyatakan bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan hasil hutan bukan kayu yang merupakan hasil reboisasi dan/atau tersedia secara alami. Perubahan pada pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung ini tidak hanya kayu yang dipungut tersedia secara alami juga dari hasil reboisasi Dengan demikian kayu yang merupakan hasil reboisasi terhadap hutan-hutan yang gundul dikenakan pemungutan.
Yang menjadi pertanyaan apakah dengan memungut dari hasil reboisasi akan membuat orang-orang semakin terbebani untuk melakukan reboisasi dan tidak sikron dengan Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Di sisi lain, pemerintah dengan PP Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi dan Peraturan Menteri Keuangan RI No.126/PMK.07/2007 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam kehutanan Dana Reboisasi berusaha mendorong upaya rehabilitasi hutan secepatnya dengan disediakan dana yang lumayan banyak. Ironis bila tiba-tiba ada aturan pemungutan hasil reboisasi.
Ketentuan pasal 29 ayat (1) huruf (b) menyatakan bahwa jangka waktu IUPJL pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf (b), diberikan sesuai dengan kegiatan usahanya. Yaitu untuk izin usaha:
pemanfaatan aliran air diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun;
pemanfaatan air diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Hal ini merubah ijin usaha pemanfaatan jasa aliran air yang sebelumnya berjangka waktu 25 tahun menjadi 10 tahun.
Pemanfaatan hutan lindung yang dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan buka kayu, ke depan harus lebih cermat dalam melakukan perubahan. Keluarnya PP Nomor 3 Tahun 2008 diharapkan pemanfaatan hutan kita lebih baik. Semoga.
Kotijah
Tulisan telah diterbitkan pada ini